Sendiri Tanpa Sepi
Prof Soekirman (83) tetap aktif memperjuangkan pemenuhan gizi bagi masyarakat miskin. Rumahnya menjadi saksi betapa hari-harinya tak pernah sepi dari karya. Rumah yang dibangun pada 1985 itu boleh menua, namun sama seperti Soekirman, rumahnya tetap memancarkan pesona.
Prof Soekirman kini adalah Guru Besar Emeritus Departemen Gizi Masyarakat Fakultas Ekologi Manusia Institut Pertanian Bogor. Sang istri, Sri Wahyu Soekirman, meninggal pada tiga bulan lalu.
Sejak itu, para kemenakan dan mantan anak buah di Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) yang sudah dianggapnya seperti anak sendiri berinisiatif memindahkan meja kerja dari lantai atas rumah ke lantai bawah. Mereka khawatir jika Soekirman harus naik-turun tangga untuk bekerja di lantai atas.
Lantai atas rumah Soekirman memang kini menjadi kantor Yayasan Kegizian untuk Pengembangan Fortifikasi Pangan Indonesia yang didirikannya pada 2002.
”Saya enggak ada kata pensiun. Selalu baca, agar terus bisa mengikuti perkembangan ilmu,” kata mantan Deputi Menteri Bappenas Bidang Sosial Budaya (1988-1993) dan Deputi Menteri Bappenas Bidang Pengembangan Sumber Daya Manusia (1993-1997) ini saat ditemui di rumahnya di Pasar Minggu, Sabtu (16/2/2019).
Meja kerja kayu berbentuk huruf L di bagian paling tengah dari rumah di lantai satu itu akhirnya benar-benar menjadi pusat kegiatan Soekirman. Jika anak-anaknya tak mengingatkan, ia sering kali lupa waktu berkutat dengan komputer dan tenggelam dalam buku hingga dini hari.
Demi memantau aktivitas Soekirman pula, anak-anaknya yang semuanya perempuan membuat grup Whatsapp yang rutin mengingatkannya untuk beristirahat.
Setelah meluncurkan buku berjudul Gizi Pembangunan pada 2016, tiap hari Soekirman menargetkan tetap menulis dua lembar untuk buku terbarunya. Buku Gizi Pembangunan berisi kumpulan tulisannya selama lebih dari 50 tahun.
Kiprahnya antara lain tampak dalam perjuangan menentang program pemberian susu bagi anak sekolah. Argumentasi berlandaskan kajian ilmiahnya tidak terbantahkan, bahkan oleh Presiden Soeharto.
Ketika mengambil Master of Professional Studies Bidang International Nutrition di Universitas Cornell (1973) hingga meraih gelar doktor dari Universitas Cornell, AS (1983), ia pun mengalami intoleransi susu yang ternyata dialami oleh lebih separuh mahasiswa, terutama yang berasal dari negara berkembang.
Susu, menurut dia, tidak wajib dikonsumsi karena mahal, impor, memicu diare, karena mudah terkontaminasi bakteri, dan menimbulkan intoleransi laktosa.
Kaya nostalgia
Bagi Soekirman, rumah menjadi suatu hal yang mutlak dimiliki ketika seseorang berumah tangga. Tak harus besar, rumah menjadikan keluarga mandiri dan punya otoritas sendiri. Lahir di sebuah desa di Bojonegoro, Jawa Timur, Soekirman pindah ke Jakarta ketika melanjutkan Sekolah Ahli Diet di Jakarta, sebelum kemudian pindah ke Bogor.
Lulus tahun 1960, ia bekerja sebagai ahli gizi PNS di Aceh, yang kala itu salah satu tugasnya adalah membagi-bagikan susu gratis.
Menjabat Kepala Bidang Kesehatan dan Gizi Bappenas (1983-1988), ia lantas membeli rumah pertamanya di kawasan Perumahan Bappenas dengan harga murah dari negara. Dari awalnya membeli rumah ukuran kecil, ukuran rumahnya bertambah lebih besar setelah menjabat sebagai deputi. ”Ketika jadi eselon dua dapat rumah tipe B. Diangkat deputi dapat tipe A,” katanya.
