Wastra Pulau Terluar Mendunia
Indonesia tak ingin dipandang sekadar sebagai obyek dalam industri produk mode ramah lingkungan (”eco-fashion”). Desainer yang fokus pada isu keberlanjutan lingkungan di Tanah Air pun menghimpun kekuatan untuk terus berkiprah hingga ke panggung global.
Februari lalu, Midian Sefnat Sihombing Hutasoit, yang lebih dikenal sebagai Merdi Sihombing, mempertontonkan keindahan tenun dari pulau-pulau terluar di panggung Independent London Fashion Week Designers Association (ILFWDA). Berselang sepekan kemudian, karya-karya itu ditampilkan di TRESemmé Bangladesh Fashion Week.
Galeri Batik Jawa yang didirikan Mayasari Sekarlaranti juga meraih The Best New Product–Artisan Resource di New York Now 2018. Dalam pergelaran di Jakarta, baik karya Merdi maupun Galeri Batik Jawa sempat ditampilkan di Eco Fashion Week Indonesia 2018.
Karya Merdi bertajuk Nomadic Tourism yang tampil di Eco Fashion Week Indonesia 2018 terdiri atas 22 tampilan busana. Koleksi ini mengangkat tenun berdesain baru yang dihimpun dari tiga pulau terpencil sekaligus pulau terluar yang berbatasan dengan Timor Leste dan Australia. Ketiga pulau itu adalah Ternate, Umapura Alor, dan Rote Ndao.
Tenun dari Ternate dikenali dari tampilan yang warna-warni, mulai dari sentuhan hijau hingga oranye. Wastra dari Alor didominasi warna hitam putih, sedangkan tenun Ndao tampil cantik lewat sentuhan motif geometris dominan biru. Kesan berat pada tenun hilang lewat sentuhan desain kekinian yang siap pakai.
Selain menyuguhkan koleksi, Merdi juga mengajak masyarakat urban untuk bertandang ke pulau terluar sebagai wisatawan yang hidup membaur dengan masyarakat. Tak hanya berkunjung, tetapi juga merasakan hidup di sana, menikmati budaya dan alam, tanpa menuntut fasilitas mewah.
Merdi sengaja menciptakan motif baru dan menghindari penggunaan motif adat. Pewarnaan yang seluruhnya alami diambil dari lingkungan sekitar.
Dari zaman nenek moyang, petenun di pulau terluar sudah memanfaatkan rebusan hasil laut, seperti teripang dan cumi, untuk sentuhan warna ungu tua atau hijau. Tanaman kolam susu menghasilkan warna hijau, indigo untuk biru, atau akar mengkudu untuk warna merah.
Mengusung prinsip slow fashion, koleksi ini merupakan buah kerja keras selama setahun dengan didukung Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi. ”Koleksi merepresentasikan perempuan yang mandiri dan percaya diri, cinta budaya, dan bangga sebagai perempuan Indonesia,” ujar Merdi, Rabu (13/3/2019).
Kekuatan global
Di ILFWDA, Merdi menyuguhkan 15 tampilan yang dipergelarkan bersama karya-karya Jeff Garner dan tujuh desainer mancanegara lain yang mengusung prinsip mode berkelanjutan. Jeff Garner adalah desainer Amerika Serikat yang memenangi penghargaan 2018 Eluxe Award melalui label Prophetik.
Merdi mengusung tema ”Sirat” yang biasa digunakan sebagai hiasan kepala ritual adat. Sirat merupakan produk anyaman benang berbentuk seperti pita dengan teknik table weaving. Helai demi helai sirat dijahit menjadi satu, lalu membentuk gaun panjang, jumpsuit, ataupun longcoat yang diberi aksentuasi manik metal spike.
Sirat sepanjang 1 meter dengan lebar 5-7 sentimeter biasanya terdiri atas tiga warna yang melambangkan dunia dengan komposisi warna putih di atas, merah di tengah, dan hitam di bawah. Motif ini disebut dengan istilah sacred geometry.
”Pasar global sangat peduli pada keberlangsungan. Kita menyusun kekuatan di global. Asia jangan hanya jadi obyek, padahal kita sebenarnya kekuatan industri eco-fashion,” ujar Merdi, yang juga penggagas Eco Fashion Week Indonesia 2018 yang digelar di Gedung STOVIA, Desember lalu.
Tampil percaya diri mengusung 100 persen batik dengan pewarnaan alami, kiprah Galeri Batik Jawa pun mulai mendunia di panggung mode. Label ini tampil, antara lain, di Singapura, Thailand, Jepang, Korea, China, negara-negara di Eropa, hingga Brasil. Ketika tampil di panggung internasional, Galeri Batik Jawa konsisten hanya membawa batik warna biru tua dan putih sebagai warna utama.
Warna biru dimunculkan dari pewarnaan alami Indigofera tinctoria yang memang sudah dikenal turun-temurun di kalangan pebatik di Jawa. Galeri Batik Jawa merangkul pebatik dari sentra pembatikan seperti di Gunung Kidul, DI Yogyakarta; Klaten dan Sukoharjo, Jawa Tengah; Indramayu, Jawa Barat; dan Tuban, Jawa Timur.
Untuk pasar Indonesia, warna biru diberi sentuhan harmonisasi warna lain, seperti coklat kemerahan dari kulit kayu mahoni dan coklat keabuan dari kulit pohon duwet. Pewarnaan juga harus memperhitungkan proses perebusan batik yang sering kali berdampak meluruhkan warna.
”Banyak tanaman bergetah di Indonesia yang bisa digunakan untuk harmonisasi warna biru,” kata Mayasari, yang akrab disapa Nita Kenzo.
Produk berkelanjutan
Selain menggunakan pewarna alami, Galeri Batik Jawa juga memanfaatkan bahan kain hingga potongan sekecil mungkin sehingga zero waste, tidak ada yang menjadi sampah. Benang yang digunakan berasal dari kapas yang punya daya serap tinggi pada pewarna alami. Menerapkan konsep mode yang ramah lingkungan dan terbarukan (sustainable fashion), Merdi juga menggunakan benang organik, seperti dari serat eukaliptus.
Sama-sama mengusung slow fashion, Merdi dan Galeri Batik Jawa memproses wastra dalam waktu yang cukup panjang. Untuk sebagian koleksi, bahan kain di Galeri Batik Jawa harus terlebih dulu ditenun sebelum kemudian dibatik. ”Kita menuju ke kepedulian pelestarian dan pembangunan wastra adati Indonesia ke depan,” ujar Nita.
Sustainable fashion, menurut Merdi, juga bicara tentang penguatan peran perempuan, keberlangsungan alam dan budaya, hingga pembangunan berkelanjutan dari sisi mode.
Eco-fashion menjadi perhatian dunia, terlebih ketika Ellen MacArthur Foundation melansir data yang menyatakan bahwa polusi yang dihasilkan dari industri mode sama dengan polusi yang dihasilkan oleh batubara, migas, bahkan petrokimia.