Jatuh-Bangun Kampung Code
Ariyanto (47) tiba-tiba menghentikan langkah kakinya. Ia lalu menunjuk sebuah rumah yang ada di bantaran Kali Code, Kota Yogyakarta. ”Ini adalah rumah yang dulu ditempati Romo Mangun. Dulu bangunannya dari bambu, tetapi sekarang sudah diganti dengan tembok,” katanya.
Pada Selasa (15/1/2019) siang itu, kami sedang berjalan-jalan di Kampung Code Utara di RT 001 RW 001, Kelurahan Kotabaru, Kecamatan Gondokusuman, Yogyakarta. Kampung yang berada di pinggir Kali Code tersebut juga dikenal sebagai Kampung Romo Mangun karena tempat itu dulu pernah ditinggali rohaniwan dan budayawan Yusuf Bilyarta (YB) Mangunwijaya yang akrab dipanggil Romo Mangun.
Kali Code adalah salah satu sungai dengan sejarah panjang di Daerah Istimewa Yogyakarta. Secara administratif, aliran sungai sepanjang 17 kilometer itu melintasi tiga kabupaten/kota di DIY, yakni Kabupaten Sleman, Kota Yogyakarta, dan Kabupaten Bantul.
Di sisi utara, Kali Code terhubung dengan Kali Boyong yang berhulu di wilayah lereng Gunung Merapi. Kondisi itu menyebabkan permukiman di sekitar Kali Code kadang terdampak lahar hujan dari Gunung Merapi.
Dalam buku Geliat Masyarakat Kali Code: Nadi Jogja nan Istimewa (2016) disebutkan, permukiman di pinggir Kali Code sudah terbentuk paling tidak sejak akhir abad ke-18. Hal ini tampak dari peta pemerintah kolonial Hindia Belanda buatan tahun 1790 yang telah mencantumkan dua permukiman di sisi barat Kali Code.
Kampung Code Utara merupakan satu dari sejumlah kampung di pinggir Kali Code yang punya sejarah unik. Ariyanto mengisahkan, perkampungan itu diperkirakan mulai terbentuk sekitar tahun 1970-an. Awalnya, kampung itu dihuni para gelandangan, pemulung, dan kelompok masyarakat kelas bawah lain. Kebanyakan mereka berasal dari luar Yogyakarta dan tak memiliki rumah sehingga akhirnya tinggal di pinggir Kali Code.
”Saya mulai tinggal di sini tahun 1978. Ikut orangtua yang kerja sebagai pemulung,” kata Ariyanto yang merupakan tokoh masyarakat di Kampung Code Utara.
Menurut Ariyanto, pada masa awal, rumah-rumah di Kampung Code Utara hanya terbuat dari kardus-kardus bekas yang disusun sedemikian rupa. Bagian atap rumah-rumah kardus itu dilapisi plastik agar tidak rusak terkena air hujan. ”Lantai rumah di sini awalnya hanya tanah dan warga di sini tidur hanya beralas kardus. Untuk penerangan, masyarakat waktu itu memakai lampu minyak karena belum ada listrik,” ujarnya.
Pada tahun 1980-an, pemerintah berencana menggusur permukiman di kampung tersebut karena daerah pinggir Kali Code itu akan dijadikan kawasan hijau. Namun, rencana itu batal karena ditentang sejumlah pihak, termasuk Romo Mangun yang juga dikenal sebagai arsitek dan sastrawan.
Bahkan, Romo Mangun kemudian tinggal di kampung tersebut selama beberapa tahun dan merancang sejumlah rumah berbahan bambu untuk tempat tinggal warga di sana. ”Romo Mangun beserta sejumlah pihak lain juga mencanangkan tribina di kampung ini, yakni bina manusia, bina lingkungan, dan bina sosial,” ujar Ariyanto.
Ariyanto menyebutkan, bina manusia dilakukan dengan membina masyarakat di kampung itu secara moral dan spiritual tanpa memandang agama. Bina sosial dilakukan dengan menumbuhkan hubungan baik dan solidaritas di antara warga kampung tersebut. Sementara itu, bina lingkungan diwujudkan dengan menata lahan dan lingkungan di kampung itu.
