Surabayaku, Surabayamu
Suatu sore di pekan kedua Januari 2019. Beberapa sepeda motor terjebak di antara mobil-mobil yang berhenti menunggu lampu lalu lintas menyala hijau di persimpangan Margorejo di Jalan Ahmad Yani, Surabaya, Jawa Timur. Di sinilah kemudian sepenggal drama kecil terjadi.
Di kursi depan sebuah sedan hitam berpelat AG, duduk seorang ibu memangku anak yang bertingkah polah aktif. Lampu hijau belum menyala. Tiba-tiba, si ibu menurunkan jendela mobil serta membuang gumpalan tisu dan kertas. Sampah jatuh di samping kaki kanan seorang pesepeda motor. Tanpa pikir panjang, si pesepeda motor tadi memungut dan memasukkan ke saku jaketnya.
Si ibu pembuang sampah tampak bingung, mungkin juga malu. Begitu pula seorang lelaki di sampingnya yang memegang kemudi mobil.
Tiba-tiba, pundak sang pesepeda motor tadi ditepuk pesepeda motor lain. Seorang lelaki dengan lantang berkata, ”Bawain sini sampahe (serahkan sampahnya!).”
Si pesepeda motor agak bingung, tetapi tangannya menyerahkan sampah itu. Selanjutnya, lelaki tadi mengetuk jendela sedan sekaligus mengumpat orang di dalam mobil tersebut karena membuang sampah sembarangan. ”Suroboyoku ojok diregeti. Gowoen mbalik sampahe (Surabayaku jangan dikotori, bawa pulang sampahnya!),” seru sang lelaki.
Yang diomeli merasa sungkan, lalu dengan malu menerima dan membawa kembali sampah itu. Lampu hijau menyala dan kendaraan melaju.
Minggu (20/1/2019) jelang tengah hari di Taman Lansia, seorang lelaki menikmati saat tapak-tapak kakinya menekan tonjolan batu-batu jalur refleksi. Di dekatnya ada kantong plastik setengah penuh dengan sampah. ”Ini tadi munguti sampah di jalur saya lari ke sini (Taman Lansia). Sebelum pulang, nanti saya buang ke tempat sampah,” kata Mulyadi (55), warga Kecamatan Gubeng.
Hampir 10 tahun terakhir, setiap Minggu Mulyadi berlari menyusuri trotoar dan sejumlah taman di Kecamatan Gubeng sembari memungut sampah. ”Tidak semua sampah, Mas. Kalau ingin berhenti, ya, sekalian pungut,” ujar pegawai perusahaan pelayaran itu.
Lintasan larinya rata-rata bersih karena disapu secara rutin oleh petugas kebersihan yang dijuluki ”pasukan kuning”. Pemerintah Kota Surabaya mempekerjakan sekitar 1.500 pegawai honorer untuk memastikan jalan dan trotoar kota metropolitan ini bersih. Namun, kadang masih ada sampah yang luput atau sengaja dibuang sembarangan oleh orang yang tak berperasaan. Plastik kemasan permen, sobekan tisu atau kertas, guguran daun yang luput tersapu kemudian dipungut oleh orang-orang yang berjiwa mulia seperti Mulyadi.
Mengapa melakukan itu? ”Siapa, sih, yang tidak bangga kotanya dikenal bersih dan dikenang. Buat saya, ini tidak seberapa dibandingkan dengan tanggung jawab besar aparatur pemerintahan menjaga kebersihan,” ujar Suwandi (50), warga Kecamatan Jambangan, yang punya kepedulian seperti Mulyadi, ketika ditemui sedang menikmati Minggu pagi di Taman Bungkul.
Di Surabaya terdapat 342 taman yang telah dibangun dan atau ditata serta dipercantik. Pemerintah Kota Surabaya meyakini, taman yang terawat merupakan ruang publik yang dapat membawa penghiburan bagi warga sekaligus harapan mendapatkan rasa sayang.
Publik yang cinta dan bangga dengan kotanya merupakan kekuatan cespleng untuk membawa kehidupan ke arah lebih baik.
