Menelusuri Sisa Kejayaan Gula dengan Hyundai Santa Fe CRDi
Nusantara, khususnya Pulau Jawa, pernah masuk dalam peta industri global pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20. Kala itu, industri gula di Jawa menempati posisi puncak di Asia dan bahkan menjadi salah satu yang terbesar di dunia bersama Kuba dan beberapa negara Eropa.
Tidak hanya dalam soal volume produksi, tetapi juga dari sisi teknologi. Lebih dari 200 pabrik gula di Jawa saat itu menggunakan teknologi manufaktur tercanggih yang didatangkan dari negara-negara kiblat revolusi industri 1.0, seperti Jerman, Perancis, dan Inggris.
Namun, semua itu nyaris tinggal kenangan. Dari 202 pabrik gula pada dekade 1920-an, saat ini tinggal tersisa 35 pabrik. Itu pun terus berguguran. Kesulitan bahan baku tebu akibat alih fungsi lahan, perubahan pola tanam petani, hingga teknologi yang tak kunjung diperbarui membuat pabrik-pabrik gula ini perlahan-lahan punah ditelan zaman.
Sejumlah pabrik berusaha dipertahankan dengan revitalisasi teknologi atau kerja sama dengan investor baru untuk tetap memproduksi gula yang terus dibutuhkan masyarakat. Sebagian lagi berusaha dihidupkan kembali dengan pendekatan lain: menjadi obyek wisata. Sisanya harus menerima nasib ditelantarkan, rusak, roboh, dan hilang tak berbekas.
Pertengahan Desember 2018, Kompas menelusuri jejak-jejak kejayaan industri global ini di kawasan Jawa Tengah. Perjalanan sejauh sekitar 1.600 kilometer menempuh berbagai karakter medan ini menjadi ajang yang tepat untuk sekaligus menguji kemampuan All New Hyundai Santa Fe.
SUV berkelas medium keluaran pabrikan Korea Selatan ini baru diluncurkan di Tanah Air pada gelaran Gaikindo Indonesia International Auto Show (GIIAS) 2018, Agustus tahun lalu. Kompas kala itu mendapat kesempatan melihat detail sosok dan fitur mobil baru ini sebelum diluncurkan secara resmi. Kali ini segala kemampuan dan fitur baru di mobil berkapasitas 7 tempat duduk ini diuji tuntas.
Perjalanan dimulai pada 17 Desember 2018 dengan tujuan pertama bekas Pabrik Gula (PG) Banjaratma di Kabupaten Brebes, Jawa Tengah, yang berjarak sekitar 270 kilometer dari Jakarta. Seperti pada beberapa kali uji jarak jauh sebelumnya, kami harus berangkat pagi-pagi buta untuk menyiasati kemacetan di Tol Cikampek.
Mobil berwarna abu-abu metalik ini kami arahkan memasuki ruas Tol JORR di Gerbang Tol Pondok Pinang, Jakarta Selatan. Terdengar deruman lembut khas mesin diesel saat pedal gas diinjak perlahan setelah melewati gerbang tol.
Kami sengaja memilih varian Santa Fe diesel dengan mesin CRDi berkapasitas 2.2 liter (2.199 cc). Mesin dengan teknologi E-VGT (electronic variable geometry turbo) tersebut menjadi salah satu keistimewaan pada Hyundai Santa Fe generasi keempat ini.
Tenaga berlimpah
Betapa tidak, dengan kapasitas mesin yang lebih kecil, mesin diesel Santa Fe ini mengucurkan tenaga lebih besar dibandingkan mesin-mesin SUV diesel di kelasnya yang berkapasitas lebih besar. Santa Fe diesel menyemburkan tenaga maksimum 193 PS pada putaran mesin 3.800 rpm dan torsi puncak 441 Nm pada rentang 1.750-2.750 rpm.
Hanya bedanya, dibandingkan SUV-SUV diesel populer macam Toyota Fortuner, Mitsubishi Pajero Sport, atau Chevrolet Trailblazer yang berbasis penggerak roda belakang, Santa Fe ini berpenggerak roda depan. Tenaga mesin disalurkan melalui transmisi otomatis shiftronic 8 percepatan.
Tenaga besar langsung dirasakan dalam akselerasi spontan. Bahkan, begitu besarnya torsi mesin ini, saat tak sengaja menginjak gas agak dalam, roda-roda depan sempat berputar di tempat alias spin walau fitur ESC (electronic stability control) pencegah selip dalam keadaan aktif.
