Industri Video Gim Lokal Terhambat Kurangnya Tenaga Terdidik
Oleh
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Potensi besar pendapatan dari industri video gim Indonesia terhambat kurangnya sumber daya manusia yang sesuai dengan kebutuhan industri. Dibutuhkan pendidikan khusus dengan kurikulum yang terarah untuk memaksimalkan penerimaan dari sektor ini.
Hal tersebut terungkap dalam diskusi “Tantangan dan Potensi Industri Game di Indonesia” pada Kamis (28/2/2019) di Jakarta Creative Hub, Jakarta. Acara tersebut menghadirkan General Manager Game Business PT. Melon Indonesia, Telkom Group Michael Julianto, dan Chief Executive Officer (CEO) Arsanesia Entertainment Adam Ardisasmita.
Menurut Adam, saat ini video gim adalah salah satu industri yang menjanjikan di Indonesia. Setiap tahun, pendapatan Indonesia dari video gim terus menunjukkan tren meningkat.
Menurut lembaga riset konsumen Newzoo, pada 2017 industri video gim di Indonesia meraup pendapatan sebesar 879,7 juta dollar AS dari 43,7 juta populasi dalam jaringan (daring). Perolehan ini meningkat jadi 1.130 juta dollar AS dari populasi daring sebanyak 82 juta jiwa pada 2018.
Kendati demikian, hampir seluruh pendapatan itu masuk ke dalam kantong perusahaan pengembang video gim luar negeri. Data dari Asosiasi Game Indonesia (AGI) pada 2018 mencatat, pangsa pasar (market share) untuk penerbit dan pengembang video gim lokal hanya sebesar dua persen, sementara sisanya dikuasai oleh perusahaan video gim dari luar negeri.
Jumlah ini jauh berbeda bila dibandingkan dengan negara lain seperti Jepang yang perusahaan lokalnya menguasai 81 persen pasar video gim atau Korea Selatan sebesar 78 persen.
Salah satu faktor utama terjadinya hal ini, kata Adam, adalah kurangnya sumber daya manusia (SDM) berkualitas yang dibutuhkan perusahaan video gim di Indonesia untuk mengembangkan sebuah permainan. SDM ini dibutuhkan pada beragam aspek dalam pembuatan sebuah produk seperti pengembang (developer), teknisi (engineer), desainer grafis, hingga ahli bahasa pemrograman.
“Pendidikan untuk mereka yang ingin terlibat dalam industri ini masih minim. Apabila ada, materi yang diberikan belum memiliki fokus yang tepat,” kata Adam.
Selain itu, masih ada masyarakat yang terjebak dalam stigma negatif video gim. Mereka memandang video gim dari satu sisi saja, yaitu permainan. Orang tua mengkhawatirkan anaknya yang kerap bermain gim akan kecanduan. Padahal, menurut Adam, industri video gim terdiri dari berbagai sub-bidang.
Hal ini diamini oleh Michael. Saat ini, industri gim di Indonesia telah berevolusi hingga memunculkan sumber pendapatan baru bagi perusahaan atau profesi baru bagi para pelaku yang terlibat di dalamnya. Salah satu contohnya adalah atlet olahraga elektronik (e-sport) yang bisa memperoleh puluhan juta rupiah dalam satu kompetisi.
“Turnamen yang diadakan oleh event organizer (EO) khusus e-sport juga mendapat penghasilan yang besar. Umumnya mereka mendapatkannya dari sponsor-sponsor,” tambahnya.
Untuk mengatasi hambatan ini, Adam menyarankan lembaga pendidikan seperti universitas membuat program studi khusus untuk video gim. Kurikulum yang dirancang perlu dikonsultasikan dengan para pelaku industri atau asosiasi terkait. Hal ini agar lulusan program memiliki kemampuan yang baik dan sesuai kebutuhan.
Lulusan program ini juga perlu diberi pelatihan kerja lapangan secara langsung. Tujuannya, agar dapat mengetahui seluk beluk industri video gim dan mengaplikasikan ilmu yang didapat secara langsung.
Sementara itu, upaya yang dapat dilakukan pemerintah adalah memberi insentif pada perusahaan pengembang internasional untuk membuat studio produksi video gim di Indonesia. Dengan ini, proses alih teknologi dan pengetahuan dari perusahaan internasional ke SDM lokal dapat dilakukan sehingga meningkatkan kapabilitas tenaga kerja Indonesia pada bidang ini.
Proteksi terhadap pasar video gim lokal juga perlu diupayakan. Pemerintah perlu memperkuat regulasi yang mengatur masuknya sebuah gim seperti pemberlakuan pajak yang sesuai atau menaikkan status Klasifikasi Permainan Interaktif Elektronik atau Indonesian Game Rating System (IRGS) yang dibuat oleh Kementerian Komunikasi dan Informasi. Hingga kini, status dari IGRS masih berupa rekomendasi dan sosialisasi.
“Sosialisasi dan edukasi kepada masyarakat terhadap industri video gim juga masih perlu dilakukan agar dapat menghapus anggapan negatif dan menarik minat masyarakat untuk turut terlibat,” pungkasnya.