Ibadah Para Lebah
Tanpa sadar Made Sumadiyasa (48) selalu punya keinginan menduplikasi masa lalu. Sedapat mungkin ia ingin mengulang kenangan indah masa kecil, yang kemudian disajikannya secara simbolik di rumahnya yang asri.
Simbol-simbol masa lalu itu kemudian bertransformasi menjadi energi kreatif dan melahirkan lukisan-lukisan ekspresif, penuh tenaga, dinamis, dan diburu para kolektor.
Di beranda belakang rumah Sumadiyasa tergantung beberapa kungkungan. Ia selalu membelinya dari Pak Redu, seorang lelaki desa yang mirip dengan ayahnya. Dulu, semasa hidup dan tinggal di Desa Lalanglinggah, Kecamatan Selemadeg Barat, Tabanan, I Nengah Gandra (alm), ayah Sumadiyasa, sangat suka membuat kungkungan dari batang pohon enau.
Kungkungan tak lain semacam rumah lebah berbentuk bulat panjang, yang biasanya digantung di batang-batang pohon. ”Pak Redu mirip sekali dengan bapak saya. Tak hanya sosoknya, tetapi juga kesukaannya membuat kungkungan,” tutur Sumadiyasa, awal Januari 2019, di Gianyar.
Sejak awal tinggal di Banjar Tegeha, Desa Batuan, Kecamatan Sukawati, Gianyar, Pak Redu sudah menawarkan 50 kungkungan seharga Rp 100.000 per batang. ”Sekarang dia masih bikin, tapi harganya sudah Rp 300.000, ha-ha-ha. Saya tetap beli,” kata suami dari Ni Nyoman Henni Kesari ini sambil tertawa.
Kungkungan kini tak hanya digantung di beranda belakang rumah Sumadiyasa, tetapi juga di beberapa gazebo dan pepohonan yang ada di halaman belakang dan samping rumah. Bagi Sumadiyasa, kungkungan bukan perangkap lebah. Ia menjadi semacam relasi saling memberi dalam pola hidup bersama dan berkeluarga.
Tiga gadis, Luh Putu Dimas Virgantini (17), Made Hening Arismadewi (10), dan Nyoman Arum Puspawedanti (8), anak-anak pasangan Sumadiyasa-Henni Kesari, tak pernah takut tersengat para lebah. Bahkan, para lebah tak jarang secara bergerombol masuk ke dalam rumah mereka. ”Tapi tak pernah menyengat, kok,” kata Dimas.
Pola saling memberi itu, kata Sumadiyasa, dipraktikkan dengan cara menyiapkan sarang yang baik untuk kawanan lebah. Ketika masanya panen, keluarga Sumadiyasa cuma mengambil madunya dan bukan nyawan, anak-anak lebah yang masih putih. Sesudahnya, sarang dikembalikan seperti semula dan madunya dinikmati oleh seluruh anggota keluarga.
”Tak jarang juga buat tetangga dan teman-teman seniman,” kata pelukis lulusan ISI Yogyakarta tahun 1997 ini.
Ia mengibaratkan para lebah telah melakukan ibadah atau dharma untuk menyejahterakan kehidupan manusia. Madu, kata Sumayasa, simbol dari kemakmuran dalam pencapaian hidupnya sebagai manusia. ”Saya berharap bisa menjadi seperti itu,” katanya.
Barangkali filosofi hidup sederhana semacam itulah yang membuatnya memilih Desa Tegeha sebagai tempat bertumbuh keluarganya. Setamat dari ISI Yogyakarta, Sumadiyasa membeli tegalan alang-alang seluas 3.200 meter persegi. Lokasi Desa Tegeha berada di jalur Denpasar-Ubud dan dekat dengan pusat industri perak di Desa Celuk, Gianyar.
”Saya mudah bersosialisasi dengan sesama seniman, tetapi kehidupan desanya masih natural, mirip dengan Lalanglinggah,” kata perupa yang sejak remaja berambut gimbal.
Bertani
Sebelum berhasil membangun gudang, dalam pengertian sesungguhnya, ayah Sumadiyasa bertani di lahan yang baru dibeli anaknya. ”Bapak menanam singkong, kelapa, dan sayuran setelah merabas ilalang. Saya dan keluarga masih mengontrak gudang di Ubud, ha-ha-ha…,” tutur Sumadiyasa.
Bertani, bagi ayah Sumadiyasa, bukan sekadar kebiasaan, tetapi menjadi sumber kehidupan keluarga selama bertahun-tahun. ”Dan di desa, kami tak pernah punya sawah. Bapak hanya petani penggarap. Dari situ ia menghidupi keluarga, termasuk menyekolahkan saya,” kenang Sumadiyasa.
Ketika ia berhasil membeli lahan lebih dari 1.000 meter persegi, tentu dari hasil penjualan lukisan, pertama-tama ia berikan kesempatan kepada ayahnya untuk bertani. Mengolah tanah, katanya, telah menjadi semacam filosofi dasar sebelum nantinya menanam dan memetik hasilnya.
”Filosofi itulah yang kini saya teruskan dan kemudian tularkan kepada anak-anak,” ujar Sumadiyasa.
Tujuan membeli lahan seluas itu, kata Sumadiyasa, selain membangun gudang tempatnya menyimpan karya-karyanya yang nyaris selalu berukuran besar, juga untuk memenuhi hasratnya sebagai petani.
Sejak tahun 2013, ia memutuskan tinggal di Desa Tegeha, di bagian bawah dari gudang yang berukuran 30 meter x 20 meter. Keluarga ini ”hanya” menempati dua bilik terbuka di basement gudang lukisan. Tepat di bagian belakang gudang yang menghadap ke Sungai Rijasa, Sumadiyasa membuat studio dan gudang kecil penyimpanan karya-karya lamanya.
”Nomor satu memang gudang dan studio, karena itu tempat saya berekspresi. Itu tanah saya,” katanya. Oleh sebab itu, ia selalu ragu menyebut tempatnya hidup dan bertumbuh bersama keluarga sebagai rumah.
Sebuah bangunan berbentuk gudang, yang memanjang dari utara ke selatan, memang menjadi satu-satunya bangunan di lahan seluas itu. Selebihnya halaman ditumbuhi pohon kelapa, jambu, mangga, durian, sirsak, rambutan, alpukat, pisang, sere, dan beragam tanaman laiknya sebuah tegalan milik seorang petani di desa.
Prinsipnya, Sumadiyasa ingin menciptakan lingkungan hidup baru dengan profesi yang baru, tetapi tidak mengubah lanskap hidup masa kecilnya. Oleh sebab itu, kerja keras kawanan lebah menjadi semacam doa tuntunan dan ibadah untuk kemudian berbagi keindahan lewat lukisan-lukisannya yang ekspresif.
Meski lokasinya terpencil di sudut desa kecil, Sumadiyasa berharap rumah gudangnya berhasil memikat kebaikan, yang bisa datang dari segala penjuru.