Kebetulan ruas Tol Jakarta-Cikampek yang biasanya macet parah, pagi itu terhitung lancar. Lepas dari persimpangan dengan Jalan Tol Purbaleunyi di Kilometer 66, jalan menjadi makin lancar hingga sepanjang Tol Cipali. Kesempatan untuk mengenal kemampuan mobil lebih jauh.
Begitu lancarnya jalan dan mudahnya mobil ini meraih kecepatan tinggi, waktu perjalanan pun menjadi lebih singkat dari perkiraan semula. Pukul 07.00, atau hanya dua jam sejak masuk tol di Pondok Pinang, kami sudah tiba di tempat peristirahatan (rest area) Tol Cipali Km 120. Kami pun beristirahat sejenak untuk mengulur waktu perjalanan karena janji dengan narasumber di Banjaratma masih pukul 10.00.
Namun, dengan mengulur waktu itu pun, kami tiba di bekas PG Banjaratma yang terletak di Km 260 pada pukul 09.00. Kami pun punya waktu untuk sedikit berkeliling melihat kondisi sekitar bekas pabrik gula tersebut.
PG Banjaratma pertama didirikan pada 1908 oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda pada saat Jawa waktu itu berada di puncak produktivitas gula. Pabrik mulai berproduksi pada 1913 dan terus produktif hingga era Indonesia merdeka.
Hingga akhirnya pabrik tersebut ditutup selamanya pada 1998 dan selama 20 tahun selanjutnya terbengkalai. Bangunan pabrik dan bangunan-bangunan pendukungnya dibiarkan mangkrak tertutup ilalang tebal.
Setelah terbengkalai selama 20 tahun, Kementerian BUMN tahun lalu berinisiatif merenovasi kompleks PG Banjaratma menjadi tempat istirahat bertema pelestarian cagar budaya. Lokasi tempat istirahat ini berada di sisi Tol Trans-Jawa ruas Pemalang-Pejagan arah Jakarta di Km 260.
Setelah bermalam di Semarang, Kompas melanjutkan perjalanan menuju Klaten untuk menyambangi Museum Gula di kompleks PG Gondang Baru. Rute yang kami tempuh adalah Tol Semarang-Solo, keluar di Salatiga kemudian menempuh jalur Boyolali-Jatinom-Klaten.
Ini adalah jalur alternatif yang melewati kawasan perdesaan dengan pemandangan sawah-sawah nan asri. Di sini terasa bagaimana mobil terasa ringan dikendalikan. Tak terasa mobil berdimensi cukup bongsor, yakni panjang 4,77 meter, lebar 1,89 meter, dan tinggi 1,68 meter.
Minimalis
Melintasi kawasan yang asri dan rindang seperti ini semakin menyenangkan karena Santa Fe terbaru dilengkapi atap kaca panoramik besar. Fitur konektivitas dengan gawai pun membantu memberi hiburan di perjalanan walau bisa dikatakan Santa Fe ini cukup minimalis di sektor hiburan.
Tak ada layar monitor yang bisa menampilkan film atau TV. Layar head unit hanya berupa layar sentuh untuk mengaktifkan berbagai fitur hiburan. Alhasil, tidak ada layar navigasi ataupun kamera parkir.
Walau demikian, perjalanan jarak jauh dengan All New Hyundai Santa Fe ini berlangsung nyaman. Bantingan suspensi yang menerapkan sistem multiple shock reduction damper cukup empuk sekaligus stabil pada kecepatan tinggi.
Selain ESC, mobil juga sudah dilengkapi fitur hill-start assist (HSA) control dan down-brake control (DBC), yang setara dengan fitur hill-descent control. Tersedia juga empat mode pengendaraan, yakni Comfort, Eco, Sport, dan Smart.
Konsumsi solarnya yang harus menggunakan Pertamina Dex berkisar 12,8 kilometer per liter sepanjang perjalanan. Untunglah cukup mudah mencari SPBU yang memasarkan Pertamina Dex di sepanjang jalan di kawasan Jateng.
Seusai melihat koleksi museum yang sudah mulai menua dan melihat PG Gondang Baru yang ditutup sejak 2017, kami melanjutkan perjalanan ke Karanganyar, Jateng, melalui jalur Yogyakarta-Solo.
Perjalanan malam hari juga dilalui dengan aman dan nyaman mengingat mobil berbanderol Rp 577 juta (on the road, Jadetabek) ini sudah menggunakan LED untuk lampu utama dan lampu kabutnya.
Di daerah Karanganyar dan Solo, kami mengunjungi PG Tasikmadu yang masih beroperasi dan PG Colomadu yang sudah tutup sejak 1998. Namun, tahun lalu PG Colomadu dihidupkan kembali setelah direnovasi menjadi museum modern dan gedung pertemuan.