Magetan Tak Lagi Bikin Geregetan
Mungkin masih ada kalangan warga Magetan, Jawa Timur, saat ditanya tempat kelahiran menjawab Madiun. Padahal, Madiun dan Magetan merupakan daerah tingkat dua yang berbeda meski berbatasan di Jawa Timur bagian barat daya.
Kurang pede atau percaya diri bahkan malu mengaku sebagai orang Magetan seakan memicu geregetan. Namun, dengan gereget pariwisata, masyarakat Magetan lepas dari bayang-bayang kebesaran Madiun.
Selama ini, Magetan dikenal dengan keberadaan Telaga Sarangan. Juga kerajinan kulit dan batik pring sedapur (rumpun bambu) skala industri mikro kecil menengah (IMKM).
Mungkin juga ”Bumi Ki Ageng Mageti” dikenal lewat kuliner, terutama sate kelinci, ayam panggang, ayam kukus, pecel lempeng berpincuk daun jati atau daun pisang, tepo tahu (tepo adalah lontong limas atau kerucut), penganan yakni jerangking, lempeng, manisan kulit jeruk pamelo, enting-enting, dan wedang cemue.
Padahal, Magetan masih punya ”harta” lain. Kekayaan itu bentang alam yang dipercantik oleh komunitas warga sehingga bolehlah menjadi obyek alternatif sekaligus kebanggaan daerah. Jadi, wahai warga Magetan, banggalah dengan kekayaan alam dan budaya yang ada dan sedang dikembangkan. Magetan bukan lagi sekadar Telaga Sarangan. Belum percaya? Mari jalan-jalan.
Dari kantor di Jalan Raya Gubeng, Surabaya, Jatim, pukul 07.00, Februari 2019, mobil dinyalakan dan dipacu. Sasaran adalah Ujung Kulon di Desa Janggan, Kecamatan Poncol, Kabupaten Magetan. Jarak 205 kilometer dilahap dalam tiga-empat jam.
Waktu tempuh dipotong sekitar satu jam untuk berhenti dan jajan di kedai, peturasan, mengisi bensin di pom, dan sejumlah lokasi untuk memotret. Perjalanan relatif cepat melewati rute Jalan Raya Surabaya-Malang lalu belok ke Jalan Tol Surabaya-Madiun, Jalan Raya Madiun-Solo, dan Jalan Raya Magetan.
Mendekati pukul 10.30, Ujung Kulon Janggan dicapai. Ini berbeda dengan Taman Nasional Ujung Kulon di Banten, habitat badak bercula satu yang tiada duanya di bumi, di semenanjung barat Pulau Jawa. Di Ujung Kulon Janggan tiada sang warak sungu tunggal, tetapi ”habitat” wahana swafoto dan pemotretan berlatar perbukitan lereng selatan Gunung Lawu.
Dengan membayar Rp 5.000, pengunjung bisa duduk di ayunan gantung dari anyaman rotan putih yang bisa digerakkan 180 derajat. Ayunan terletak di tepi Jalan Durian yang merupakan prasarana utama dari dan ke Desa Janggan.
Di terasering bawah ayunan ada sawah gentungan. Puaskanlah swafoto atau dipotret bergaya di ayunan meja (Rp 5.000), bilik telepon umum merah, dinding depan tiruan rumah hobbit, dua kursi berlatar tengaran LOVE, instalasi kupu-kupu, hati pecah, atau dua kursi dengan gitar dan topi koboi, panggung tepi jurang bentuk hati atau bunga.
Ada papan-papan bertulisan menggelitik dan keren sebagai hiasan, antara lain ”Kuat Dilakoni Nek Ra Kuat Ditinggal Ngopi”, ”Urip Iku Ora Perlu Tenar Ora Perlu Sangar Sing Penting Rejeki Lancar”, ”Life Is So Simple Gusti Sing Maringi Awake Dhewe Sing Nglakoni Wong Liyo Sing Ngomentari”, dan ”Ujung Kulon Klewas-Klewes Penting Sukses”. Sayang, warung di sana hanya menyediakan makanan minuman sederhana dan kurang khas, antara lain bakso, mi instan, goreng pisang, tempe, tahu, kopi saset, dan teh celup.
Aksi jeprat-jepret atau memotret berlanjut masih di Desa Janggan, yakni Bukit Sekitran yang mirip dengan Ujung Kulon. Sayangnya, Bukit Sekitran tutup dan pendapat pribadi menyatakan tak lebih keren daripada Ujung Kulon.
Oke, pelesiran berlanjut ke Bendungan Gonggang yang dikelola Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat. Lanskap waduk itu bolehlah untuk diabadikan dari berbagai sudut pengambilan.
