Karya seni belumlah menjadi sebuah karya ketika publik belum mengapresiasi atau mengoleksinya. Ruci Art Space di Jakarta menggelar pameran koleksi karya seni rupa milik beberapa kolektor dan menjadikannya sebuah edukasi serta ajakan untuk mengoleksi karya.
”Para pencinta seni banyak membayangkan kalau mengoleksi haruslah karya yang besar-besar. Ini saya mencontohkan koleksi karya seni rupa yang berukuran sangat kecil dari seniman Christine Ay Tjoe,” kata kolektor Wiyu Wahono menjelang pembukaan Pameran Y: Collect di Ruci Art Space, Jakarta, Jumat (22/3/2019).
Pameran berlangsung hingga 28 April 2019. Wiyu menampilkan dua lukisan kecil berukuran 8 x 8 sentimeter dan 7 x 10 sentimeter karya Ay Tjoe. Karya figuratif itu menggunakan teknik cetak grafis drypoint yang dibuat tahun 1999.
Wiyu menyertakan dua lukisan karya Ay Tjoe lainnya berukuran 54 x 31 sentimeter dengan media pensil di atas kertas (2006), serta 58 x 40 sentimeter bermedia cat air gouche dan pensil di atas kertas (2003). Ay Tjoe saat ini menjadi salah satu primadona karya seni rupa komersial dunia.
Koleksi Wiyu lainnya yang dipamerkan adalah karya seni rupa kontemporer video dari Tintin Wulia (2010) dan Natasha Abigail Koetin (2012).
Dipamerkan pula karya milik kolektor lain, yaitu Biantoro Santoso, Nasirun, Oey Hong Djien, Rismiliana Wijayanti. Ditampilkan juga arsip seni rupa Indonesia koleksi Mikke Susanto dan karya milik Galeri Soemardja Institut Teknologi Bandung (ITB).
Manajer Ruci Art Space, Janice Anya Lee, mengatakan, para pencinta seni muda saat ini kerap menyatakan kebingungan untuk mulai mengoleksi karya. ”Mengoleksi karya itu sangatlah personal. Akan tetapi, memang ada pengetahuan-pengetahuan dasar yang harus dimengerti tentang karya dan senimannya,” kata Janice.
Seni rupa kontemporer, misalnya, dari sisi gagasan mengandung kebaruan dan tidaklah memiliki batasan. Di sini dipamerkan pula karya lukisan I Gusti Ayu Kadek Murniasih (1966-2006) koleksi Biantoro yang dipandang sebagai karya kontemporer pada masanya.
”Saya melihat lukisan Murniasih pertama kali dipamerkan di Cemeti, Yogyakarta, tahun 1999. Waktu itu saya tidak ketemu senimannya, tetapi saya melihat itu karya seniman ’gila’ dan saya kemudian mencari Murniarsih di Bali,” kata Biantoro.
Obyek karya Murniarsih kerap mengekplorasi organ reproduksi perempuan. Keunikan lukisan-lukisan Murniasih itu menjadi salah satu pelopor seni rupa kontemporer. Lukisan Murniasih saat ini termasuk karya seniman perempuan Indonesia yang termahal.
”Untuk memulai mengoleksi, di antaranya harus mengerti isi gagasan dari karya itu dari sisi audiensi, bukan dari senimannya,” kata Wiyu. (NAWA TUNGGAL)