Siapa yang Bisa Lupa Surabaya?
Sebaran lokasi pemotretan yang layak Instagram di Surabaya seakan terus mengundang kecemburuan publik daerah lain di jagat maya. Surabaya tak pernah lelah bersolek untuk memanjakan mata dan jiwa warganya. Surabaya makin susah untuk dilupakan.
Eksistensi Curabhaya yang terpatri dalam Prasasti Trowulan bertarikh 1358 atau kakawin Nagarakretagama gubahan Prapanca seakan menitis dalam ketenaran kekinian.
Menceritakan Surabaya ibarat menyelami cukilan lirik lagu ”Soerabaja” yang dipopulerkan oleh Dara Puspita, band perempuan pada 1966; ”Surabaya, Surabaya, oh Surabaya. Kota kenangan, kota kenangan takkan terlupa. Di sanalah, di sanalah, di Surabaya. Pertamalah, tuk yang pertama kami berjumpa.”
Hingga Januari 2004, satu stasiun pengisian bahan bakar untuk umum (SPBU) berdiri di median Jalan Kombes (Pol) M Duryat. Itulah satu dari 13 SPBU di atas lahan publik untuk taman yang dikelola swasta atau perseorangan. Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini saat itu masih menjabat Kepala Dinas Kebersihan dan Pertamanan.
Lima belas tahun lalu, terobosan kebijakan diambil dan diterapkan. Siapa sangka, upaya pengembalian fungsi lahan publik dari 13 SPBU menjadi taman-taman merupakan ”investasi” untuk merebut hati warga.
Program itu sempat mendapat perlawanan sengit dari kalangan pengusaha BBM yang didukung sebagian kekuatan parlemen. Namun, kebijakan tidak berhenti. Program tersebut menjadi langkah awal dan hingga kini ”Kota Pahlawan”, julukan Surabaya, memiliki 342 taman. Jumlah itu tetap dirasa kurang bagi lebih dari 3 juta penduduk sehingga penambahan menjadi keniscayaan.
Ikonik
Hampir satu dasawarsa ini taman-taman bukan sekadar dibangun, melainkan juga ditata, dipercantik, dirawat, dan terutama ditiupkan ”kehidupan” di situ melalui aktivitas warga. Sindiran wali kota gila taman alias ”wagiman” untuk Risma dari kalangan yang sinis tak menghadang keberlangsungan program pertamanan.
Warga diyakini memerlukan ruang eskapisme yang sehat demi mengusir kepenatan akibat tekanan rutinitas kehidupan metropolitan. Lihatlah Taman Bungkul di Jalan Raya Darmo setiap Minggu masih menjadi jantung aktivitas warga. Berbagai komunitas berkumpul dan bertemu menghidupkan suasana. Anak, remaja, orang dewasa, dan orang tua larut dalam berbagai kegiatan, antara lain senam, bermain, membaca, menikmati hiburan, memeriksa kesehatan, atau jajan makanan- minuman sambil menikmati suasana hari bebas dari kendaraan bermotor.
Pada 2013, Taman Bungkul menyabet anugerah internasional Asian Townscape Award sebagai yang terbaik di Asia. Penghargaan diberikan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa. Popularitas salah satu ikon Surabaya ini dengan cepat melambung tinggi. Berjuta-juta foto Taman Bungkul dapat dengan mudah ditemukan di jagat siber. Setiap hari, ujana ini tak pernah sepi dikunjungi.
Pembangunan trase jalan, pelebaran arteri, pembuatan atau pelebaran dan penyempurnaan trotoar pun tak diabaikan. Jalur pedestrian dibuat lebar, ditanami pohon, antara lain tabebuya yang bisa mekar sempurna.
Pada suatu sore, misalnya, ketika hujan baru reda, di trotoar Kebun Binatang Surabaya, tabebuya sedang mekar. Kembang warna-warni sebagian jatuh dan menyatu dengan aspal yang basah seusai diguyur hujan. Sebagian pengendara sepeda motor memaksa diri berhenti sehingga lalu lintas agak tersendat karena mereka ingin menikmati dan mengabadikan suasana syahdu serta memesona itu.
Ada yang nekat parkir meski diteriaki polisi karena ingin naik ke jembatan penyeberangan dan memotret suasana tabebuya mekar. ”Musim semi” ala Surabaya itu kemudian membanjiri media sosial dan mendapat apresiasi positif sekaligus ungkapan kecemburuan dari warga luar Surabaya.
”Gak ben dina ngene iki (Tak setiap hari seperti ini),” ujar Sulastriningsih, warga Waru, Sidoarjo, yang sengaja datang untuk menikmati dan mengabadikan tabebuya mekar di Surabaya, akhir Oktober 2018.
