“Jimat” Anyar Para Pria
Jika dulu memakai pembersih wajah sudah cukup bagi para pria ini, sekarang itu dirasakan kurang. Kaum Adam mulai akrab dengan pelembab, serum, atau toner, produk-produk yang awalnya lekat dengan perempuan. Perawatan membuat mereka bersih, wangi, dan tetap ‘laki’. Sekat dalam perawatan kulit pun perlahan pudar, dan pria-pria kini memiliki ‘jimat’ anyar.
Akhir pekan lalu, untuk pertama kali Widianto Nugroho (43) mencoba sendiri “beauty gadget” bernama Foreo. Sebuah alat pemijat dan pembersih wajah elektrik yang dibeli istrinya lima bulan sebelumnya. Alat berbentuk bulat serupa pelantang jinjing itu bukan kali pertama dia gunakan. Namun, biasanya dia tinggal tahu beres karena Isti Harti Ikakamardi (42), istrinya, yang mengusapkan ke wajahnya.
Setelah mencuci muka dengan air, ayah dua anak ini menaruh krim pembersih muka yang biasa dia pakai ke wajah. Ia lalu meratakan sebentar, dan segera memakai Foreo untuk menyapu seluruh wajah. Lebih kurang 10 menit dihabiskannya untuk memakai alat itu.
“Selain membersihkan, muka juga kayak dipijat. Asyik juga ternyata ngerjain sendiri,” ucap Widi, panggilannya, di Jakarta, Selasa (15/1/2019) siang.
“Tapi pembersihnya nggak boleh yang pake scrub. Muka bisa rusak,” kata Isti menimpali.
Dalam sebulan, Widi rata-rata memakai alat pemijat wajah elektrik itu sebanyak dua kali. Itu adalah loncatan terbarunya dalam memakai perawatan wajah. Selain memakai alat itu, dia juga rajin memakai produk perawatan untuk memperbaiki kulit wajahnya. Ia memiliki ritual perawatan rutin.
Saban malam, misalnya, ia rajin memakai krim pelembab yang khusus untuk malam hari. Krim itu diyakini bisa menyehatkan kulit dan meregenerasi sel-sel kulit yang mati. Saat pagi, ketika mandi dia pasti akan mencuci muka dengan sabun pembersih. Sebelum berangkat kerja, memakai sunblock adalah tahap selanjutnya. Saat tiba di kantor, dan merasa wajahnya kotor, dia kembali memakai pencuci wajah.
Ia rutin membawa pencuci muka di tas kerjanya. Karyawan swasta di bilangan Tebet di Jakarta Selatan ini, minimal mencuci muka lima kali sehari. “Kalau di kantor, saya bisa tiga kali cuci muka. Abis keluar meeting atau makan siang, saya pasti cuci muka lagi. Muka saya kan berminyak banget aslinya, dan polusi di Jakarta sudah akut banget,” jelas Widi.
Dengan perawatan yang dilakukan, wajahnya memang terlihat segar dan kinclong. Kulit mukanya bersih, dan tidak terlihat ada jerawat sebijipun. Padahal, dulu dia gampang jerawatan, gatal-gatal, dan iritasi. Setelah rutin merawat diri, bruntusan di wajahnya jarang muncul. Perawatan yang dia lakukan membuatnya merasa jauh lebih percaya diri. Wajahnya terasa lebih bersih, kotoran terangkat, dan membuat kulitnya jauh lebih lentur. Dia juga pernah mencoba memakai serum, namun hanya sekali.
“Nyerah, perih,” sambung Widi.
Ritual akhir pekan Widi adalah maskeran. Setelah membersihkan muka, Sabtu pagi (19/1/2019) itu Widi menyobek Korea Sheet Mask dan memberikannya pada Isti. Perlahan, lembaran masker itu ditempelkan di wajah Widi. Masker itu dibiarkan 10 menit sambil melakukan kegiatan lain. "Biasanya Mas Widi, saya, dan Si Kakak (anak perempuan mereka yang paling tua-red) bermasker bareng-bareng sambil nonton TV,"ungkap Isti.
Akhir pekan kerap digunakan keluarga kecil Widi dan Isti untuk merawat diri. Pagi hari biasanya diisi dengan pijat muka dan maskeran. Setelah itu jalan-jalan keluar rumah, ke mall atau nonton bioskop. Malah harinya, mereka berdua pijat badan dan totok wajah.
