Jawa dalam Santai
Kursi jengki, sedan, amben, bahkan angkringan sudah dikenal lama di Jawa. Saking lamanya, rasa bosan kerap menghinggapi hingga pemilik menyisihkan mebel tua itu. Namun, sentuhan modern desainer di Santai Furniture membuatnya kembali memikat hati.
Santai Furniture diinisiasi Dennis Pluemer, warga asal Jerman yang menetap di DI Yogyakarta. Ia menghadirkan desain kontemporer Jawa dengan melibatkan desainer lokal, seperti Singgih S Kartono dan Eko Prawoto.
Lebih dari 30 jenis produk Santai dipasarkan di Jerman, Amerika Serikat, Singapura, dan Malaysia. Tak ketinggalan juga digemari di dalam negeri. Produk ini antara lain dipakai oleh arsitek Andra Matin untuk mempercantik ruang karyanya.
Kehidupan serba lamban di Jawa dihadirkan lewat produk seperti kursi jengki dan sedan yang telah didesain ulang oleh Singgih. Ia juga dikenal sebagai desainer sepeda bambu.
Memandang jengki desain baru itu, memori segera melayang ke kursi jengki dengan anyaman rotan yang dulu biasa ditemui di ruang-ruang tamu di Jawa Tengah atau DI Yogyakarta. Bedanya, jengki ini tampil lebih modern, cantik, dan elegan.
Rasa kontemporer dengan gaya tropis terwujud dalam tubuh jengki yang ringan, bentuk eksotik, dan pewarnaan hangat material alam. ”Tantangan terberat redesign produk yang sudah sangat dikenal dan ikonik adalah harus mempertahankan garisnya sehingga ketika orang melihat: Oo... ini jengki. Sentuhannya harus seminimal mungkin,” kata Singgih.
Kesan modern tak perlu ditambahkan karena penampilan jengki memang sudah modern. Jengki juga tidak murni lahir dari budaya Jawa. Kursi merupakan hasil desain Amerika, lalu populer pada era 1950-an dan identik dengan Jawa.
Untuk memperkuat identitas kejawaan, Singgih berkaca pada konsep morfologi huruf Jawa atau hanacaraka yang meruncing di ujung huruf dan kaya lengkungan.
Ujung meruncing tetapi agak melengkung, misalnya, ditonjolkan antara lain pada sandaran tangan pada kursi jengki ataupun sedan. Kaki-kaki kursi juga diiolah jadi kecil di bagian bawah. Referensi huruf Jawa juga mengemuka pada anyaman rotan yang meruncing di bagian tempat duduk serta sandaran punggung.
”Kebaruannya saya memasukkan unsur dari gagasan hanacaraka. Ada garis meruncing dan ada garis lengkung yang mengalir,” ujar Singgih.
Angkringan dan amben
Karya Singgih lainnya yang masih tersentuh bentukan hanacaraka berupa set kursi dan meja angkringan. Desain ini mengusung fleksibilitas mebel yang juga punya fungsi sosial.
Sama seperti meja di angkringan yang multifungsi, meja yang dijuluki kring di set angkringan ini bisa dilipat dan bisa difungsikan sekaligus sebagai meja makan, meja kerja, meja untuk nongkrong dan bermain.
Di bawah meja terdapat meja ke dua yang terbuat dari anyaman rotan dengan motif truntum. Dasar desain set angkringan ini mirip bentuk bangku panjang. Bangku panjang dengan suasana akrab tergolong menarik karena tidak dikenal di negara maju.
”Orang sekarang space terbatas, fasilitas terbatas, setiap alat cenderung bisa multifungsi. Di angkringan ada bagian bawah buat naruh barang, bisa buat makan, bisa buat kerja,” ujar Singgih.
Karya Desainer Santai yang juga arsitek, Eko Prawoto, antara lain berupa amben. Amben pun mengusung konsep multifungsi sebagai tempat tidur ataupun sekadar duduk santai. ”Saya mengikuti cita rasa modern. Bambu utuh kesannya tradisional, jadi saya mengombinasikan jointing system-nya dengan metal sheet,” kata Eko Prawoto.
Amben merupakan mebel otentik Jawa ditopang oleh material bambu yang mentul-mentul alias elastis. Material bambu juga sedang naik daun karena tren kesinambungan lingkungan. Sofa empuk yang dilekatkan di atas bambu didesain seolah melayang. Rangka bawahnya dibuat dari jajaran beberapa pikulan bambu yang akan bergoyang ketika diduduki.
Menurut Eko Prawoto, produk Santai Furniture mewakili gambaran arsitektur Indonesia ke depan. Bahan baku, pengerjaan produk, dan referensinya sangat Indonesia, tetapi memenuhi syarat, kekuatan, konstruksi, dan cita rasa yang lebih universal. Santai Furniture juga menawarkan furniture sebagai sebuah nilai yang bertumpu budaya setempat.
Tidak usang
Singgih menambahkan bahwa produk Santai terkait erat dengan memori masa lalu. Para desainer di Santai juga bekerja dengan idealisme karya yang tidak lekang waktu dan tidak cepat usang.
”Desain baru mengingatkan memori lama dan menampilkan yang baru yang match (cocok) dengan interior sekarang. Sangat adaptif bisa dipakai dimana saja,” ujarnya.
Penggagas Santai Furniture, Dennis Pluemer, yang pernah belajar dan bekerja di beberapa negara di ASEAN dan sudah enam tahun menetap di Yogyakarta, mengaku sempat frustrasi ketika melihat produk mebel Indonesia yang dibawanya pameran ke Jerman.
Beberapa produsen menampilkan karya yang benar-benar kontemporer tanpa pengaruh budaya. Sisanya, memamerkan produk kental Jawa tanpa sentuhan kontemporer.
”Yang fresh kontemporer Jawa belum ada. Saya frustrasi. Karena selama tinggal di Yogya, saya lihat banyak inspirasi yang asyik dari arsitektur kuno ataupun elemen gaya hidup lokal kayak angkringan,” kata Dennis yang telanjur jatuh hati dengan budaya Jawa.
Karena pengaruh globalisasi, ia melihat semakin banyak elemen budaya lokal yang hilang dan dunia menjadi semakin seragam. Ia ingin turut merevitalisasi elemen budaya Jawa dengan desain kontemporer, tetapi tetap memakai keahlian perajin tradisional.
”Saya lihat di sektor tradisional, seperti anyaman mendong dan ukiran, mereka enggak aplikasi ke desain kontemporer, lama-lama generasi muda pindah sektor lain, skill hilang dan hilang pula elemen budaya lokal,” ujarnya.
Pengaruh budaya Jerman dimunculkan pada desain yang perfeksionis, rasional, ringan, dan abstrak. Agar tak terlalu polos, elemen tradisional Jawa dimasukkan sebagai detail
yang tetap dibuat seminimal mungkin. Hasilnya, muncul kebaruan produk furnitur dengan kontur, ide, dan bentuk dari desainer lokal yang be-
lum pernah dilihat oleh pasar dunia.
”Ide bahasa desain, seperti bahasa huruf, beda jauh dengan pikiran Eropa. Yang paling spesial: ada ide yang beda dengan desain yang sudah ada di pasar barat,” kata Dennis.