Mari beranjak ke Jalan Tunjungan. Setelah trotoar diperbaiki, dipasangi lampu-lampu klasik, dan dimeriahkan Pasar Malam Mlaku-mlaku Nang Tunjungan setiap bulan, kawasan bersejarah itu kian kuat menjadi salah satu ikon Surabaya.
Tunggulah menjelang senja saat langit masih merona dengan semburat warna-warni sekaligus menampilkan bayang rembulan. Lampu-lampu menyala. Masa bodoh dengan lalu lalang kendaraan. Berposelah sejenak di depan toko tua dan puaskanlah hasrat memotret.
Ingatlah cukilan lirik ”Rek Ayo Rek” yang secara khusus memuja keindahan kawasan Tunjungan. ”Rek ayo Rek mlaku mlaku nang Tunjungan… Ngalor ngidul liwat toko ngumbah moto. Masio mung nyenggal nyenggol ati lego....”(Rek ayo Rek, jalan-jalan ke Tunjungan. Bolak-balik ke utara dan selatan lewat toko sekalian cuci mata. Meski cuma bersenggolan, hati jadi lega).
Seorang mahasiswa, Hermawan, mengatakan, kawasan Jalan Tunjungan menjadi salah satu lokasi pemotretan favoritnya. ”Setiap ada waktu, terutama sore dan malam, saya sempatkan datang dan memotret. Tidak akan pernah sama, selalu ada nuansa baru yang bisa diceritakan,” katanya.
Transportasi
Menata metropolitan bukan sekadar memastikan ruang publik selalu dalam kondisi terbaik. Urusan mobilitas juga patut diperhatikan. Simpul-simpul kemacetan; pelintasan sebidang dan persimpangan ditata dengan pembongkaran pembatas, serta pemasangan dan pengoperasian lampu lalu lintas, sinyal, palang, rambu, serta kamera pemantau.
Sejak April 2018, pemerintah mengoperasikan Bus Suroboyo dengan ongkos berbayar botol plastik. Tiga bulan kemudian, pemerintah mengoperasikan bus tingkat sumbangan Mayapada Group untuk memperkuat program Bus Suroboyo.
Ada dua rute yang dilayani. Terminal Purabaya (Bungurasih) Sidoarjo sampai Jembatan Merah Surabaya dan Universitas Negeri Surabaya (Lidah Kulon) sampai Institut Teknologi Sepuluh Nopember (Sukolilo). Setiap rute dilayani 10 bus dengan kapasitas bus tingkat 70 penumpang, sedangkan bus nontingkat 60 penumpang. Untuk tarif perjalanan, setiap penumpang menyerahkan 3 botol ukuran 1,5 liter atau setara 5 botol ukuran 600 mililiter atau 10 gelas ukuran 240 ml.
Pengoperasian Bus Suroboyo menarik perhatian dunia. Delegasi Organisasi Persatuan Pemerintah Daerah Se-Asia Pasifik (UCLG ASPAC), yang datang pada September 2018, memandang program itu cocok sebagai terobosan kebijakan dalam pengelolaan sampah perkotaan.
Pandangan senada diutarakan kalangan delegasi Program Lingkungan PBB yang datang ke Surabaya pada Oktober 2018. Risma pun diberi kepercayaan sebagai Presiden UCLG ASPAC sampai September 2020 atau tiga tahun masa jabatan.
Bus Suroboyo juga menjadi obyek yang pernah ”meledak” di media sosial. Bukan sekadar dibanggakan oleh warga Surabaya, melainkan juga publik luar kota metropolitan tersebut hingga mancanegara.
”Program seperti ini sangat unik dan sepatutnya dicontoh. Jujur, saya iri dan berharap di tempat saya tinggal di Balikpapan (Kalimantan Timur) akan muncul program serupa,” kata Baharuddin, warga Balikpapan, yang ditemui pada Januari 2019 ketika datang ke Surabaya untuk mengunjungi sanak saudaranya.
Apresiasi
Guru Besar Arsitektur Institut Teknologi Sepuluh Nopember Johan Silas pernah mengatakan, sebagian program penataan kota dan perbaikan kehidupan warga oleh Pemerintah Kota Surabaya bersumber dari rekomendasi akademisi.
Karena itu, citra pemerintahan dan hubungan dengan publik serta kampus menjadi positif. Singkat kata, aparatur pun disayang dan selalu ditunggu terobosannya.
”Ada komunikasi yang intens serta cukup baik antara aparatur, kampus, dan komunitas,” kata Johan Silas.
Risma pernah mengatakan, berbagai program yang ditempuh dan dijalankan oleh Pemerintah Kota Surabaya semata-mata demi membuat anak- anak serta warga Surabaya betah dan bangga sebagai Arek Suroboyo. Karena itu, meski berkali-kali ”digoda” dan diminta untuk mengabdi di luar Surabaya, Risma selalu menolak dengan alasan tidak ingin melukai perasaan warganya.