"Aduh-aduh, mulai cekit-cekit nih. Seperti ada semut jalan," kata Widi sambil memegang masker yang sudah hampir 10 menit menempel di mukanya.
"Tahan sebentar ya, Sayang. Nanti kalau sudah 10 menit baru dicopot," sahut Isti.
Setelah 10 menit, Widi lalu melepas masker dan membilas wajah. Ia meraba wajahnya dan tampak puas dengan hasilnya.
"Tuh, jadi lebih moist (lembab-red) kan," timpal Isti bangga. Menurutnya kulit wajah suaminya termasuk bagus kondisinya untuk lelaki di usia yang sama.
Mendukung kerja
Memakai serum yang awalnya pedih itu juga pernah dirasakan Tegar Kharisma (32). Malah, saat ini dia masih keterusan memakai serum, dan mulai mendapatkan hasil dari perawatannya. Karyawan sebuah bank di Wonosari, Gunung Kidul, Yogyakarta ini, rutin memakai serum dua kali seminggu. Ia juga rutin memakai masker wajah, maksimal tiga kali dalam seminggu.
Masker dan serum adalah dua dari berbagai perlengkapan perawatan wajahnya. Ia juga, memiliki pembersih wajah, pelembab pagi, pelembab malam, toner, dan gel untuk kulit kering. Semuanya adalah produk The Body Shop yang Bisa dipakai laki-laki dan perempuan. Perlengkapannya itu belum termasuk deodorant dan parfum. Semua produk perawatan ini senilai Rp 5 juta, dan mulai ia pakai sejak 2015 lalu.
“Belinya sih tidak tiap bulan, kadang dua atau tiga bulan sekali. Buat saya yang penting itu wajah dan tubuh bersih. Ini kepuasan saya pribadi, dan kepentingan pekerjaan juga,” tambah Tegar.
Sehari-hari, Tegar memang harus bertemu banyak orang. Sebagai tenaga pemasaran bank, dia harus tampil prima. Apalagi, rutinitasnya mewajibkan ia berkendara sekitar 50 kilometer setiap hari untuk bertemu nasabah. Dia tidak ambil pusing nasabahnya itu adalah ibu-ibu pedagang atau petani di pedesaan.
Menurutnya, wajah adalah aset yang harus dijaga, terlebih dengan bidang kerja seperti dirinya. Penampilan yang bersih adalah strateginya dalam bekerja. Hasilnya, dia bisa bekerja maksimal dan mendekati orang dengan lebih gampang.
“Pria itu perlu dandan, perlu merawat wajah dan tubuh. Karena kosmetik menurutku tidak bergender, sepanjang dibutuhkan dan cocok, ya pakai,” tegasnya.
Sama seperti Tegar, Firman Herwanto (42), memakai produk perawatan wajah untuk pria karena merasa cocok. Arsitek di Jakarta ini merasa jauh lebih segar dan bersih dengan perawatan yang ia lakukan, khususnya tiga bulan terakhir. Padahal, belakangan ia sering turun lapangan karena urusan kerjaan yang cukup padat. Ia tidak merasa ada masalah dengan kulit wajahnya.
Memakai produk NovAge Men dari Oriflame, ia rutin memakai empat jenis tahapan perawatan produk itu. Setiap pagi, setelah mandi ia mencuci muka dengan pembersih wajah. Setelahnya, Firman memakai krim di sekitar mata untuk menghilangkan kerutan dan flek hitam. Saat malam, ia memakai pelembab, dan juga secara berkala memakai serum.
“Saya orangnya cuek, dan maunya yang simpel-simpel aja sebenarnya. Menurut saya, empat tahap ini masih dalam batas wajar, nggak terlalu ngerepotin. Hasilnya juga bagus menurutku, sampai sering disangka jauh lebih muda dari umur sebenarnya,” cerita Firman.
Karena pasangan
Widi, Tegar, Firman, dan pria-pria lainnya adalah bagian dari jutaan orang yang memakai produk perawatan wajah dan tubuh dalam beberapa tahun terakhir. Penelitian dari Coresight Research yang dilansir pada 8 November 2018, mengutip Euromonitor menemukan, pria di Amerika rata-rata memakai 4,1 produk grooming, dan menghabiskan 48 menit merawat diri setiap harinya. Mereka memakai produk pencuci muka, perawatan rambut, produk untuk cukuran, dan produk perawatan lainnya. Inilah berbagai ‘jimat’ terbaru para pria untuk tampil maksimal.
