Komunitas Sepeda Tak Sekadar Mengayuh dan Mengunyah
Oleh
Luki Aulia
·4 menit baca
Kayuhan kaki Poppy Ariani (46) di pedal sepedanya melambat saat kembali menemui tanjakan yang kesekian di jalan raya Jakarta-Bogor yang padat, akhir Januari lalu. Di belakangnya, 2-3 teman pesepeda menemani. Sesekali teman pesepeda lain yang melintas menyemangati, “Ayo, tante! Sedikit lagi”. Di kejauhan, teman-teman pesepeda lain berhenti menunggu sambil rehat sejenak.
Baru tiga hari sebelumnya Poppy membeli sepeda lipat (seli) yang sekarang dinaikinya. Rute pertamanya tak tanggung-tanggung, Jakarta-Bogor, dengan jarak tempuh sekitar 50 kilometer. Poppy tak sendirian. Ada sejumlah pesepeda atau penggowes seli yang kepayahan juga di titik 40 kilometer dan memilih loading alias melanjutkan perjalanan dengan mobil yang sudah disiapkan.
Dorongan semangat dan kebersamaan teman sekomunitas, kata para pesepeda, menjadi salah satu sumber tenaga selain bayangan akan es teh atau es kopi dan sarapan enak di ujung perjalanan. “Saya sebenarnya introvert. Tapi ternyata lebih seru gowes bareng,” kata Poppy yang disambut sorakan teman-temannya di komunitas pesepeda khusus perempuan, Le’Brompt, yang berteriak “Lebih fun!” “Lebih bahagia!”
Ketua Le’Brompt Juanita Handjojo menilai gowes bareng bersama banyak teman seperti di komunitas sepeda lebih nyaman dan aman karena satu sama lain saling menjaga. Ini penting karena banyak kasus terjadi pesepeda menjadi korban kecelakaan lalu lintas atau kejahatan di jalan raya seperti copet atau perampasan sepeda. “Lebih baik tidak gowes sendirian,” ujarnya.
Faktor keamanan di jalan raya ini penting tak hanya bagi pesepeda tetapi juga pengguna jalan lainnya. Dengan bergabung di komunitas, setidaknya juga bisa saling berbagi ilmu dan etika bersepeda yang baik di jalan. Pesepeda lipat dan roadbike yang aktif di sejumlah komunitas sepeda, Bonchi Bonita, mencontohkan etika saat bersepeda bersama atau berpeloton yang aman dan nyaman dengan bersepeda berjajar dalam dua baris.
Selain itu, dengan gowes bareng pesepeda lebih merasa nyaman karena pasti akan dibantu jika terjadi sesuatu yang tidak diinginkan. Seperti ban kempes atau bocor atau rantai putus. Dalam beberapa event gowes yang diikuti Kompas, ban kempes dan bocor biasa terjadi. Saat itu terjadi, tanpa perlu diminta teman-teman lain segera turun tangan. “Kalau sendirian pasti panik. Kalau mau minta tolong orang lain juga ada risikonya. Kalau sesama pesepeda, bisa dibantu dan ditemani bareng-bareng,” kata Bonchi.
Jadi saudara
Bagi pesepeda senior di Jogja Folding Bike (JFB) Chandra Widyanto komunitas itu selain mempererat hubungan antarindividu juga antarkomunitas sehingga tercipta ikatan seperti saudara. Lumrahnya saudara, pasti ada gesekan atau konflik. Komunitas juga akan mengalami pasang surut karena ada banyak kepentingan dengan tujuan yang berbeda-beda. “Dalam komunitas itu harus ada tiga manfaat. Sehat, nambah teman, dan manfaat ekonomi. Komunitas bisa langgeng kalau ada tiga manfaat itu,” ujarnya.
Selain tiga manfaat itu, kunci kelanggengan sebuah komunitas ada pada sosok yang bisa menyatukan aspirasi anggota dan menjaga komunitas tetap pada tujuan awal pendiriannya. “Kalau bersepeda ya bersepeda aja. Jangan dicampuradukkan dengan kepentingan lain apalagi isu politik,” kata Chandra.
Lebih baik tidak gowes sendirian.
Tema politik itu juga sering diingatkan Presiden Brompton Owners Group Indonesia (BOGI) Baron Martanegara untuk tidak dibahas di komunitas. “No politik, no SARA, dan no nyinyir” itu tiga kunci kesolidan dan kenyamanan dalam komunitas. Karena ini komunitas sepeda, sebaiknya membicarakan hal-hal terkait bersepeda seperti gowes bareng, ajang jual beli, ajang komunikasi, atau berbagi informasi. “Kalau melenceng mending ditendang keluar grup aja karena akan mengganggu anggota lain,” ujarnya sambil tertawa.
Andy Prabowo, mantan Ketua JFB, berprinsip kesolidan komunitas itu bisa terjaga jika saling mengemong. Apalagi jika terjadi benturan. Berkomunitas itu seperti hubungan pernikahan yang ada naik turunnya dan harus bisa saling memaafkan. Apalagi mengingat banyaknya keuntungan berkomunitas. “Komunitas itu memperpanjang tangan dan kaki karena kita jadi punya teman dan saudara dimana-mana. Kita bisa awet karena tidak ada kepentingan lain selain sepeda,” kata Andy.
Bagi penggila sepeda BrigjenPol(P) Untung Leksono keberadaan komunitas penting karena menularkan gaya hidup sehat jasmani rohani dan memelihara silaturahmi sehingga bisa saling membantu. Ini penting terutama di zaman seperti sekarang dimana pertemuan langsung antarmanusia digantikan oleh teknologi seperti gadget yang membuat orang menjadi individualis dan egois. “Dalam komunitas harus tumbuh rasa saling memiliki, membutuhkan, dan menghormati antaranggota. Kalau ada yang melenceng, harus ada pendekatan persuasi pada anggota itu. Kalau tidak bisa ya jangan sungkan memberhentikan anggota itu,” kata Untung yang aktif di komunitas sepeda di Jakarta dan Yogyakarta.
Komunitas JFB yang kini berusia 10 tahun dibentuk pada 25 Januari 2009 oleh segelintir pesepeda termasuk Andy. Rahasia bisa awet sampai 10 tahun ini dan supaya awet selamanya, kata Andy, jangan ada sekat antara merk sepeda. “Jangan main mahal-mahalan, bagus-bagusan sepeda. Apapun sepedanya, yang penting kumpul, gowes dan kuliner. Yang penting bukan sepedanya tapi dengkulnya itu,” kata Andy sambil tertawa.
Totok Ismunarto yang juga pernah memimpin JFB menambahkan sejak awal JFB dibentuk dengan semangat berkumpul dan gowes bareng sambil mengedukasi masyarakat akan pentingnya bersepeda terutama berolahraga. Pada awal pendiriannya, JFB bahkan seperti sosialisasi seli saking dulu masih jarang orang dewasa pakai seli. “Dulu seli dikira hanya untuk anak-anak. Kalau pas di lampu merah sering dilihat orang karena seperti beruang sirkus,” ujarnya sambil tertawa.