Para desainer dunia kini tak sekadar merancang produk dengan berorientasi pada fungsi. Kesadaran mereka terus meningkat untuk memberi makna pada produknya. Demikian benang merah pernyataan para praktisi desain di sela Singapore Design Week di Singapura, Kamis (7/3/3019).
Oleh
DWI BAYU RADIUS
·3 menit baca
SINGAPURA, KOMPAS – Para desainer dunia kini tak sekadar merancang produk dengan berorientasi pada fungsi. Kesadaran mereka terus meningkat untuk memberi makna pada produknya.
Demikian benang merah pernyataan para praktisi desain di sela Singapore Design Week di Singapura, Kamis (7/3/3019). Produser Eksekutif Walt Disney Imagineering Nancy Seruto saat menjadi pembicara pada gelar wicara (talkshow) Fortune Wallpaper* Brainstorm Design mengatakan, ketika mendesain Disneyland Park Shanghai di China, pihaknya melakukan pendekatan budaya.
Taman bermain Disneyland Park adalah ikon hiburan negara barat yang telah mendunia. Sementara, China, negara besar di Asia juga memiliki budaya yang kuat. Karena itu, pertunjukan-pertunjukan di Disneyland Park Shanghai mengadaptasi kultur setempat.
Pertunjukan itu seperti sejumlah tokoh film kartun garapan Walt Disney yang memeragakan taichi. Kisah “Beauty and the Beast” yang pernah difilmkan Walt Disney juga dipanggungkan melalui atraksi Bai Ling Storytelling atau disampaikan dengan bahasa Mandarin. Nancy mengatakan, Walt Disney Imagineering memberikan makna kultural pada Disneyland Park Shanghai sebagai hasil studi pasar lokal.
“Sangat menyenangkan. Sebelumnya, para staf lokal di China belum pernah membuat taman hiburan seperti Disneyland Park,” ujarnya.
Para desainer produk rumah tangga dari Singapura pun saat ini tak hanya mengedepankan fungsi tetapi juga makna. Chris Lee, desainer asal Singapura mengatakan, dia memajang produknya yang disebut “Blanket”. Pendiri studio desain Asylum itu mengatakan, dia ingin menunjukkan kehangatan keluarga dengan karyanya. Selimut tersebut dihiasi motif seperti ujung dasi.
“Ibu menyelimuti saya dengan selimut. Itulah ingatan awal saya tentang cinta. Jadi, tak hanya fisik, selimut juga menghangatkan saya secara psikologis,” ujarnya di pameran bertajuk "Wallpaper* Handmade Passion Project". Menurut Lee, motif pada selimut itu juga mendeskripsikan bukti cinta ayah kepada keluarganya dengan giat bekerja.
Clara Yee, desainer asal Singapura yang mengikuti pameran tersebut mengatakan, dia memajang karyanya berupa meja mirip kuil kecil yang disebut "Console". Yee bermaksud memaknai produknya dengan ketergantungan masyarakat terhadap jaringan internet nirkabel.
Pameran yang diselenggarakan di Museum Nasional Singapura tersebut menampilkan karya delapan desainer dari Singapura. Selain Lee dan Yee, desainer-desainer yang mengikuti pameran itu, yakni Brandon Yeo, Hans Tan, Lai Chan, Lanzavecchia Wai, Lekker, dan Tiffany Loy.
Menurut desainer produksi asal Amerika Serikat Nelson Coates, dia harus bekerja keras dengan tekanan tinggi saat membuat sejumlah latar untuk adegan film “Crazy Rich Asians” yang diproduksi pada tahun 2018. Film itu berkisah mengenai kehidupan orang-orang Asia yang super kaya.
Nelson pun belajar banyak mengenai kondisi negara-negara yang dijadikan lokasi syuting film tersebut, yakni Singapura dan Malaysia. “Saat syuting di Kuala Lumpur (Malaysia) misalnya, hujan turun terus-menerus selama enam hari,” ujarnya.
Para pekerja desain panik karena harus membuat latar salah satu adegan film itu. Sekitar 30 pekerja mengecat latar tersebut hingga kelelahan. Namun, pekerjaan itu tak kunjung selesai. Nelson lalu mengetahui bahwa masyarakat Asia senang dipijit terutama pada bagian bahu saat bersenda gurau.
“Saya memijit bahu para pekerja di lokasi syuting. Mereka bilang, bosnya saja tak pernah melakukan itu,” ucapnya sambil tertawa. Para pekerja itu lantas bekerja lagi dengan semangat sehingga pengecatan bisa diselesaikan. Nelson telah memberikan makna pada desainnya dengan hubungan yang benar-benar humanis.