Selain karena kesadaran terhadap tubuh, para pria mengaku mengenal dan memakai produk perawatan karena faktor pasangan. Firman, misalnya, memakai produk perawatan yang lengkap karena arahan istri. Sotya Dewati (41), istrinya, menuturkan, dia sengaja menyarankan suaminya memakai beberapa produk perawatan wajah karena produk tersebut memang khusus untuk laki-laki. Produk ini juga tidak ribet-ribet amat, dengan pemakaian yang simpel. Di setiap kemasan ada tanda urutan pemakaian agar memudahkan pengguna yang memang tidak ingin ribet.
“Nyuruh dia ngerawat muka nggak susah kok. Tapi memang sama-sama nggak suka kelihatan kotor sih, jadi nggak ribet lah. Sekarang dia selalu inget bawa (produk perawatan) di toiletries bag,” cerita Sotya.
Widi bisa mengenal banyak perawatan wajah, juga karena istrinya. Sejak empat tahun lalu, saat menetap di Cinere, Jakarta Selatan, mereka berdua semakin jauh dengan lokasi kerja. Setiap hari, mereka ke tempat kerja dengan menggunakan sepeda motor untuk menghemat waktu.
“Saya lihat kulitnya, kok kusam, komedoan, saya akhirnya nyobain dia biar perawatan. Awalnya ogah, bilangnya, ‘nanti makin ganteng dan banyak yang suka’ haha,” cerita Isti.
Dengan perawatan yang ia sarankan kepada sang suami, Isti merasa melihat suaminya jauh lebih segar. “Kulitnya sekarang jauh lebih lentur, kayak gini nih,” ucapnya sambil menekan pipi Widi. “Memang sengaja biar dia perawatan. Kan nikah udah lama nih, yang diliat dari bangun sampai tidur muka dia mulu, kan makin segar makin bagus,” ceritanya sembari tergelak.
Meski mengenal dari istri, Widi tidak merasa terganggu dengan program perawatan yang ia lakukan. “Saya merasa lebih laki, lebih percaya diri. Hanya budaya kita aja kan yang bilang kalau laki-laki yang perawatan itu ‘belok’ (kurang maskulin),” ucapnya.
Nur Wulan, pengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Airlangga yang mendalami isu gender dan maskulinitas menjabarkan, konsep laki-laki yang merawat wajah dan tubuh bukan hal yang baru di Indonesia. Sejak dekade 80-an, konsep pria metroseksual mulai mewabah di seluruh dunia, dan masuk ke Indonesia di awal 90-an. Saat ini, produsen melebarkan sayap, dan terus melirik pria sebagai pasar baru. Jika dulu hanya parfum, sampo, dan perawatan sederhana, sekarang merambah pada ranah yang lebih luas, seperti produk perawatan spesifik, hingga make up.
Di satu sisi, menurut Wulan, selama ini perspektif maskulinitas yang kita anut, pria dianggap tidak cocok untuk bersolek. Laki-laki sejati selalu dianggap seseorang yang tidak menyusup ke unsur perempuan yang dicitrakan lembut, pengertian, dan pemilik urusan berdandan.
“Melihat banyaknya pria yang sadar untuk merawat diri, persepsi gender bisa jadi lebih cair. Ada pergeseran yang terjadi, dan mungkin mulai sedikit menggeser pembagian gender yang sebelumnya sangat tajam. Sedikit banyak bisa mengubah persepsi orang terhadap bagaimana menjadi laki-laki dalam tataran visual,” ucap Wulan.
Problemnya, Wulan juga melihat beberapa produk yang dibuat oleh sejumlah korporasi besar ini tetap mengafirmasi perbedaan, juga mempertegas sekat laki-laki dan perempuan. Salah satu contohnya, produk tetap dibuat berwarna hitam yang mengasosiakan maskulinitas.
Jika seperti ini, tambahnya, hanya menjadi gimmick korporasi agar bisa merambah pasar lebih luas. Tidak akan berpengaruh apa-apa, dan malah cenderung berdampak buruk karena menabalkan perbedaan.
Karena itu, untuk tiba ke tahap terciptanya pemahaman gender yang setara, Wulan mengharapkan produk untuk pria jauh lebih netral. Terpenting, dia juga membayangkan, tempat-tempat yang bisa mengafirmasi kelaki-lakian tadi, misalnya barbershop, bisa dijadikan sarana mempromosikan nilai maskulintias yang egaliter. Sekali mendayung, dua nilai bisa tercapai!