Kemudian, mampir ke obyek andalan Desa Genilangit yang berbatasan dengan Desa Janggan. Di sini ada Taman Wisata Genilangit dengan karakter sedikit berbeda daripada Ujung Kulon. Genilangit dahulu merupakan persemaian bibit pohon untuk program penghijauan hutan.
Namun, kini, taman itu dikelola oleh karang taruna sebagai obyek wisata alternatif Magetan. Di sini ada kolam renang, arena bermain, outbond, sepeda gantung, sirkuit ATV, minitrail, dan lokasi swafoto; tenda unik, perahu, ayunan romantis, kursi sakura, halte cinta, menara Eiffel dari kayu, buaian (hammock), rumah hobbit, ayunan rotan, rumah tawon. Sayang sekali, kuliner di sini sederhana. Apa boleh buat, semangkuk bakso granat yang tak pedas sesuai namanya dan segelas teh lemon lumayan untuk mengganjal perut yang lapar.
Perjalanan pun berlanjut ke obyek Bumi Wisata Wonomulyo, masih di Desa Genilangit. Lokasi ini menjual keindahan air terjun, tubing atau arung kali, goa langu, rumah hobbit, bumi perkemahan, dan wahana permainan tradisional, yakni ayunan dan odong-odong. Setidaknya ada perbedaan dengan Genilangit dan Ujung Kulon sehingga wisatawan layak untuk datang dan menjajal obyek spesifik, yakni air terjun, arung kali, dan goa langu.
Kuliner
Setelah puas bermain di Janggan dan Genilangit, saat sore mendekat, mobil tidak diarahkan ke Telaga Sarangan. Keberadaan kampung batik pring sedapur di Dusun Papringan, Desa Sidomukti, Kecamatan Plaosan, yang berbatasan dengan Kecamatan Poncol, terlalu sayang untuk dilewatkan. Mengunjungi dan berbincang dengan anggota Kelompok Usaha Bersama Mukti Rahayu tentang perbatikan di sana pantang dilewatkan.
Setelah itu, barulah ke pusat kota untuk mengisi perut dengan pecel lempeng berpincuk daun pisang dan tepo tahu yang lezat dan khas itu. Belanja oleh-oleh kerajinan kulit dan penganan khas wajib diwujudkan karena tak ingin ditegur atau dibilang pelit oleh keluarga dan teman di Surabaya.
Sebagian tempat di bagasi mobil diisi keranjang oleh-oleh berupa lempeng, jerangking, rengginang, enting-enting, kue satu, dan sagon. Tentu masih muat untuk mampir ke Madiun dan membeli oleh-oleh khas yang tiada duanya di Magetan, apalagi di Surabaya, yakni roti bluder, brem, dan sambal pecal (sambel pecel), dan peyek yang amat melegenda itu.
Saat malam datang, bagi penulis merupakan waktu yang tepat untuk mencari penginapan di tepi Telaga Sarangan. Sebelumnya, mampir ke kedai penjual wedang cemue untuk menghangatkan perut sekaligus pemanasan untuk menumpas kelaparan di Telaga Sarangan dengan sate kelinci dan jagung bakar.
Setelah mendapat penginapan, lebih mantap menyerah dan menikmati bunga tidur. Panorama Telaga Sarangan akan lebih sedap dinikmati dengan seporsi sate kelinci atau pecel lempeng pada pagi yang berkabut dan sejuk.
Bupati Magetan Suprawoto saat ditemui mengatakan merasa bangga dan bersyukur dengan kemunculan obyek-obyek wisata baru. Magetan tak lagi sekadar dikenal karena Sarangan, Batik Sidomukti, atau industri kerajinan dan kuliner.
”Saya berharap gereget yang ada kian membuat bangga dan tidak membuat pengunjung ke Magetan geregetan,” ujar mantan Sekretaris Jenderal Kementerian Komunikasi dan Informatika itu.
Saya berharap gereget yang ada kian membuat bangga dan tidak membuat pengunjung ke Magetan geregetan.
Nah, Magetan bukan sekadar Telaga Sarangan yang membuat geregetan karena proyek pembangunan dan penataan kawasan tiada henti. Ada beberapa tempat yang punya gereget atau keindahan yang layak dan patut dinikmati meski belum sempurna. Dari pamer foto-foto, keluarga menuntut diperlihatkan pesona ”Bumi Ki Ageng Mageti”, terutama Ujung Kulon, Genilangit, dan Wonomulyo, serta oleh-oleh khas sana. Okelah.