Wastra, Kain Tradisional yang Menjelma Jadi Modern dan Kasual
Oleh
M Fajar Marta
·3 menit baca
Wastra atau kain adati Nusantara kini tidak terbatas pada gaya klasik penuh pakem. Busana bergaya modern dan kasual pun bisa dibuat dengan wastra. Dengan desain terkini, wastra tidak lagi identik sebagai ”kain orang tua”.
Busana karya Lala Gozali (65) tampil berbeda pada sebuah pergelaran busana, Selasa (19/3/2019). Ia merupakan salah satu desainer yang menunjukkan karyanya pada Pekan Lurik Indonesia di Pusat Perbelanjaan Sarinah, Jakarta Pusat. Busana rancangannya tampak hidup dengan warna cerah dan potongan yang tidak biasa.
Ada sejumlah busana yang ditampilkan Lala. Semuanya menggunakan kain lurik sebagai bahan utama. Lala menggabungkan sejumlah lurik dengan motif dan warna berbeda dalam satu busana. Menurut dia, lurik adalah salah satu wastra yang menarik untuk dieksplorasi.
”Saya suka lurik karena sederhana dan ada nilai kejujuran di dalamnya. Lurik juga menyenangkan karena paling mudah dipadukan (dengan kain lain),” kata Lala.
Lala menggabungkan sejumlah lurik dengan motif dan warna berbeda dalam satu busana. Menurut dia, lurik adalah salah satu wastra yang menarik untuk dieksplorasi.
Biasanya, Lala memadukan lurik dengan kain batik hingga tenun. Ia juga kerap memadukan lurik-lurik dengan motif dan warna berbeda dalam satu busana. Menurut dia, memadukan lurik dengan kain-kain lain membuat rancangannya terlihat seperti kolase.
Mode anak muda
Perempuan yang pernah mengikuti peragaan busana The Modest Heritage of Indonesia di Den Haag, Belanda, pada 2018 mulai menyukai lurik sejak 2010. Menurut dia, kesederhanaan lurik bisa diaplikasikan pada busana bagi anak muda.
”Anak muda suka gaya yang sederhana, berwarna monokrom, dan kasual. Mereka juga memperhatikan detail cutting-nya, misalnya potongan asimetris. Jadi, bisa saja di depan kainnya pendek dan di belakang panjang. Bisa juga baju di bagian samping dibuat melambai. Intinya simple dan unik potongannya,” kata Lala.
Menurut Lala, banyak pula anak muda yang menggemari outer (luaran) yang ia rancang. Sebab, luaran lebih mudah dipadukan dengan baju-baju yang mereka punya. Luaran itu bisa dipadukan dengan rok pendek, celana, hingga kaus.
Busana-busana rancangan Lala juga dibuat longgar dan praktis dipakai. Menurut Lala, anak-anak muda menyukai busana yang membuat mereka aktif bergerak. Busana karyanya juga cocok dipadukan dengan sneakers, boots, hingga sepatu hak tinggi.
”Saya tertantang untuk membuat busana yang simple buat anak muda. Saya senang mereka sudah mulai mau memakai baju itu (wastra). Ini patut diapresiasi dan jadi tantangan bagi para desainer untuk menyediakan kebutuhan mode anak muda,” kata Lala.
Lala bukan satu-satunya desainer yang tertantang menyajikan wastra bagi masyarakat muda. Ada juga Dea Valencia (25), desainer sekaligus pendiri label Batik Kultur. Ia mendesain busana berbasis wastra untuk dikenakan anak-anak muda.
Dea selalu menggunakan batik tulis pada busana yang ia rancang. Sama seperti Lala, ia pun kerap memadukan batik dengan sejumlah elemen, misalnya kain polos, brokat, hingga bordir. Dalam mendesain, ia berpegang pada prinsip kenyamanan.
”Saya mendesain baju yang wearable (bisa dipakai) dan nyaman. Ketika mendesain, saya selalu bertanya pada diri sendiri, ’apakah saya akan mau pakai ini? Apakah nyaman?’. Jadi, sample baju selalu saya coba sendiri dan dipakai seharian penuh untuk mengetahui kenyamanannya,” kata Dea di Jakarta, Sabtu (23/3/2019). Ini disampaikan pada pergelaran busana rancangannya berjudul ”Behind The Seams”.
Ada enam koleksi mini yang ditampilkan pada peragaan busana ini. Dari koleksi ini, ada 30 busana siap pakai, yakni busana perempuan dan laki-laki. Busana yang ditampilkan, antara lain gaun midi, blazer, dan mantel panjang.
Pada peragaan tersebut, Dea menampilkan batik dengan nuansa informal. Nuansa itu dibangun dengan warna beragam, mulai dari cerah, monokromatik, hingga warna pastel. Desainnya juga tidak kaku, misalnya dengan potongan kerah asimetris di salah satu busana. Batik rancangan Dea cocok digunakan oleh generasi muda tanpa harus terlihat ”tua”.
”Dalam desain, batik diletakkan di tempat yang strategis sehingga bajunya tidak full batik. Kalau full, kesannya berat dan formal. Untuk desain yang tidak formal, batik bisa diakali dengan cutting di bagian leher. Bisa juga batik dibuat menjadi off shoulder,” kata Dea.