Jejak Eka Tjipta Membidik Masa Depan
Lahan penuh ilalang. Pepohonan liar tak beraturan tumbuh di hamparan tanah yang begitu luas. Puluhan tahun lahan itu dibiarkan, sampai-sampai muncul seloroh tanah itu ”tempat jin buang anak”. Kini, lahan ribuan hektar itu telah menjadi kawasan industri yang asri.
Itulah kawasan industri Deltamas di kawasan Cikarang, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat. Pendiri Sinarmas Group, Eka Tjipta Widjaja, yang tutup usia pada akhir Januari lalu, yang merintis lahan ilalang itu menjadi kawasan industri. Insting bisnisnya begitu tajam.
Berkeliling di kawasan industri seluas 3.177 hektar yang dikembangkan Sinarmasland bersama Sojitz—yang berpartner sejak 1996—ini, suguhan paling terlihat justru penataan taman yang asri diselingi pepohonan. Satu demi satu lahan terlewati, yang terlihat adalah bangunan pabrik lengkap dengan pagar yang tertata rapi.
Bahkan, ada pabrik yang ”dibentengi” parit selebar 1,5 meter dengan aliran air yang tidak pernah kering. Konon, ”benteng” itu untuk menangkal keburukan dan aliran air sebagai simbol merengkuh hoki atau membawa keberuntungan.
Di beberapa titik sedang dibangun gedung baru. Tampak tiang-tiang penyangga (paku bumi) tertancap untuk membangun fondasi bangunan baru.
Selain pabrik, dalam kawasan ini juga disediakan tempat tinggal, seperti rumah dan apartemen. Begitu pula sarana pendidikan.
Strategi Eka Tjipta
Apa pertimbangan Eka Tjipta saat memutuskan untuk mengembangkan lahan seluas ini? Walaupun simpel, pertanyaan itu tidaklah mudah dijawab secara lugas.
Pihak manajemen Kota Deltamas hanya menyajikan rentetan slide tentang tonggak-tonggak historis, yang memberikan informasi tentang jalan pemikiran Eka Tjipta pada masa lalu.
Tahun 1993, kawasan ini mulai dikembangkan. Lalu pada 2004 mulai dibikin kluster perdana disertai pemindahan sentra pemerintahan Kabupaten Bekasi ke kawasan ini. Tahun 2008, kawasan industri yang disebut Greenland International Industrial Center (GIIC), dengan konsep ramah lingkungan, diluncurkan.
Mulanya fokus pada penyediaan lahan industri yang kini mencapai 54 persen dari luas 3.177 hektar, kini kebutuhan lain bermunculan sehingga dibangun area komersial sebesar 24 persen dan residensial 22 persen. Industri tetap menjadi basisnya, tetapi lambat laun menjadikan kawasan ini semakin mandiri.
Stanley W Atmodjo, Direktur Penjualan dan Pemasaran PT Puradelta Lestari Tbk, mengatakan, untuk menjaga pelestarian alam dengan konsep hijau, maka dilarang pengambilan air langsung dari tanah pada kawasan komersial, industrial, ataupun residensial.
”Ada lima water treatment plant yang mengolah air, kemudian didistribusikan. Kami pun menyalurkan air bersih ke PDAM untuk didistribusikan ke pedesaan di sekitarnya,” ujarnya.
Komitmen pelestarian lingkungan memang sudah ditekankan sejak awal. Itu sebabnya tidak semua industri bisa masuk ke kawasan industri ini, termasuk industri yang berbahan bakar batubara.
Remi Mathriqa, Head of Business Development Department PT Puradelta Lestari Tbk, mengatakan, Deltamas adalah satu-satunya di Indonesia yang mengembangkan konsep township terintegrasi dengan pusat kawasan, termasuk kantor bupati, DPRD, Polri, kejaksaan negeri, dan pengadilan negeri.
”Industri di kawasan industri lain yang hendak mengurus perizinan tidak mempunyai pilihan lain selain datang ke kawasan Deltamas ini,” ujarnya.
Terintegrasi
Boleh juga strategi Eka Tjipta saat itu. Dari daerah yang dibilang tidak ada apa-apa, sedikit demi sedikit dimulai dengan strategi ”menciptakan lapangan kerja” melalui basis pembangunan industri.
Selama 5-10 tahun ke depan, sang pendiri ini meyakini bahwa pembangunan komersial ataupun residensial bakal ikut maju seiring bertambahnya penghuni di industri ini. Banyak orang melaju dari Jakarta untuk bekerja di kawasan ini, tentu permintaan residensial akan naik.
Siapa pula menyangka, harga sewa rumah dan apartemen di kawasan ini bisa bikin tercengang. Ada apartemen yang dibangun dengan 126 kamar oleh Deltamas. Semua kamar tipe studio seluas 34 meter persegi ludes tersewa dengan harganya Rp 23 juta per bulan.
Hingga kini, total residensial yang terjual mencapai 2.600 unit. Beberapa residensial terbaru yang masih dalam pembangunan adalah Naraya Park (4 hektar), Savasa (13,5 hektar), dan Woodspring (3,5 hektar).
”Pusat ekonomi sudah ada, Jakarta. Pertama-tama, diciptakan residensial. Lalu munculkan permintaan komersial, barulah dibangun mal dan pusat belanja lain. Tahap selanjutnya dibangun sentral distrik.” Nah, konsep kota satelit justru dibalik oleh pendiri Sinarmas. Kami menciptakan dulu magnetnya, industri yang menciptakan lapangan kerja menuju kemandirian,” kata Remi.
Terbukti, Aeon Mall sudah membeli lahan seluas 20 hektar. Kelak, Aeon di Deltamas ini menjadi pusat belanja terbesar se-Asia Tenggara. Bahkan, akan menjadi satu kompleks dengan sekolah Jepang dan kota mini Jepang.
Animo yang besar dirasakan ketika tahun 2010 pabrikan otomotif Suzuki masuk, mendirikan pabrik di kawasan ini. Tahun 2015, Suzuki yang memiliki lahan 130 hektar meresmikan pabrik terbarunya di kawasan industri Deltamas.
Total investasi mencapai 1 miliar dollar AS untuk memproduksi mobil serta mesin dan transmisi. Tiga tahun terakhir, kinerja Suzuki terus melejit di kawasan ini.
Bahkan, Mitsubishi pun telah menjadikan kawasan Deltamas sebagai basis pabriknya di Indonesia. Aksesnya cukup mudah, dekat dengan jalan tol. ”Deltamas menjadi area konsentrasi industri otomotif (termasuk pemasok suku cadang).
Lagi pula, kawasan industri ini tidak terlalu jauh dari Jakarta, tempat pusat pemerintahan dan kantor divisi penjualan Mitsubishi berada,” tutur Prianto, Direktur HR dan GA PT Mitsubishi Motors Krama Yudha Indonesia.
Mitsubishi memiliki lahan 51 hektar, disusul pemain otomotif lain, seperti Astra Honda Motor. Pabrikan mobil asal China, Wuling Motors, juga mendirikan pabrik di lahan seluas 60 hektar di kawasan GIIC.
Deltamas hanyalah salah satu memoar Eka Tjipta, mendorong penciptaan kawasan industri yang asri.