Ayo, Diet Sampah Plastik!
Sampah plastik sudah memicu kegelisahan banyak orang. Mereka lalu perlahan mengampanyekan pengurangan sampah plastik. Mereka ingin Bumi berumur lebih panjang.
Lewat Divers Clean Action, Swietenia Puspa Lestari (25) mengajak rekan-rekannya membersihkan laut dari sampah. Dia ingin laut kembali bersih seperti kala dia masih SD, ketika ikan badut (clown fish) masih banyak berkeliaran.
Tenia, begitu dia akrab disapa, bersama teman-temannya menyelam dan memunguti sampah untuk kemudian dipilah-pilah dan diteliti. Mereka menemukan banyak sampah di area Pulau Pramuka dan Kepulauan Seribu. Selain berasal dari daratan Jakarta, banyak juga sampah berasal dari luar negeri, seperti Filipina, Turki, dan Jepang.
Saat melakukan bersih-bersih pantai dan menyelam, Tenia pernah menemukan sedikitnya 930 batang sedotan plastik hanya dalam jarak 100 meter.
Divers Clean Action (DCA) lalu membuat riset di 10 kota besar, seperti Jakarta, Surabaya, Bali, Medan, Makassar, Padang, Balikpapan, Jayapura, Aceh, dan Manado. Diperkirakan, jumlah sampah sedotan plastik yang dihasilkan warga di 10 kota tadi mencapai 93 juta batang. Jika disambung-sambung, total panjangnya setara jarak Jakarta ke Mexico City.
”Sayangnya sampah sedotan plastik tidak dinilai terlalu berharga secara ekonomi oleh para pemulung,” ujar lulusan Teknik Lingkungan Institut Teknologi Bandung ini.
Pemulung lebih senang mengumpulkan sampah plastik lain karena lebih bernilai secara ekonomi. Akibatnya, sampah sedotan plastik terus bertambah. Dari sana, Tenia mendapat ide untuk menggagas gerakan baru, ”No Straw Movement” alias anti sedotan plastik.
Gerakan itu dia tawarkan ke pelaku usaha makanan dan minuman. Mula-mula, ide itu disambut baik oleh salah satu pengusaha yang juga rekan menyelamnya. Diawali dari sekitar 10 outlet makanan cepat saji di Jakarta, lalu berlanjut ke lebih banyak outlet di Jabodetabek. Belakangan diterapkan ke semua outlet di Indonesia.
Yang menggembirakan, pertengahan 2018, sejumlah restoran cepat saji dan kafe besar lainnya juga ikut melakukan hal sama. Tenia optimistis gerakan itu akan ditiru restoran dan rumah makan lain
Di Bali, perang terhadap sampah plastik juga digagas dua remaja kakak beradik, Melati Riyanto Wisjen (18) dan Isabel Sari Riyanto Wijsen (16). Mereka menamai gerakan, yang dimulai sejak 2013 lalu itu Bye Bye Plastic Bags. Salah satu aktivitas utama mereka adalah bersih-bersih sampah di area pantai di Bali.
Mereka juga melakukan sosialisasi pentingnya meninggalkan tas keresek plastik. Kedua gadis itu juga membuat dan membagi-bagikan tas belanja alternatif, baik yang terbuat dari kertas atau kaus bekas.
Gerakan Bye Bye Plastic Bags kini terdapat di 15 negara. Kakak beradik itu juga berkali-kali diundang berbicara di forum kelas dunia. Saat dihubungi via surat elektronik, Co-Founder sekaligus Koordinator Global Bye Bye Plastic Bags Elvira Wijsen menjelaskan, Melati ataupun Isabel sejak kecil memang sudah memiliki hubungan kuat dengan lingkungan. Mereka tumbuh di rumah, yang dikelilingi sawah, juga berdekatan dengan laut, kata Elvira, yang juga ibu dua gadis tadi.
Dari sekolah
Selain lingkungan keluarga, sekolah pun punya peran penting untuk menanamkan kesadaran akan lingkungan. Hal ini juga dilakukan Sekolah Dasar Gemala Ananda, Lebak Bulus, Jakarta.
