Kala Anak Harus Diet
”Kenapa sih aku harus diet? Mama sudah enggak sayang lagi ya sama aku?” keluh Yudis, bocah berusia tujuh tahun dengan berat badan 40 kg. Mendengar ucapan begitu, setiap ibu bisa langsung gamang. Namun, peran orangtua sangat menentukan demi si kecil sukses diet. Sebab, ini bukan demi estetika tubuh, melainkan demi kesehatan raga dan jiwa sang anak. Apalagi, epidemi obesitas kini mengintai.
Guru Besar Ilmu Gizi dari Institut Pertanian Bogor Prof Dr Soekirman (82) sudah mewanti-wanti tentang bahaya obesitas pada anak sejak tahun 1990-an. Kekhawatirannya terbukti seiring makin membengkaknya jumlah anak dengan kelebihan berat badan. Jika tidak dilakukan tindakan pencegahan, epidemi obesitas mengintai Indonesia. Di Asia, obesitas sudah menjadi masalah besar.
Berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar yang dirilis Kementerian Kesehatan RI, prevalensi obesitas usia dewasa meningkat dari 10,5 persen ke 21,8 persen dalam sepuluh tahun terakhir. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyebut ada 1,9 miliar orang dewasa, 41 juta anak balita, dan 340 juta anak serta remaja kelebihan berat badan dan obesitas pada 2016. Angka ini meningkat tiga kali lipat dibandingkan dengan tahun 1975.
Sudah dua tahun ini
Bientang (37) mengatur program diet untuk putra sulungnya, Michael (8)—bukan nama sebenarnya. Belum lama ini, kegemukan membuat Michael batal disunat. ”Dokter bilang tidak memungkinkan. Penisnya tidak kelihatan karena tertimbun lemak. Kalau mau sunat, harus makin semangat dietnya,” ujar Bientang menyemangati putranya.
Michael sekarang duduk di kelas 3 sekolah dasar. Berat badannya sekitar 50 kg. Bientang memberlakukan program diet untuk anaknya ketika usia Michael 6 tahun dengan berat badan lebih dari 30 kg. Berbeda dengan diet untuk orang dewasa, diet untuk anak-anak sungguh tidak mudah karena mereka belum sepenuhnya paham mengapa harus diet.
”’Hu-hu-hu, aku masih lapar, Bu.’ Sering dia bilang begitu kalau malam. ’Sudah, tidur saja,’ kata saya. ’Enggak bisa tidur kalau lapar.’ Ha-ha-ha, kasihan juga kadang,” ujar Bientang menirukan putranya.
Perlu usaha ekstra, kesabaran ekstra, disiplin pun ekstra, terutama dari pihak orangtua. ”Sebenarnya prinsip diet untuk anak sama dengan orang dewasa, menjaga asupan kalori. Kadang-kadang anak saya sampai menangis karena masih merasa lapar, tetapi tetap dilarang makan. Ayahnya bisa tega, kalau saya sering enggak tega,” ujar Bientang.
Ketika melihat postur tubuh Michael, Bientang dan suaminya berkonsultasi ke dokter gizi. Dokter gizi memberi jalan keluar simpel: mengurangi kalori. Tidak perlu secara khusus pergi ke gym, tetapi harus banyak bergerak. Dokter juga memberi daftar makanan yang tidak boleh dikonsumsi, terutama goreng-gorengan. Nugget dan sosis juga dilarang, padahal jenis makanan itu kesukaan bocah.
Michael pernah ikut katering diet untuk anak-anak karena kadang-kadang orangtuanya susah mengatur makanan setiap saat di rumah. Katering dikirim ke sekolah dan ke rumah. ”Lumayan, bisa turun 2-3 kg dalam tiga bulan. Cuma sekarang sudah berhenti. Anak lama-lama bosan karena begitu-begitu saja,” kata Bientang.
Sekarang Bientang mengatur sendiri asupan makanan untuk Michael. Sarapan dilewatkan karena istirahat pertama di sekolah pukul 09.00, Michael makan. Istirahat kedua, Michael juga tidak makan, baru sepulang sekolah makan siang. Malam tidak boleh makan nasi. Susu sudah tidak ada lagi di rumah.
Michael pun rutin berolahraga. Dua atau tiga kali sepekan, sepulang sekolah, Michael jalan keliling lapangan tak jauh dari sekolahnya. Kalau tidak sempat di sekolah, di dekat rumah ada lapangan tenis yang bisa dipakai jalan keliling juga. Setidaknya 1,5 kilometer yang ditempuh, kadang disertai derai air mata karena terasa berat.
