Perjalanan Spiritual Para Pelari
Ada kalanya semangat membara padam tersiram oleh letih. Ada kalanya jalan di depan mata bagai lintasan tak berujung. Kalau sudah begini, pikiran harus tetap jernih. Pesimisme harus coba untuk disangkal. Di sini, perjalanan spiritual para pelari sebenarnya sedang dimulai.
Semangat masih terasa ketika maraton baru dimulai. Badan masih bugar, pikiran masih senang. Teman-teman pelari juga masih ada di kiri, kanan, depan, dan belakang.
Lama-lama, badan mulai lelah, otot kaki mulai kencang, napas juga mulai tersengal. Panas matahari pun jadi terasa tidak nyaman. Saat berhenti sebentar untuk bernapas, teman-teman semakin jauh berlari ke depan.
“Ujian” maraton tidak berhenti di situ. Saat sedang sendirian dan letih, lintasan lari terasa tidak habis-habis. Ada kalanya badan ingin berhenti berlari, dan kemudian secara ajaib tiba di garis finis. Kemudian minum air putih dingin sepuasnya, sampai kembung kalau perlu.
Walaupun begitu, lari jarak panjang punya sisi magis. Saat tertinggal sendirian sambil melawan rasa minder, kita mulai fokus pada diri sendiri. Selain itu, saat sendirian, kita menjadi satu-satunya orang yang bisa menyemangati diri sendiri.
Intinya, ini akan melatih kita menjadi lebih kuat secara mental. Kita menjadi fokus, dan yang lebih penting, percaya pada kekuatan sendiri.
Itu kurang lebih poin-poin yang sering diperoleh para runner selepas mengikuti maraton. Jadi bila dipikir-pikir, poin yang bisa diperoleh dari maraton sama halnya dengan meditasi. Bedanya, maraton bikin engap-engap.
Pelajaran berharga
Selain itu, ada banyak pelajaran berharga lain yang bisa diambil setelah mengikuti maraton. Manajemen kekuatan fisik, manajemen suasana hati, hingga seberapa kuat optimisme kita diuji dalam lintasan 40 kilometer (jarak di atas 40 kilometer disebut ultramaraton).
Jadi, maraton bukan sekadar soal sampai di garis finis dengan cepat. Maraton juga jadi lomba menyangkal keterbatasan diri hingga garis finis.
Pemenang Kompas Tambora Challenge-Lintas Sumbawa 320K 2018, William (32), menjadi salah satu pelari yang merasakan manfaat dari maraton. Bukan hanya fisik bertambah kuat tetapi mental.
Ini ditunjukkannya dengan menjadi pemenang di Kompas Tambora Challenge-Lintas Sumbawa 320K 2018, membayar kegagalannya di ajang yang sama tiga tahun lalu.
“Pada 2016, saya ikut kompetisi yang sama. Tapi, saya selesai dalam waktu 75 jam, sekitar tiga jam melewati cut off time (COT atau batas waktu lari). Tahun lalu, saya ikut lagi (Kompas Tambora Challenge 2018) dengan satu tujuan saja, saya tidak mau lagi melewati COT ,” kata William di Jakarta, Minggu (24/2/2019).
Di 2018, William bahkan menjadi pelari pertama yang berhasil mencetak waktu 62 jam 26 menit sejak kompetisi itu digelar pertama kali tahun 2015. Padahal, ia harus menyelesaikan rute sejauh 320 kilometer di Nusa Tenggara Barat.
Tahun ini, ultramaraton serupa kembali digelar pada 1-4 Mei 2019. Para peserta harus berlari sejauh 320 kilometer melewati tiga kabupaten NTB, yaitu Sumbawa Barat, Sumbawa, dan Dompu. Garis start berada di Lapangan Poto Tano sedangkan garis finis ada di Doro Ncanga, tepatnya di kaki Gunung Tambora.
Baca juga : Tantangan Baru Kompas Tambora Challenge
Bila tahun-tahun sebelumnya COT 72 jam, kini COT diubah menjadi 68 jam. Tujuannya agar standar lomba ini meningkat dan bisa jadi ajang kualifikasi bagi para peserta yang ingin mengikuti lomba yang lebih besar. Panitia pun menjamin bahwa keputusan ini sudah didasari pada perhitungan matang.
Meditasi
Kembali pada perjalanan spiritual pelari. Untuk sampai di garis finis ternyata tidak butuh banyak hal. Cukup butuh percaya pada kekuatan diri dan kecepatan diri sendiri.
William mengatakan, itulah yang ia lakukan pada ultramaraton tahun lalu. Ia menolak keinginan diri untuk mengejar ketertinggalan menurut kecepatan peserta lain.
Menurut pengusaha kerupuk asal Medan itu, lari bisa jadi menyenangkan. Ia bisa merasakan efek yang sama dengan meditasi saat berlari jarak jauh.
“Lari itu seperti meditasi. Ada momen untuk mengevaluasi diri kita sendiri, seperti mau bikin apa di masa depan. Tentunya juga kita ada momen untuk kembali fokus berlari,” kata William.
George (46), salah satu pelari yang ikut berlari dalam acara pembukaan Kompas Tambora Challenge 2019-Lintas Sumbawa 320K, di kawasan Gelora Bung Karno dan sekitarnya, di Jakarta, Minggu (24/2/2019), turut merasakan dampak besar dari berlari.
Selain merasa lebih sehat, ia banyak belajar tentang ketahanan mental dan penyerahan diri pada Yang Maha Kuasa. Maraton bagai perjalanan spiritual baginya.
“Berlari itu mengajarkan strength, resillience, commitment, and being humble (kekuatan, ketahanan, komitmen, dan belajar rendah hati). Berlari itu seperti belajar berserah pada Tuhan. Kalau kita bisa sampai di garis finis, itu bukan karena diri sendiri, tapi karena Yang Di Atas. Kita tidak boleh sombong,” katanya.
Tidak mudah untuk George mengatakan ini. Ia pun pernah mengalami masa ingin menyerah, keletihan, hingga bosan. Butuh waktu satu tahun bagi George untuk berdamai dengan diri sendiri dan menerima kemampuan dirinya dengan berlari.
Ia bercerita, saban hari ia berlari 8-10 kilo meter. Namun, karena ingin ikut Kompas Tambora Challenge 2019-Lintas Sumbawa 320K, ia meningkatkan beban latihannya menjadi 12-20 kilometer per hari. Menurutnya, ia siap mengikuti ultramaraton pertamanya tersebut.
Ternyata, berlari bukan sekadar berlari. Bagi sebagian orang, tidak hanya penting menjadi seorang runner, namun juga finisher. Momen di garis finis tidak lagi sekadar memenangkan lomba. Tiba di garis finis juga berarti menang atas diri sendiri dan segala keterbatasannya. (SEKAR GANDHAWANGI)