Diversity atau perbedaan menjadi tema utama bagi program Permata PhotoJournalist Grant VIII. Pada program ini, sembilan jurnalis menerjemahkan arti perbedaan melalui foto yang mereka potret. Melalui foto pula mereka belajar menggali makna di balik cerita.
Albertus Vembrianto, seorang pewarta foto lepas, belajar banyak soal perspektif orang Papua. Pelajaran ini didapatnya setelah terlibat dalam program Permata Photojournalist Grant (PPG) VIII selama dua bulan. Selama itulah ia bergaul dan mendengarkan pendapat mereka yang kadang masih terasing di negara sendiri.
“Melalui foto, aku menceritakan diskriminasi dan kekerasan berulang yang dialami orang Papua. Misalnya, pada 2016, banyak orang memberi komentar rasial pada tokoh (Papua) di uang Rp 10.000. Padahal itu pahlawan nasional,” katanya di Jakarta, Kamis (21/3/2019) malam.
Menurut cerita yang dihimpun Vembri, panggilan Albertus, bukan itu saja diskriminasi yang diterima mereka. Orang Papua masih kerap dicap primitif. Orang-orang Papua pun kerap diberi label sebagai kelompok separatis. Padahal, mereka pun ingin dipandang setara dengan orang lain.
Masih banyak cerita lain yang Vembri himpun selama lebih kurang dua bulan. Ia mendatangi sekitar tujuh asrama yang dihuni orang-orang Papua untuk mengerjakan proyek foto bertutur ini.
“Awalnya sulit karena mereka curiga dengan kedatanganku. Itu wajar karena mereka juga sering dicurigai pihak berwajib saat lagi kumpul-kumpul. Tapi lama kelamaan, saya diterima oleh mereka,” kata Vembri.
Orang Papua masih kerap dicap primitif. Orang-orang Papua pun kerap diberi label sebagai kelompok separatis. Padahal, mereka pun ingin dipandang setara dengan orang lain.
Selama mengerjakan proyek foto bertutur, ia belajar tentang sejumlah diskriminasi yang diterima orang Papua. Itu mengantarnya pada perspektif baru untuk memahami mereka.
Pada peristiwa penembakan di Nduga, Papua pada 2018, penduduk lokal juga dihantui ketakutan. Namun, hal itu tidak tertangkap oleh media dan pemerintah. Vembri mengatakan, dampak psikologis masyarakat terhadap peristiwa itu terabaikan.
“Salah satu dari mereka bilang begini, “Kalau pendatang yang meninggal diberitakan. Kalau kitorang yang mati, apa ada yang memberitakan?”. Saat itu, aku kaget karena mereka benar,” kata Vembri.
Cerita-cerita tentang orang Papua itu dikumpulkan Vembri dalam foto bertutur yang diberi judul “Fragmen Papua”. Karyanya diberi predikat The Best Work oleh para mentor dan mitra yang terlibat pada program PPG VIII.
Program untuk jurnalis
PPG VIII berlangsung selama dua bulan sejak Desember 2018-Februari 2019. Ada 12 sesi mengenai foto bertutur dan penulisan yang diikuti para peserta program. Selama itu pula, para peserta mengambil puluhan foto dengan cerita yang mereka pilih sendiri. Foto-foto itu kemudian dikurasi oleh para mentor.
PPG VIII berlangsung selama dua bulan sejak Desember 2018-Februari 2019. Ada 12 sesi mengenai foto bertutur dan penulisan yang diikuti para peserta program.
Ada 12 foto karya masing-masing peserta yang ditampilkan pada buku PPG VII. Pada pameran foto PPG VIII, ada 10 foto yang ditampilkan. Pameran itu berlangsung di Pusat Kebudayaan Belanda Erasmus Huis, Kuningan, Jakarta Selatan pada 20 Maret 2019-12 April 2019.
Tema “Diversity” dinilai tepat untuk menggambarkan kondisi sosial masa kini. Para peserta diberi kebebasan untuk menerjemahkan makna tema tersebut. Acting Director Erasmus Huis Joyce Nijssen melalui keterangan tertulis mengatakan, tema ini menangkap keberagaman yang dimiliki Indonesia secara realistis dan personal.
“Mereka (para peserta) menunjukkan bahwa di tengah berbagai tantangan, inti keanekaragaman tetap sama, yakni merayakan perbedaan,” kata Joyce.
Program itu diikuti oleh sembilan jurnalis dari beragam media. Selain Vembri, ada pula Ajeng Dinar Ulfina (katadata.co.id), Bayu Eka Novanta (pewarta foto lepas), Aprillio Akbar (Antara Foto), Denty Piawai Nastitie (Harian Kompas), Muhammad Hidayat (Tempo), Helmi Afandi Abd (kumparan.com), Hendra Eka (Jawa Pos), dan Putra Muhamad Akbar (Republika).
Cerita lain
Masing-masing peserta menerjemahkan artii keberagaman dengan dimensi pemahaman yang menarik, misalnya foto karya jurnalis Tempo, Hidayat. Ia menceritakan cinta beda agama yang dijalani sepasang suami-istri lansia.
Pada foto yang dipamerkan, ia menggambarkan bahwa pernikahan beda agama sebagai suatu realita. Namun, isu ini menjadi polemik karena pernikahan beda agama tidak diatur secara tegas dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Karyanya ia beri judul “Fade Away”.
Adapun foto karya jurnalis Kumparan, Helmi, yang menceritakan kisah perempuan bercadar di Bogor. Cerita itu menjadi menarik ketika sang tokoh utama merawat sejumlah anjing peliharaannya.
Ada pula foto yang bercerita tentang keseharian atlet tenis meja difabel Indonesia, David Jacobs. Cerita ini ditangkap oleh jurnalis Harian Kompas, Denty. Menurutnya, David merupakan tokoh dengan cerita terkuat untuk ditangkap oleh lensa kameranya.
“Setelah David berprestasi sebagai atlet, dia tidak selesai sampai di situ saja. David malah melatih atlet-atlet lain yang bukan difabel. Para atlet yang dilatih David malah menganggap dia tidak kekurangan, tapi punya banyak kelebihan. Menurutku, ini gambaran diversity,” kata Denty.