Siasat Sadar Saat ”Mencandu” Layar
Jika jempol sering kebas, mata kering, emosi terganggu linimasa, Anda mungkin telah menghirup candu digital berlebihan. Jenis candu baru ini menyerang siapa pun. Karena itu, mengambil jarak dari ponsel penting dilakukan agar hidup lebih bermakna.
Seperti biasa, suatu pagi di awal Desember 2018, Henny Tri Haryani (62) berolahraga jalan kaki di kompleks perumahan tempat tinggalnya. Ia biasanya menempuh 5 kilometer setiap pagi. Namun, di tengah perjalanan, kepalanya begitu pusing dan tubuhnya oleng. Henny pun memutuskan pulang sebelum genap 5 km.
Sesampai di rumah, ia duduk leyeh-leyeh di sofa. Ketika Didiet Maulana, putranya yang perancang busana, hendak pamit pergi, Henny bangkit dari sofa. Namun, tiba-tiba tubuhnya bertambah oleng. Sakit kepala menghebat, bahkan sempat muntah.
Henny langsung dibawa Didiet ke Rumah Sakit Pusat Pertamina. Setelah diperiksa dokter saraf, akhirnya diketahui bahwa Henny rupanya terlalu intens berinteraksi dengan telepon seluler (ponsel).
”Mama aku, kan, ratu Facebook,” ucap Didiet.
Henny pun berargumen bahwa banyak orang di usianya kini tak lagi bekerja sehingga mengisi waktu lewat interaksi virtual dengan teman-teman. Selain aktif di Facebook, ia juga aktif di berbagai grup Whatsapp. Tak terasa, ia menghabiskan waktu berjam-jam setiap hari menatapi layar ponsel. Kecenderungannya, saat larut dengan ponsel, sikap tubuhnya pun stagnan.
”Kalau sudah di hape, tuh, ketawa-ketawa, cekikikan, lupa waktu, deh. Ya, gimana, dong. Anak-anak, kan, sibuk masing-masing. Pulang malam sudah pada masuk kamar semua juga, capek. Kita, ya, jadinya main hape sendiri, ha-ha-ha!” celoteh Henny yang kini telah pulih.
Kisah lain, seorang perempuan pertengahan 30-an, pekerja kantoran, hampir berpisah dengan suaminya. Sang suami ingin mengajukan cerai. Perkaranya, sang suami tidak tahan dengan istrinya yang kecanduan belanja secara daring. Dalam sehari, daftar belanjaannya bisa mencapai Rp 4 juta. Setiap hari.
Di rumah, tangannya tidak pernah lepas dari ponsel mengecek aplikasi belanja daring dengan berbagai penawarannya. Di kantor pun sama. Sembari bekerja, aplikasi belanja daring ikut terbuka di layar komputer. Dr Iman Firmansyah, SpKj, yang menangani hal ini, lumayan bekerja ekstra.
”Selain jadi dokter (spesialis kejiwaan), saya jadi konsultan perkawinan juga, he-he-he,” ucap Iman. Dia mendampingi perempuan itu selama sekitar setahun terakhir.
Kecanduan belanja daring, tambah Iman, merupakan salah satu perkembangan baru dari kecanduan digital. Gejala awal kecanduan jenis ini sering kali ditandai dengan selalu merasa ingin membeli sesuatu meski tidak butuh-butuh amat.
”Ada yang merasa badannya sakit dan pusing jika tidak belanja lewat aplikasi daring. Setiap hari kerjaan-nya buka online shop saja,” ujar psikiater bidang psikiatri adiktif ini, Rabu (9/1/2018).
Candu digital
Iman, yang juga Kepala Bidang Rehabilitasi Medis Badan Narkotika Nasional, menjelaskan, selain kecanduan belanja, kecanduan digital yang sering ia temui adalah kecanduan media sosial, pornografi, judi, dan gim daring.
Kecanduan media sosial membuat orang yang mengidapnya tidak akan puas tanpa mengecek, mengunggah, menunggu, dan menghitung seberapa banyak yang menyukai postingannya.
Kecanduan gim, judi, ataupun cyber sex hampir serupa. ”Kasus terbanyak saya tangani adalah kecanduan gim pada anak dan remaja, 80 persen dari anak tersebut drop out dari sekolah,” kata Iman.
Berbagai jenis kecanduan digital ini punya efek yang berbeda-beda. Mulai dari sekadar pusing, mata lelah, stres, sistem kerja saraf di jari yang terganggu, depresi, hingga gangguan fungsi sosial.
