Salah satu sumber sampah plastik terbesar berasal dari industri ritel. Produk dalam kemasan marak dijual dan berpotensi menjadi limbah di masa depan. Kini, produk-produk itu bisa dibeli curahan dengan wadah milik sendiri. Selain lebih hemat, belanja seperti ini juga lebih ramah lingkungan.
Saruga, sebuah kedai mungil di ujung Jakarta Selatan jadi toko pertama di Jabodetabek yang menggagas ide berbelanja tanpa limbah plastik. Istilahnya package free shopping. Lokasinya ada di Jalan Taman Bintaro Sektor 1, Bintaro, Pesanggrahan, Jakarta Selatan.
Toko ini baru berdiri tiga bulan sejak 15 November 2018. Namun, sambutan masyarakat sudah dirasa positif. Kesadaran akan bahaya limbah plastik bagi lingkungan jadi alasannya.
“Sekitar tiga tahun lalu saya mengalami sendiri dampak sampah. Tetangga membakar sampah setiap hari dan asapnya masuk ke dalam rumah. Dari situ, saya memikirkan solusi agar orang tidak perlu lagi bakar sampah. Setelah ditelusuri, sumber sampah ternyata banyak dari industri ritel,” kata pendiri Saruga Adi Asmawan, Jumat (15/2/2019) di Tangerang Selatan.
Menurut data Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta, plastik merupakan sampah kedua terbanyak setelah sisa makanan. Rata-rata jumlah sampah plastik di Jakarta 14 persen dari total volume sampah harian sebanyak 7.000 ton (Kompas.id, 7/1/2019).
Menurut Adi, sudah terlalu banyak sampah yang tidak bisa didaur ulang. Menghentikan penggunaan plastik harus dimulai dari peritel.
“Kami bekerja sama dengan beberapa supplier (penyedia) untuk mengisi toko. Mereka setuju mengikuti SOP (standar operasional prosedur) agar tidak menghasilkan limbah kemasan dari proses distribusi, hingga produknya sampai ke toko,” kata Adi.
Sejumlah penyedia pun menyalurkan produknya dalam stoples kaca, misalnya biji kopi panggang. Selain kopi, ada pula produk lain, seperti bumbu dapur, pasta, tepung, beras, minyak, madu, hingga sabun dan sampo.
Semua produk disusun berjejer dalam wadah transparan. Para pengunjung bisa membeli apapun dengan wadah yang mereka bawa sendiri. Toko ini juga menjual stoples kaca bagi pengunjung yang tidak membawa wadah.
Selain bahan makanan, Saruga yang berarti “surga” dalam bahasa Dayak juga menjual produk lain. Ada tas eceng gondok produksi dalam negeri, sedotan berbahan stainless steel, sabut mencuci dari gambas kering, hingga tas kain.
Barang-barang yang dibeli kemudian ditimbang dan dihargai sesuai beratnya. Metode belanja seperti ini dinilai bisa menekan perilaku konsumsi berlebih. Hasilnya, sampah pun semakin diminimalisasi.
Untuk generasi muda
Saruga tidak hanya mengemban misi untuk mengurangi sampah plastik. Hadirnya toko ini juga diharapkan menjadi solusi alternatif untuk mengurangi sampah.
“Ini juga dilakukan untuk anak-anak di generasi mendatang,” kata Adi.
Untuk meraih misinya, para milenial ditargetkan menjadi konsumen utama. Pemasaran dan promosi pun gencar dilakukan melalui Instagram dan laman internet.
Salah satu penggagas Saruga, Ridha Zaki mengatakan, milenial juga digaet melalui desain toko yang kekinian dan instagrammable. Tujuannya bukan hanya mencari pembeli, tetapi juga untuk mempromosikan tren belanja bebas limbah.
Selama ini, toko dengan konsep serupa baru bisa ditemui di Bali. Saruga pun berencana untuk membuka cabang di kawasan Jakarta di masa depan.
“Kami ingin mengarahkan toko ini ke milenial. Makanya, kami desain toko ini dengan gaya yang pop supaya anak muda suka,” kata Ridha.
Interior Saruga didesain dengan gaya industrial dan sedikit sentuhan tropis. Material bata, kayu, kaca, dan beton ekspos berpadu dengan apik. Bagian dalam ruangan pun diterangi secara tepat, baik dengan pencahayaan alami, maupun dengan lampu sorot.
Gerakan Saruga untuk mengenalkan tren belanja bebas limbah rupanya menarik perhatian Gita (30). Ia mengatakan, konsep belanja seperti ini menjadi solusi atas kekhawatirannya soal sampah plastik. Demi mengurangi sampah, ia bahkan membawa sendiri troli berisi wadah-wadah penyimpanan.
“Pemikiran saya soal kemasan (produk ritel) dan plastik jadi berubah setelah ikut kelas-kelas tentang sampah. Sampah sudah jadi masalah (bagi kita semua),” kata Gita.