Tanda-tanda kegemukan
Perubahan menyeluruh dalam pola hidup juga dialami oleh Yudis (7) dengan berat 40 kg. Tanda-tanda kegemukan mulai tampak ketika napasnya tersengal-sengal, sulit bergerak, dan ada tanda kehitaman di leher. Diet diimbangi olahraga diberlakukan pada Yudis sejak dua bulan terakhir begitu dokter spesialis anak memperingatkan tentang tanda diabetes pada lehernya yang menghitam.
Atas saran dokter pula, orangtua Yudis mulai mengganti asupan nasi putih dengan nasi merah. Dari awalnya jijik melihat nasi merah, ia perlahan beradaptasi. Buah dan sayuran pun mulai ditambahkan secara reguler pada porsi makan. Segala macam kudapan pabrikan kaya gula dihilangkan dari menu.
Makanan favorit, seperti martabak, piza, dan burger, hanya diberikan sesekali asal diimbangi dengan olahraga. Jalan kaki, lari, dan berenang menjadi pilihan olahraga murah yang bisa rutin dilakukan beberapa kali dalam sepekan.
Dokter spesialis obesitas dari Klinik Light House, Grace Judio-Kahl, menyebut bahwa edukasi pada orangtua merupakan yang terpenting dalam program penurunan berat badan anak. ”Titik paling lemah terletak pada orangtua. Anak enggak bisa diet karena kontrol dirinya enggak baik, sementara orangtua telanjur memakai makanan sebagai alat menyatakan kasih sayang. Memberikan makanan sebagai pembayar rasa bersalah, hiburan. Makanan menjadi jawaban dari semuanya,” kata Grace.
Makanan miskin
Alarm kegemukan pada anak sudah menyala apabila secara fisik mulai menunjukkan gejala mengganggu, seperti napas tersengal, stamina enggak baik, gampang lelah, dan tiduran terus. Apalagi jika berat badan anak sudah di luar angka normal grafik persentil tumbuh kembang anak. Pengenalan diet pada anak usia sekolah juga tak bisa sembarangan karena massa otot dan tulang mereka masih bertumbuh.
Diet yang salah pada anak—seperti meniadakan makan malam dan menahan rasa lapar—justru akan berakibat munculnya eating disorder atau perilaku makan menyimpang, seperti anoreksia, bulimia, atau compulsive overeating, ketika usia remaja hingga dewasa.
Anak sebaiknya diperkenalkan untuk membedakan konsep lapar kenyang. Makanan juga dikelompokkan berdasarkan warna rambu lalu lintas, yaitu merah, kuning, dan hijau. Warna kuning berarti hanya boleh dimakan sesekali. Anak pun harus dikenalkan konsep, jika dia tak banyak bergerak, maka tak boleh menyantap makanan yang mengandung banyak energi. Sebagai panduan sederhana, piring sehat harus terdiri dari karbohidrat, sayur, dan lauk dengan proporsi masing-masing sepertiga.
Soekirman menambahkan, persoalan obesitas sangat kompleks, bukan sekadar soal makanan. Munculnya kasus obesitas ekstrem di masyarakat merupakan puncak gunung es dari persoalan kegemukan yang kini tak lagi disebut sebagai rich people disease. Dulu, ada anggapan kegemukan sebagai penyakit orang kaya, tetapi kini kegemukan menghampiri siapa saja, tanpa pandang strata ekonomi. ”Yang mengerikan, obesitas menjadi penyakit orang miskin,” ujarnya.
Meledaknya angka kegemukan dan obesitas di negara berkembang, seperti Indonesia, menurut Soekirman, juga terkait dengan stunting atau kurang gizi kronis akibat kurangnya kalori dan protein yang terjadi pada 1.000 hari pertama dalam kehidupan. Dampaknya adalah perubahan metabolisme yang memudahkan anak mengalami kegemukan. ”Ini beban ganda masalah gizi: anak kekurangan gizi, di sisi lain kelebihan,” katanya.
Tumbuhnya kelas menengah ternyata juga tak diimbangi dengan perubahan pola makan. Komposisi makan kelas menengah masih erat dengan ciri khas makanan warga tak mampu, yaitu tinggi karbohidrat dan gula alias asal kenyang serta enak.
Urbanisasi dan kemajuan teknologi berdampak pula pada minimnya aktivitas gerak. Pasar pun semakin dibanjiri produk murah yang berlemak, manis, dan banyak garam. Bandingkan dengan negara maju yang sudah mengenakan pajak minuman manis.
Obesitas semakin mengerikan karena merupakan sumber beragam penyakit tidak menular yang pengobatannya mahal, seperti jantung, darah tinggi, kanker, dan stroke.