Rumah yang Lezat
Bogor baru saja dibilas hujan. Semua serba basah. Seperti pelataran rumah Yohan Handoyo siang itu. Dengan bercelemek coklat, ia berdiri di depan pagar menunggu tamunya. Samar-samar, aroma rempah oregano bercampur saus marinara terendus dari pintu utama yang terbuka. Duh, rumah ini kok bikin ngiler.
”Ayo, masuk. Aku masih masak nih,” ujar Yohan. Wajahnya tampak merona merah jambu dengan titik-titik peluh di kening. Mungkin akibat hawa panas dari kompor. Sebab, udara Kota Bogor di Jawa Barat saat itu justru sedang sejuk.
Yohan selama ini dikenal luas sebagai seorang wine sommelier atau ahli wine. Buku karyanya, Rahasia Wine, diterbitkan Gramedia Pustaka Utama, 2007. Ia bukan cuma paham seluk-beluk wine, melainkan juga jago masak. Palet lidahnya terampil mendampingkan makanan dengan jenis wine yang cocok.
Kini, Yohan adalah chief operating officer di Sababay Winery, perusahaan wine lokal asal Bali yang beberapa kali meraih penghargaan internasional.
Memasuki rumahnya, kami melewati ruang depan yang dibiarkan nyaris kosong. Hanya ada lemari buku berukuran tinggi yang juga berfungsi sebagai partisi untuk menutup penampakan tangga ke lantai atas. Konon, dalam prinsip tata ruang dalam tradisi China, tangga sebaiknya tidak berhadapan dengan pintu utama. Keluarga besar Yohan, terutama ibunya, memegang prinsip itu.
”Ruang depan itu paling dipakai Yohan untuk latihan yoga, seperti tadi pagi,” kata Clara Caecilia, istri Yohan.
Kami lalu berlabuh di dapur sekaligus tempat bersantap. Lega, asri, dan beraroma sedap. Di atas kompor bertengger panci-panci berisi masakan Yohan. Salah satunya panci berisi saus marinara (tomat) yang baunya tadi sempat menyihir. Bola-bola daging di dalamnya tenggelam menunggu terciduk. Glek.
Yohan lanjut memasak sambil merajut obrolan. Di hari Sabtu itu, ia menggelar jamuan intim dengan teman-temannya. Acara itu rutin digelar sejak keluarganya pindah ke rumah ini dua tahun lalu. Semula, ia dan keluarga tinggal bersama ibunda, yang rumahnya hanya berjarak sekitar 50 meter dari rumahnya kini.
”Jadi tetap dekat sama Mami. Aku, kan, anak Mami, haha-ha,” seloroh Yohan.
Jantung di dapur
Tamu yang sudah datang siang itu adalah Setiadi Sopandi, sahabat Yohan yang berprofesi arsitek. Setiadi juga penulis biografi Friedrich Silaban, arsitek kenamaan yang salah satu karyanya yaitu Masjid Istiqlal.
Rumah Yohan kini sebelumnya merupakan rumah lama milik keluarga lain. Dari dokumentasi foto terlihat, rumah versi lama jauh berbeda dengan versi kini. Setiadi, yang akrab dipanggil Cung, berperan penting dalam proyek renovasi rumah Yohan.
”Gelap dan banyak sekat,” ujar Cung soal kondisi rumah sebelum renovasi.
Dengan kejeliannya, Cung merombak desain rumah sedemikian rupa hingga terpenuhi prioritas utama, yaitu membuat sebanyak mungkin akses cahaya serta udara ke dalam rumah dan menjadikannya lebih lapang. Cung pun mentransformasikan karakter rumah menjadi selaras dengan sosok Yohan.
”Dapur harus menjadi jantung rumah ini, heart of the house,” kata Cung.
Cung jelas berhasil. Areal dapur sekaligus ruang makan ini sungguh terasa bernyawa. Secara keseluruhan pun, rumah ini seperti dilahirkan kembali dengan jiwa baru. Padahal, pemugaran yang dilakukan tidak mengubah struktur dasar rumah.
Kesan lega di areal dapur terasa berkat jendela besar dan pintu kaca, yang siang itu terbuka, menampilkan wajah halaman belakang. Tanaman costus yang hijau pekat bergerumbul subur bersama tiga pohon kayu putih yang berdiri anggun.
”Desember kemarin, pohon natal kami cukup itu (kayu putih) saja. Waktu itu, pohon kayu putih pas lagi berbunga merah-merah,” sahut Yohan.
Clara lalu menunjukkan foto saat pohon kayu putih itu sedang dirimbuni bunga. Perpaduan warna dedaunan yang hijau dan bunga yang merah memang selaras dengan warna khas dekorasi Natal. Aih, cantik nian.
Saat proyek renovasi, Yohan menginginkan dapur dengan kitchen island, yaitu meja dapur yang terpisah dengan lemari kabinet yang biasanya menempel pada dinding. Meja kitchen island ini bisa diakses dari semua sisinya.
