Kesegaran warna mengalir dalam pergelaran busana bertajuk Psychedelic Daydreams. Pergelaran ini menjadi titik meditasi bagi desainer Auguste Soesastro. Ia menyebutnya sebagai pelarian dari main aman. Koleksi tersebut memang mendobrak identitas karyanya yang dikenal konservatif serta menonjolkan siluet dan warna klasik.
Selama 11 tahun sejak melahirkan label Kraton, Auguste paling banter hanya membubuhkan warna meriah dalam ”dosis” sangat kecil. Dari 25 koleksi, paling-paling hanya ada satu baju dengan warna mencolok. Namun, perubahan total terjadi dengan hadirnya warna-warni busana dalam Psychedelic Daydreams di gelaran Plaza Indonesia Fashion Week Spring/Summer 2019 dengan tema ”The Future is Female”, Kamis (21/3/2019).
Sentuhan palet warna yang di luar norma dan ekspektasi itu dihadirkan perlahan di atas panggung. Dari awalnya masih mempertontonkan koleksi dengan warna netral hitam, putih, dan abu-abu, perlahan-lahan sentuhan warna ungu hadir dalam dosis kecil di kain sabuk pinggang. Lalu muncul warna keturunan magenta, fuchsia, hingga shocking pink yang makin lama makin mendominasi.
Warna shocking pink yang dipadupadankan dengan warna hitam sengaja dimunculkan dalam porsi besar sebagai warna yang identik tahun 1980-an.
Riasan dan perhiasan dari Rumme memperkental sentuhan era 1980-an. ”Banyak hot pink, kayak edannya tahun ’80-an, tetapi dengan siluet couture yang typical tahun ’60-an. Jadi, di situlah perpaduan terjadi,” ujar Auguste.
Siluet tahun 1960-an yang dihadirkan merupakan hasil eksperimental setelah mengamati tren berbusana era itu yang, antara lain, dihadirkan lewat mode ala Jackie O atau Maria Callas. Karya Auguste memang dikenal dengan siluet penampilan yang cenderung klasik, namun kaya di eksperimentasi cutting ataupun konstruksi. ”Tetapi enggak saya tembak langsung. Lebih ke idenya. Interpretasi tahun ’60-an, tetapi untuk zaman sekarang,” ujarnya.
Etika berpakaian
Lulus dari jurusan arsitektur dan seni digital University of Sydney dan Australian National University, Auguste sempat belajar di Ecole de la Chambre Syndicale de la Couture di Paris, yang merupakan almamater couturier hebat, seperti Yves Saint Laurent dan Valentino. Ia kemudian pindah ke New York dan bekerja pada couturier Ralph Rucci sebelum meluncurkan Kraton di New York pada 2008.
New York pula yang membentuk karya-karyanya yang sangat konservatif dengan warna dominan abu, hitam, putih, krem, atau camel. Tinggal di Manhattan, kliennya kebanyakan berdomisili dalam radius 10 blok dari tempatnya berkarier. Di lingkungan itu ada stereotip seolah tabu memakai warna yang mencolok. Warna menyala tidak dianggap sebagai selera yang baik. Inilah yang kemudian jadi identitas dan dalam waktu yang sama membentuk seleranya.
”Warna klasik itu abadi. Saya punya filosofi, (dalam) berpakaian, orang tidak perlu konsumeristik. Kalau bisa mentalitasnya satu baju bisa dipakai 10 tahun. Dari dulu saya hindari warna-warni, sekali pakai ketahuan. Walau saya perhatikan, banyak klien saya beli baju sekali pakai karena baju malam, baju pesta. Enggak apa-apa, deh. Di baju pesta mungkin orang perlu opsi warna,” katanya.
Apalagi, etika berpakaian di lingkungan kerja telah bergeser. Perempuan masa kini tak lagi harus memakai blazer ketika pergi ke kantor. Mereka yang berprestasi lebih punya banyak pilihan untuk memakai warna-warni jenaka, playful. Warna-warna playful tak lagi identik dengan kekanak-kanakan. Warna busana boleh saja terlihat main-main, tetapi pemakainya adalah seorang CEO. Kali ini, busana yang disuguhkan adalah busana sehari-hari, cocktail, dan busana malam.
Volume eksperimental
Selain warna, Auguste juga bermain-main dengan volume yang lebih eksperimental. Dari biasanya lebih linear, sebagian busana yang dihadirkan kali ini lebih bervolume dan cenderung menggelembung.
Meski sepintas terlihat polos tanpa aplikasi, payet dibubuhkan dengan warna tone on tone sehingga sering kali tersamar dan tak terlihat kentara dalam penampilan di lintasan mode.
Supaya tidak sama sekali lepas dari ciri khas Kraton, potongan setiap busana masih sangat arsitektural, siluet clean, dan sebagian koleksi masih bervolume linier. Meski benang merahnya sama dan satu koleksi, setiap baju dirancang sebagai satu desain spesial tersendiri. Oleh karena itu, setiap potong busana menyuguhkan kesegaran berbeda dengan jahitan Kraton yang dikenal presisi dan super rapi.
Setiap baju juga memakai bahan kain yang berbeda. Namun, dasar bahan kain yang digunakan sama-sama serat alam. Ada pula sentuhan eksperimental dengan nilon atau sekuin plastik yang agak nyeleneh.
”Cara kerja saya sedikit lebih seperti seniman. Perlu out of the box. Perlu keluar dari zona nyaman. Klien jadi bosan karena semua expected. Enggak ada kejutan. Aman, sih. Tahu yang beli siapa saja. Tetapi akan stagnan. Itu ilusi sukses yang bahaya untuk seniman,” ujar Auguste.
Tampilan berani dari Psychedelic Daydreams membawa cita rasa berbeda dari karya Auguste. Eksperimen baru yang membuat senang sekaligus deg-degan. Meski banyak kebimbangan yang menghampiri, Auguste berhasil mempertanyakan ulang dirinya dan memperluas cakrawala karyanya.
Maka, lahirlah warna-warni yang serupa dengan titik balik kala bermeditasi.