”Orang yang kecanduan digital sama saja efeknya dengan orang yang kecanduan narkoba. Bedanya, digital ini tidak ada larangannya,” kata Iman.
Salah satu efek kecanduan digital mendera mata. Dr Karinca Melia Arundini, SpM menyampaikan, mata lelah, kering, dan iritasi sering terjadi pada mereka yang ketagihan perangkat digital. Sebabnya, otot mata terus bekerja dan berkontraksi karena untuk melihat jarak dekat dalam periode lama.
”Teorinya, mata itu optimal melihat secara dekat selama 20 menit. Selebihnya, berdampak negatif, seperti mata lelah, kering, dan iritasi. Penelitian juga menunjukkan, sering menatap layar juga berpotensi meningkatkan mata minus,” kata dokter yang berpraktik di Netra Klinik Spesialis Mata Tangerang, Banten, ini.
Alih-alih mengurangi, kecanduan digital sama seperti kecanduan lainnya, membuat orang nyaman dan terlena. Hal ini terjadi karena pusat rasa senang di otak atau ventral tegmental area (VTA) terus mengeluarkan hormon dopamin yang membuat orang merasa senang dan puas.
Rahkman Ardi, Kepala Departemen Psikologi Kepribadian dan Sosial Universitas Airlangga, menjabarkan, tidak semua orang yang menggunakan perangkat digital berlebihan menjadi adiktif. Namun, semakin lama menggunakan, arah menjadi kompulsif semakin tinggi. Hal ini menjurus ke perilaku adiktif.
Kompulsif adalah ciri dasar dari kecanduan digital. Fenomena fear out missing out (FOMO) juganomofobia atau ketakutan tidak membawa telepon seluler adalah gejala kompulsif.
Puasa notifikasi
Pulih dari kecanduan digital bukan perkara mudah. Dalam menangani orang kecanduan, Iman Firmansyah biasanya lebih dulu mengevaluasi latar belakang, jenis pekerjaan, rutinitas, dan tingkat ketergantungan. Setelah itu, dia secara perlahan meminimalkan kecanduan.
”Untuk pulih memang susah, tetapi bukan tidak bisa. Yang paling mudah adalah mengurangi notifikasi. Untuk yang bekerja, apa yang bisa dikurangi selain e-mail dan aplikasi pesan? Notifikasi media sosial, gim, dan lain-lain tentu bisa dikurangi,” ujarnya. Dari situ, terapi untuk melakukan detoks digital bisa diperluas.
Sementara itu, untuk mengurangi dampak negatif pada mata, Karinca menyarankan metode 20-20-20. Metode ini dilakukan dengan mengalihkan pandangan dari layar setiap 20 menit, sejauh 20 kaki, selama 20 detik. Tujuannya agar mata tidak lelah untuk menatap secara dekat sekaligus mengurangi dampak buruk dari layar.
Rahkman Ardi menambahkan, orang-orang yang kecanduan digital sulit meminimalkan ketergantungan. Salah satu yang bisa dilakukan, ucap Rahkman, adalah mengevaluasi seberapa membantu atau mengganggu kehadiran perangkat digital yang dimiliki.
Pada dasarnya, teknologi hadir untuk memudahkan, memangkas waktu, dan beragam hal lainnya. Akan tetapi, hal itu juga mengubah kebiasaan manusia, mulai dari hal yang umum hingga fundamental. Perkembangan aplikasi, gim, dan lainnya secara jitu terus memanipulasi rasionalitas yang memang terbatas.
”Kita tidak bisa melawan dan hidup tanpa perangkat digital di zaman ini. Namun, kita harus menyadari sejauh mana perangkat dan kebiasaan ini bermanfaat bagi diri, orang lain, dan lingkungan,” tutur Rahkman.
Meningkatkan kesadaran akan pengaruh dunia digital jelas butuh waktu. Kini, Henny yang telah sembuh, misalnya, mengaku lebih membatasi waktu. Kalau, toh, menggunakan ponsel, ia berusaha menjaga sikap tubuh lebih baik sehingga saraf tidak terganggu dan bermasalah lagi.
Selain itu, kini ia menyunyikan notifikasi di grup Whatsapp. ”Supaya enggak tang-ting- tung terus. Kalau denger begitu, kan, kita gatel, ya, pengin ngecek,” ujarnya.
(M HILMI FAIQ/SARIE FEBRIANE)