Soekirman lupa berapa persisnya ukuran luas rumahnya kini, tetapi rumah itu cukup luas. Ia bahkan bisa membangun rumah terpisah untuk pembantu rumah tangga dan keluarganya. Selain bangunan utama dua lantai, masih ada halaman yang ditanami beberapa pohon rambutan yang sedang berbuah. Di halaman itu, almarhumah istrinya hobi berkebun dan menanam aneka tanaman hias.
Karena sudah dihuni dari sejak 1980-an, rumah yang sering kali kebanjiran pada musim hujan itu pun kaya nostalgia. Mebel yang kini tampak kuno, tetapi terpelihara dengan sangat bagus, dikumpulkan satu per satu. Mayoritas dibuat dari kayu jati asal Jepara. Kursi ruang tamu, misalnya, memiliki sandaran kayu tinggi yang kini jarang ditemukan di pasaran.
Lemari kaca jadi etalase koleksi boneka suvenir dari sejumlah negara yang dikunjungi selama tugas. Lemari kayu lainnya disesaki bermacam-macam buku bacaan. Selain ruang tamu dan tempat kerja, di lantai bawah terdapat pula kamar tidur utama yang menyatu dengan toilet. Desain toilet itu kental rasa lawasan alias vintage.
Setiap pagi, Soekirman biasa jalan kaki sambil membawa barbel mengelilingi ruang tamu, lalu menuju ruang makan yang terpisah oleh penyekat dinding kaca.
Meja bundar antik beralas kaca dan beberapa kursi kayu mendominasi ruang makan yang diterangi lampu chandelier. ”Saya suka makanan rumahan, terutama olahan ikan,” tambah Soekirman.
Seribu buku
Menapaki tangga menuju lantai atas, langkah bakal terhenti pada rak buku di sudut tangga yang disesaki buku. Buku-buku di rak itu adalah buku-buku yang biasa dibaca dan dibutuhkan untuk diraih dengan cepat. Di ujung tangga, sebuah ruang perpustakaan menyambut dan menyita perhatian.
Ruang perpustakaan di rumah ini mirip dengan perpustakaan yang biasa kita jumpai di kampus-kampus. Dulu sebelum Soekirman pensiun dari PNS, ia menugasi petugas perpustakaan untuk menata dan membuat katalog dari setiap buku di situ. Kala itu, banyak mahasiswanya dari beragam kampus datang untuk meminjam buku.
Buku-buku yang jumlahnya lebih dari seribu itu akan dihibahkan ke Universitas Hasanuddin, Makassar. Hingga kini, Soekirman masih sering mengajar di Universitas Hasanuddin dan beberapa universitas lain. ”Supaya buku tetap berguna dan fungsi buku untuk pengajaran,” tambahnya.
Lantai atas disulap jadi kantor yayasan yang bergerak di bidang fortifikasi pangan sejak 2003. Setelah selesai dengan fortifikasi atau pengayaan vitamin A pada minyak goreng, yayasan ini akan mulai dengan program baru pengayaan zat besi pada garam, bekerja sama dengan organisasi internasional untuk pemberantasan anemia. Fortifikasi penting karena bisa meningkatkan nilai gizi pangan demi memenuhi kebutuhan gizi rakyat miskin.
Perjalanan karier Soekirman tergambar dari foto-foto yang dipajang di dinding, antara lain fotonya bersama Presiden Soeharto hingga foto kunjungan ke daerah. Soekirman juga pernah berkiprah merekomendasikan pangan lokal untuk makanan tambahan anak sekolah.
”Hampir semua guru di daerah mengeluh pendidikan tidak efektif karena miskin, anak jalan jauh, di kelas enggak ada daya dan tidur,” ujarnya.
Di lantai atas, Soekirman juga menyediakan dua kamar tidur untuk tamu-tamu yang ingin menginap. Belum lama ini, mantan mahasiswanya yang sudah menjadi pejabat rektor memilih menginap di rumah itu ketika melihatnya tinggal seorang diri.
Meski seorang diri, di rumahnya, Soekirman terus bekerja. Itu yang membuatnya tak dihinggapi sepi.