”Lingkungan di kampung ini ditata lagi, mana tempat-tempat yang harus dikosongkan sehingga bisa menjadi ruang publik dan mana tempat yang harus dikosongkan karena bisa terkena empasan air sungai,” kata Ariyanto.
Penataan Kampung Code Utara yang diinisiasi Romo Mangun itu mendapat apresiasi dari banyak pihak. Bahkan,
pada 1992, kampung itu mendapat penghargaan internasional Aga Khan Award for Architecture.
Persoalan
Saat ini, kehidupan warga di Kampung Code Utara sudah jauh lebih baik dibandingkan dengan masa-masa sebelumnya. Infrastruktur di kampung itu, yakni berupa jalan, sumber air, listrik, dan sebagainya, sudah lebih memadai. Dalam bidang pendidikan, banyak anak di kampung tersebut yang kini bisa berkuliah di perguruan tinggi.
Perekonomian warga di kampung itu pun relatif lebih baik daripada sebelumnya. ”Sekarang yang pekerjaannya pemulung itu tinggal satu-dua orang. Yang lain ada yang kerja jadi karyawan swasta, pedagang, tukang parkir, dan sebagainya,” ungkap Ariyanto.
Namun, Ariyanto mengakui, setelah era Romo Mangun, sejumlah persoalan mulai muncul di Kampung Code Utara yang kini dihuni 69 keluarga. Salah satu masalah itu adalah diubahnya beberapa rumah bambu buatan Romo Mangun menjadi rumah tembok. ”Beberapa rumah bambu itu, dengan sangat menyesal, kami katakan sudah berubah bentuk. Itu terjadi karena pemahaman warga yang kurang,” ujarnya.
Perubahan itu sangat disayangkan karena rumah-rumah bambu tersebut sebenarnya membuat Kampung Code Utara menjadi unik. Selain itu, rumah-rumah tersebut juga merupakan situs sejarah dan arsitektural yang sangat berharga.
Permasalahan lain yang muncul adalah dibangunnya beberapa rumah tembok yang lokasinya sangat dekat dengan talut Kali Code sehingga rawan terkena dampak bencana alam saat sungai meluap. Kondisi itu juga menyebabkan jalanan di kampung tersebut menyempit. Di beberapa titik, jalanan kampung itu hanya memiliki lebar sekitar 1 meter.
Warna-warni
Di tengah persoalan itu, sebenarnya juga muncul upaya untuk membuat Kampung Code Utara menjadi lebih menarik. Beberapa tahun lalu, misalnya, rumah-rumah di kampung itu dicat warna-warni untuk mempercantik suasana dan menarik kedatangan wisatawan. Selain itu, sejumlah dinding rumah di Kampung Code Utara juga digambari mural dengan berbagai pesan.
”Pada masa Romo Mangun, sebenarnya rumah-rumah di sini sudah pernah dicat warna-warni,” ujar Ariyanto.
Di kampung itu juga didirikan Taman Bacaan Pustaka Kampung Code untuk meningkatkan minat membaca masyarakat. Perpustakaan yang kini memiliki sekitar 1.200 buku itu juga sekaligus menjadi pusat informasi mengenai sejarah kampung, terutama berkait dengan kiprah Romo Mangun.
”Turis lokal dan mancanegara sering juga ke sini, nanya-nanya soal kampung ini dulunya kayak gimana dan sejarah Romo Mangun di sini,” kata pengelola Taman Bacaan Pustaka Kampung Code, Leo Chandra (38).
Sejak tahun 2008, para tokoh masyarakat di sejumlah kampung di pinggir Kali Code juga membentuk wadah bersama yang dinamai Pemerti Kali Code. Ketua Pemerti Kali Code Totok Pratopo mengatakan, pada 2013, Pemerintah Provinsi DIY beserta sejumlah ahli sebenarnya telah membuat grand design (desain besar) penataan kampung-kampung di pinggir Kali Code yang mencakup wilayah Sleman, Kota Yogyakarta, dan Bantul.
Namun, Totok mengatakan, grand design itu belum diimplementasikan dalam kebijakan nyata. ”Grand design sudah ada, tetapi tidak dieksekusi,” katanya. Akibatnya, kampung-kampung di pinggir Kali Code terus harus jatuh-bangun menghadapi beragam masalah, seperti yang terjadi di Kampung Code Utara.