Sejak lama, Yohan kerap membayangkan ingin rutin menggelar jamuan santai di dapurnya. Ia juga mendamba ingin bisa menerima tamu sembari memasak. Oleh karena itu, elemen kitchen island menjadi krusial. Perangkat kompor gas ia letakkan pada kitchen island dengan posisi menghadap meja makan. Dengan begitu, Yohan sambil berdiri dan memasak tetap bisa berinteraksi dengan tamu-tamunya yang duduk manis di meja makan, menunggu suguhan lezat.
Bayangan tersebut yang mewujud sempurna hari itu. Dua sobat yang diundangnya kemudian datang, konsultan penerbangan dan CEO Aviatory Indonesia Ziva Narendra dan mantan Country Director Intel Indonesia Harry K Nugraha.
Kami pun riuh berbincang menanti masakan Yohan siap disikat. Di salah satu sisi meja makan kami ini berdiri sebuah lemari pendingin khusus wine. ”Sebelum punya kulkas, saya lebih dulu punya itu (lemari wine),” ujar Yohan.
Hari itu ada enam menu yang akan disajikan Yohan, mulai dari salad, cheesy pasta meatball, beef bourguignon dengan mashed potato, ratatoullie, herbs crusted lamb rack dengan couscous, dan apple pie dengan es krim vanila.
Bagai ”lounge”
Santap siang pun dimulai. Kami menyendok makanan tanpa malu-malu. Kelenjar saliva yang sejak tadi bergelegak tak sanggup lagi tersiksa jika harus menunda lebih lama. Yohan lalu menuang wine ke dalam gelas kami masing-masing. Mulut menjadi makin sibuk; melumat makanan, menyesap wine, mengobrol, juga meledakkan tawa. Di dapur, di jantung rumah ini, Yohan memompakan degup kegembiraan di hati sobat-sobatnya lewat kelezatan masakannya di setiap ritual jamuan nan kasual.
Sore mulai menjelang ketika Yohan mengajak kami ke lantai atas. Di lantai ini ada kamar tidur Yohan dan Clara, kamar tidur anak, Darlene Lesmana, serta ruang duduk luas dan segar oleh aliran udara.
Ritual jamuan makan pun berlanjut dengan main musik dan bernyanyi sesuka hati di ruang duduk ini. Yohan memainkan piano, membawakan lagu Phil Collins, ”Against All Odds”. Harry yang rupanya bersuara bagus ikut bernyanyi dengan gelas wine tetap bertengger di tangannya.
Sesi bermusik mulai beranjak serius ketika Yohan mengeluarkan bas, gitar, hingga amplifier. Dan, jam session pun tergelar spontan saat Ziva dan Cung ikut beraksi memainkan bas dan gitar. Ruang duduk ini pun lantas berasa bagai lounge.
Di tengah keasyikan, tamu berikutnya muncul, Anisa Nastiti, Vice President & Business Director TMCompany.id. Anisa dan timnya berkontribusi meracik acara pembukaan dan penutupan Asian Para Games di Jakarta 2018.
Akhirnya waktu makan malam pun tiba. Kami semua turun kembali ke dapur. Sembari menuruni anak tangga berlapis kayu merbau, Clara bercerita singkat peliknya urusan tangga ketika renovasi rumah. Jumlah anak tangga ini harus sesuai dengan prinsip yang dianut ibunya Yohan. ”Jumlahnya 17 anak tangga, tergolong baik menurut prinsip fengsui,” ujar Clara.
Yohan kini mengeluarkan menu terakhirnya, lamb rack dengan couscous. Seperti juga menu di siang tadi, lamb rack ini menuai seruan pujian dari kami. Anisa langsung meminta wadah bekal untuk membawa pulang sisa masakan.
Di meja makan ini, acara nyanyi-nyanyi masih berlanjut diselingi obrolan. Yohan menyebut jamuan ini sebagai power dinner. Topik obrolan kami amat beragam sebab Yohan sengaja mengundang kawan dengan latar belakang berbeda-beda. Lewat ritual jamuan di rumahnya ini, Yohan meracik keberagaman pertemanan. Rumahnya terasa hidup (urup) mungkin karena Yohan gemar berbaur (urap) dalam menjalani hidup (urip).
Tak terasa, malam sudah larut. Kami harus pamit. Dari luar, fasad rumah Yohan tampak cantik dibiasi cahaya lampu kekuningan. Mungkin karena pengaruh wine, rumah ini lamat-lamat terlihat menggiurkan. Seperti rumah gingerbread alias kue jahe milik penyihir jahat yang menyandera Hansel dan Gretel dalam cerita dongeng Jerman.
Ah, kalau kami sih, rela disandera penyihir seperti Yohan di rumahnya yang lezat ini.