Kakao dari tanah Papua menyimpan harta karun besar, yakni cita rasanya. Hutan yang masih terjaga berperan besar untuk menyuntikkan sari-sarinya pada biji buah tropis itu. Cerita inilah yang hendak disebarkan, yakni cerita tentang kualitas yang melampaui batas kuantitas.
Ada puluhan keping cokelat terhidang di Pipiltin Cocoa, Jakarta Selatan, Jumat (15/3/2019). Setiap cokelat diberi label sesuai dengan asal bahan bakunya. Ada cokelat dari kakao Tabanan (Bali), Tanazozo (Flores), Bireun (Aceh), Manokwari (Papua Barat), dan Jayapura (Papua). Cokelat-cokelat itu kemudian dicicipi para penikmat yang hadir pada sesi private single origin chocolate tasting siang itu.
Cokelat Manokwari dan Jayapura yang paling banyak mendapat decak kagum. Bahkan, ada yang mesem-mesem dan geleng-geleng kepala sambil makan cokelat. ”Wah, gila. Ini enak banget,” katanya setelah cokelat di mulutnya lumer.
Walaupun sama-sama dari tanah Papua, cokelat Manokwari dan Jayapura memiliki rasa berbeda. Cokelat Manokwari terasa lebih tajam daripada Jayapura. Ada spektrum rasa yang lebih kompleks dari sekadar rasa asam dan lembut.
Di sisi lain, cokelat Manokwari lebih cepat meleleh ketimbang cokelat Jayapura. Menurut co-founder Pipiltin Cocoa, Irvan Helmi, cokelat itu lebih cepat lumer karena lemak kakao (cocoa butter) yang dikandung lebih banyak.
”Ada banyak hutan di Papua. Itu sebabnya, rasa kakao Papua sangat berbeda dengan kakao dari daerah lain. Kami ingin mengangkat cita rasanya,” kata Program Officer Coffee and Cocoa Yayasan Inisiatif Dagang Hijau Melati.
Deforestasi
Konon, masih banyak wilayah hutan di tanah Papua yang belum terjamah manusia. Hutan tropis Papua merupakan benteng terakhir untuk melindungi kekayaan hayati tropis Indonesia. Pemerintah bahkan mengandalkan hutan Papua dan Papua Barat untuk menurunkan emisi gas rumah kaca.
Kenyataannya, hutan tropis di timur Indonesia itu terancam deforestasi. Pada 2017, luas hutan di Papua-Papua Barat adalah 29,4 juta hektar atau setara dengan 35 persen total luas hutan Indonesia. Namun, laju rata-rata deforestasi di sana mencapai 436.000 hektar per tahun (Kompas, 3/12/2017).
Dalam Konvensi Rangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim (UNFCCC) ke-24 di Polandia disebutkan bahwa Indonesia akan kehilangan 3,5 juta hektar hutan pada periode 2021-2030. Angka ini belum termasuk deforestasi ilegal yang mungkin terjadi (Kompas, 8/12/2018).
Isu deforestasi pada akhirnya menjadi ironi. Indonesia kini menjadi penghasil biji kakao terbesar keenam di dunia. Padahal, sebelumnya Indonesia ada di peringkat ketiga. Cita rasa kakao tanah Papua pun terancam hilang bersamaan dengan hutan yang hilang.
”Anda hanya bisa menemukan kakao yang baik di dalam hutan. Tapi, sekitar 40 persen deforestasi terjadi pada (hutan) kakao,” kata chocolatier atau ahli cokelat asal Belanda, Alexandre Bellion, di Jakarta.
Kualitas, bukan kuantitas
Menjaga cita rasa otentik kakao Papua mungkin akan menjadi sebuah tantangan besar. Hutan di tanah Papua dan Papua Barat harus diselamatkan terlebih dulu. Sementara itu, ancaman pembukaan lahan untuk pertambangan hingga perkebunan kelapa sawit masih menanti di depan mata.
Di sisi lain, masyarakat kerap membudidayakan sejumlah tanaman di hutan Papua, misalnya kakao, vanili, dan kopi. Budidaya tersebut bukan sekadar upaya memerangi deforestasi. Ada upaya menjaga hubungan emosional antara masyarakat Papua dan alamnya. Berkebun dinilai dekat dengan hati masyarakat.
Hal tersebut jadi modal besar buat menjaga cita rasa kakao tanah Papua dan cokelat dari olahan kakaonya. Penjualan besar-besaran bukan tujuan utamanya. Melestarikan kualitas rasa adalah yang paling penting.
”Ubah pola kerjanya (mengelola perkebunan kakao). Yang terpenting bukanlah bagaimana produktivitas pohon kakao per hektar, melainkan bagaimana produktivitas per pohon kakao,” kata Bellion.
Berhenti sejenak mengutamakan kuantitas dinilai penting. Apabila kuantitas didahulukan, menurut Alex, para petani berpotensi menggunakan pupuk atau fertilizer. Jika digunakan dalam jangka waktu panjang, ekosistem hutan bisa terganggu.
Cara kerja seperti ini pun, kata Alex, bisa meningkatkan nilai jual kakao Papua-Papua Barat. Menurut dia, akan selalu ada pasar yang membutuhkan kakao berkualitas tinggi seperti ini.
Sementara itu, berdialog dengan para petani kakao pun tidak kalah krusial. Petani perlu dibuat mengerti akan posisinya sebagai kunci rantai produksi kakao.
Pengertian itu akan berbuah pada dua hal. Pertama, kesungguhan petani kakao untuk membudidayakan kakao. Kedua, mengurangi potensi substitusi kebun kakao menjadi lahan pertambangan atau kelapa sawit.
”Kita bisa saja tingkatkan produktivitas kakao di Papua, tetapi bukan itu yang penting. Kakao Papua-Papua Barat punya cerita sendiri untuk diangkat,” tambah Melati. (SEKAR GANDHAWANGI)