Kepala Sekolah Gemala Ananda, Jasmin Jasin, mengatakan, sejak 2015 pihaknya telah membuat larangan bagi murid membawa makanan atau minuman berkemasan plastik. Para orangtua diminta membekali anak mereka kotak makanan atau botol minuman sendiri ke sekolah. Untuk air minum, sekolah menyediakan dispenser dan anak-anak dapat mengisi ulang botol air minum. Kebijakan itu berlaku juga saat sekolah menggelar acara.
”Bayangkan saja kalau ada 300 murid, plus ayah ibunya, dengan tiap orang minum dua gelas air minum kemasan, berarti bisa diperkirakan bakal ada setidaknya 1.800 gelas plastik yang jadi sampah. Itu baru satu event, satu sekolah. Di Cilandak saja ada 58 SD, belum lagi SMP dan SMA,” tambah Jasmin.
Rasa empati yang sama juga dipunyai Kiarra Aurelia Hernawan, remaja berusia 14 tahun, murid kelas III SMP di Jakarta Selatan. Dia sangat terkejut membaca berita tentang seekor penyu yang mati terlilit sampah plastik di perairan Indonesia. Dia lantas bertekad mengubah gaya hidupnya.
Sejak Desember lalu, Kiarra bertahap diet plastik. Ia selalu membawa kantong kain hitam kecil berisi sedotan dari logam. Ada dua sedotan berdiameter kecil dan besar, di dalam kantong itu lengkap dengan sikat pembersih khusus.
”Sedotan besar dipakai minum bubble tea,” kata gadis penyayang binatang ini.
Walaupun oleh beberapa temannya Kiarra sering diolok-olok sebagai anak yang ”alergi plastik”, ia tetap teguh dan konsisten.
Aksi konkret memerangi sampah plastik juga dilakukan dua sahabat asli Pulau Dewata Bali, Putu Eka Darmawan (29) dan Gede Ganesha (30). Mereka mendirikan Rumah Plastik, industri pengolahan dan pusat edukasi pengelolaan sampah plastik, juga puluhan bank sampah plastik di Buleleng dan Singaraja.
Bagi Eka, Rumah Plastik yang didirikannya sejak 2016 di Desa Petandakan, Kecamatan dan Kabupaten Buleleng, itu merupakan bentuk pelaksanaan yadnya (persembahan) untuk alam dan lingkungan. Bersih dan lestarinya lingkungan penting karena memengaruhi kehidupan manusia.
”Kami merancang usaha pengolahan sampah plastik agar limbah jadi barang yang bernilai ekonomi. Sampah plastik tidak hanya dicacah lalu didaur ulang, tetapi juga dapat dikreasikan menjadi bahan karya seni,” ujar Eka.
Kepedulian sama juga ditunjukkan Navicula, band rock asal Bali, yang juga dikenal sebagai The Green Grunge Gentlemen. Selain menyuarakan kepedulian lewat lagu, Navicula bersama sejumlah komunitas peduli lingkungan lain, seperti Kopernik dan Akarumput, membuat proyek film edukasi sekaligus hiburan bertajuk Pulau Plastik.
Siapa pun bisa berpartisipasi dalam upaya penyelamatan lingkungan lewat diet plastik ini. Seperti juga dilakukan Becky Karina (35). Berbekal kontainer yang dibawanya dari rumah, ia berbelanja di Saruga, toko tanpa kemasan dan plastik di kawasan Bintaro, Jakarta, Selasa (22/1). Mulai awal tahun 2019, ia bertekad menerapkan gaya hidup less waste,mengurangi sampah.
Becky mulai belajar belanja sesuai kebutuhan. Di Saruga ia bisa membeli bahan pangan seperlunya. Misalnya, bumbu dapur, ia beli beberapa gram saja. Selain itu, ia tidak menghasilkan sampah plastik dari belanjaannya.
Ia juga kembali belanja ke pasar tradisional. Di pasar, ia bisa meminta pedagang untuk memakai kontainer yang dibawanya dari rumah untuk mengemas belanjaannya. ”Sampai sekarang, masih sering diketawai pedagang. Saya beli ayam, bawa kontainer dari rumah,” kata Becky.
(Wisnu Dewabrata/Cokorda Yudhistira/Sarie Febriane/Lasti Kurnia)