Lelaki Berteman ”Bathtub”
Arsitek Budi Pradono (47) antibekerja di rumah. Baginya, rumah murni tempat istirahat dan mereguk kesegaran. Karenanya, ia tak menempelkan banyak karya arsitektur fenomenal di rumahnya. Kesahajaan menjadi elemen yang ditonjolkan yang membuatnya ingin pulang.
Memasuki awal tahun, jadwalnya sudah padat untuk menggelar pameran atau menjadi dosen terbang ke kampus-kampus. Budi antara lain mengajar di The AEDES Metropolitan Laboratory di Berlin, Sydney University, dan Institut Teknologi Bandung. Padatnya jadwal tampak dari deretan koper di bawah tangga yang sudah siap diseret menuju bandara.
”Saya sudah ada jadwal setahun, tinggal bawa koper yang nomor berapa. Saking padatnya, kadang menginap di bandara,” kata Budi, pendiri studio BPA (budipradono architects) mengawali perbincangan di rumahnya yang sunyi di Bintaro, Sabtu (26/1/2019).
Bagaimana tidak sunyi, semua televisi di rumah sengaja dihilangkan. Selain memutar musik dari kanal Youtube, suara yang mungkin didengarnya hanyalah dari radio magno yang diletakkan di samping bathtub. Pagi itu, radio magno yang terbuat dari kayu dan didesain kuno buatan Temanggung—tapi dibelinya ketika di New York—itu tak dapat dibunyikan karena baterainya habis.
Biasanya, setelah penat dengan beragam kesibukan di luar rumah, Budi ingin menikmati kesendirian. Kalau sudah begitu, langkahnya akan segera menuju ruang utama di lantai satu rumah yang justru didominasi ruang untuk meletakkan bathtub atau bak mandi rendam. Ya, sebuah bathtub mendominasi ruang sebagai tempat ternyaman melepas lelah.
Menjadi pusat di ruang utama, bathtub itu segera menarik perhatian. Dinding pemisah kaca menjadi penyekat ruang bathtub dengan ruang tengah yang berfungsi sebagai ruang santai dengan sofa putih empuk dan tumpukan buku. Buku menjadi sarana lain bagi Budi untuk meraih kenyamanan.
Ia pun menulis beberapa buku, seperti Clay City (2014), Fortress Europe (2016),dan Inbetween Boundaries (2018). Buku-buku juga yang menemaninya ketika melepas lelah sambil berendam. Buku pula yang memenuhi sisi tempat tidur yang terletak di lantai dua hingga menyesaki bagasi mobil. ”Di rumah pengin refresh. Mendapat aspirasi, ya, dari baca. Enggak baca, enggak bisa tidur,” tambahnya.
Aksen bambu
Karena murni untuk istirahat, Budi tak membubuhkan aksen neko-neko di rumahnya. Hanya bagian dinding di ruang bathtub yang diberi sentuhan tropis dengan menghadirkan aksen bambu. Batang bambu disusun apa adanya memenuhi dinding ruang sisi paling belakang. Obor bambu juga menjadi hiasan di samping bathtub.
Di bawah sisi dinding yang digantungi lukisan abstrak, tergeletak dua bongkahan bambu yang sudah membatu. Sebongkah bambu diperoleh ketika berkunjung ke Banda Neira dan bongkahan bambu lainnya dibawa dari pantai di Sumbawa.
Bambu menarik hati karena dianggap sebagai material yang seksi. Batang bambu tak bisa begitu saja dipakai dan membutuhkan perawatan agar awet. Kalau kadar airnya tinggi atau terlalu manis, bambu bakal dimakan rayap.
”Rumit banget. Kalau di Jawa ada hitungannya. Arsitek menekuni bambu itu sesuatu karena sulit dan enggak semua orang respect,” ujar Budi.
Bambu juga punya filosofi. Jika dimanja dekat aliran air, ia gemuk tapi kadar airnya tinggi sehingga cepat dimakan rayap. Sebaliknya, jika ditanam di daerah kering, bambu jadi kuat karena mencari air yang jauh. ”Sama seperti hidup manusia. Kalau dari awal enak terlalu santai, enggak sukses,” katanya.
Topi dari anyaman bambu atau rotan juga menghias dinding ruang tengah. Selain bambu, bongkahan kayu utuh dari bongkaran rumah turut mempercantik bagian muka rumah. Bongkah-bongkah kayu ini tampil apa adanya. Lubang-lubang tampak di beberapa sisi yang justru mempercantik kesan alamiah pada kayu-kayu yang ditegakkan berjajar.
Sebuah kursi santai dari rotan, maket arsitektural rumah dari proyek awal yang dikerjakan Budi, serta sepeda dari kayu diletakkan di bagian terdepan rumah. Dapur sekaligus menjadi ruang koleksi wine dan kopi. Wine ataupun kopi adalah pelepas penat jelang tidur.
Tak ada ruang tamu di rumah ini. Seiring perkembangan era digital, tren gaya arsitektural hunian memang cenderung menghilangkan ruang tamu. Rumah menjadi semakin pribadi sebagai ruang berbagi hanya antar-anggota keluarga terdekat. Privasi semakin dijaga tanpa hadirnya pembantu rumah tangga yang menginap.
Sentuhan kampung
Menapaki tangga menuju lantai dua, terdapat kamar tidur utama dan kamar tidur tambahan. Di dekat ruang tidur ini terdapat kamar mandi dengan pancuran yang didesain ala tropis. Limpahan angin dan matahari bisa dirasakan dengan hanya membuka sekat kamar mandi dan teras atas.
”Saya enjoy tropicality. Kamar mandi kayak di kampung. Pintu dibuka kalau butuh angin. Ada angin kayak di kampung,” kata Budi yang meraih beberapa penghargaan, seperti Bunka Cho Fellowship Award dari Japan Institute Architects (2000) dan Arcasia Awards for Architecture (2016) di Hong Kong.
Ciri khas desain Budi berupa nuansa kulit dari bilah logam yang disusun tumpang tindih diletakkan di atap kamar mandi. Cahaya matahari akan membentuk bayangan dari elemen kulit ini yang bisa sekaligus menjadi penanda waktu. Seiring pergerakan matahari, bayangan bergeser menunjukkan perbedaan waktu.
Kulit ini selalu ada di setiap karya Budi dari sejak pertama kali pulang ke Indonesia setelah mengambil master di bidang arsitektur di Berlage Institute di Rotterdam, Belanda. Ia sempat berkeliling ke banyak negara mencicip pengalaman sebagai arsitek. Begitu pulang pada 2005, Budi ikut pameran Secondary Skin yang mengisahkan betapa sensitifnya kita pada kulit. ”Kulit melapis tubuh kita. Rumah, menurut saya, adalah kulit,” ujar Budi.
Dalam setiap karya arsitekturalnya, Budi selalu mengusung inovasi seperti yang terlihat pada karyanya berupa rumah miring di Pondok Indah atau Dancing Mountain House di Salatiga yang memperoleh penghargaan internasional. ”Arsitektur adalah media untuk mempertanyakan eksistensi arsitektural itu sendiri dan relasi dengan masyarakat. Arsitek tidak akan habis diceritakan as a story,” tambah Budi.