Jaga hati
Dalam kerimbunan Hutan Bambu Keputih, Euis Ningsih (35), wisatawan asal Bandung, Jawa Barat, mengagumi rasa cinta warga Surabaya kepada kota mereka itu. ”Warga, saya lihat meski sekilas, punya kepedulian terhadap kebersihan. Kami yang orang luar pasti malu setengah mati kalau ketahuan buang sampah sembarangan,” ujarnya yang berwisata ke Surabaya untuk memenuhi rasa penasaran setelah melihat tebaran foto keapikan ”Kota Pahlawan” di media sosial.
Menurut Euis, kekurangan Surabaya hanya satu, berhawa panas. ”Makanannya juga sangat khas dan saya, sih, suka ya, terutama rawon dan tahu tek,” katanya kemudian tertawa.
Hutan Bambu Keputih menjadi salah satu tempat yang ngehits di kalangan wisatawan yang gemar berswafoto dan memotret keindahan suasana.
Selain itu ada Jalan Tunjungan, Taman Suroboyo berikut Kampung Nelayan Bulak, Kampung Parikan, Surabaya North Quay, eks lokalisasi Dolly, serta kawasan tua pecinan Jalan Panggung dan Jalan Karet. Entah sudah berapa banyak foto keindahan sudut-sudut Surabaya di media sosial yang juga ikut membuat bangga warga karena kota mereka mendunia.
Pada 15 tahun lalu, kesumpekan, kesemrawutan, dan kegerahan merupakan pemandangan yang mungkin dianggap lumrah. Saat itu, terasa komplet Surabaya sebagai kota yang warganya lekat dengan budaya mengumpat alias memaki.
Ya, banyak sisi bikin jengkel dan memaki. Namun, dari kepemimpinan yang baik dan peduli terhadap warga, perubahan ke arah lebih baik pun bisa terwujud.
Citra positif
Pegiat lingkungan, Asri Hardini (59), mencontohkan, dalam pengelolaan sampah, dahulu bukan berarti Arek Suroboyo berbudaya barbar, melainkan kurang sentuhan kepedulian. ”Dari pelatihan dan melihat kampung lain bisa memilah sampah, akhirnya saya mencontoh dan mengajak tetangga untuk terlibat,” kata warga Jojoran Baru itu.
Sampah dipilah. Yang organik diolah menjadi pupuk kompos. Yang tidak diolah dijadikan bahan untuk pembuatan kerajinan. Sisanya yang tak terpakai barulah dibuang ke tempat penampungan sementara. Bank sampah serta koperasi didirikan dan dikembangkan. Kawasan hunian diteduhkan dengan tanaman bahan jamu, sayur, dan buah. Jojoran Baru menjadi salah satu kampung ramah lingkungan.
Di tepi Bozem Morokrembangan, dahulu ada kampung ”angker”. Namun, di sana pula masih terpelihara semangat berkesenian ludruk. Untuk itu, rumah-rumah dicat dan dihiasi parikan atau pantun suroboyoan.
”Pantun yang dilukis di dinding rumah tak boleh yang kasar atau cabul, tetapi jenaka yang membangun, bijaksana, dan mengena. Tujuannya, anak- anak memahami dan bangga sehingga melestarikan sisi positif jati diri komunitasnya untuk melestarikan seni tradisi,” kata Ketua Tim Kreatif Kampung Parikan Erwin Tirtosari.
Secara rutin, warisan legenda ludruk masa silam dihidupkan kembali lewat latihan dan pementasan lokal. Kampung Parikan dihidupkan bukan sekadar untuk menjadi obyek wisata, melainkan membuat warganya bangga sekaligus berkeinginan tinggi melestarikan wujud budaya Arek Suroboyo.
Hal ini juga dipraktikkan di Balai Pemuda, yang sejak lima tahun terakhir ”dihidupkan” sebagai jantung kegiatan seni budaya publik, terutama menyasar anak-anak dan remaja. Setiap pekan ada pementasan reog ponorogo, ketoprak, ludruk, wayang orang, dan seni tari.
Di sini juga ramai anak-anak dan remaja berlatih tari tradisional, karawitan, melukis, dan kursus bahasa.
”Anak saya titipkan di sini agar punya dan berkembang jiwa seninya. Selain itu, selalu ada teman baru, saudara baru. Saya harap aktivitas di Balai Pemuda dipertahankan selamanya,” kata Susilawati, warga Jambangan.