Dalam kehidupan urban, manusia menghabiskan 80-90 persen waktunya di gedung. Gedung tidak lagi dipandang sebagai benda mati, tetapi sebagai organisme hidup yang terdiri atas sistem yang saling terkoneksi, ekosistem sebuah kota.
Walaupun bertujuan pada kemudahan dan produktivitas, gedung kemudian mengalami masalah yang kompleks.
Data Program Lingkungan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNEP) menunjukkan, gedung menghabiskan 40 persen energi global dan 25 persen air global. Oleh karena itu, kembali manusia harus memikirkan bagaimana menjadikan gedung lebih pintar demi manusia cerdas yang menjadi subyek dari ekosistem yang pintar itu.
Akhir Februari lalu, Lun Hsu, Director of Global Real Estate Asia Pacific Honeywell, menyambut wartawan-wartawan Indonesia yang berkunjung ke Gedung Pintar Honeywell di Huanke Road, Shanghai, China. Ia memaparkan bagaimana gedung kantor Honeywell yang bertingkat 10 itu dilengkapi dengan teknologi gedung terbaru. Gedung itu juga terkoneksi dengan Cloud yang dapat menyediakan data serta analisis tentang penggunaannya.
Tujuan akhirnya agar pekerja bisa bekerja lebih produktif di gedung yang aman, dengan energi yang efisien dan berkelanjutan. ”Kami beli gedung ini tahun 2017, lalu merombak sistemnya dengan teknologi Honeywell untuk menjadi kantor kami. Perombakan gedung telah menghemat energi sekitar 30 persen,” kata Lun.
Data beometrik
Biasanya, di gedung lain, karyawan akan menempelkan tanda pengenal untuk membuka pintu. Namun, di Gedung Pintar Honeywell, otomatis pintu terbuka sendiri. Tamu yang tanpa pemandu tidak mungkin bisa masuk sembarangan.
”Kami gunakan teknologi pengenalan wajah. Jadi, yang disensor adalah data biometrik sehingga lebih aman karena tidak bisa dipinjam,” katanya.
Presiden Direktur Honeywell Indonesia Roy Kosasih menjelaskan, sistem pengenalan wajah dan data biometrik itu sedang ditawarkan untuk dipasang di sebuah industri tekstil. Pabrik itu memiliki 32.000 pekerja yang tersebar di delapan lokasi.
Setiap pagi para karyawan harus absen, yang menghabiskan waktu tujuh detik bagi setiap karyawan. Kalau satu pabrik punya 4.000 karyawan, berarti setiap pagi ada 28.000 detik dihabiskan untuk absen, atau 467 menit, atau 7,7 jam. Dengan teknologi pengenalan wajah, waktu bisa dihemat hingga hanya butuh waktu 2 detik per orang, yang berarti hanya 2 jam waktu yang dipakai untuk absen. ”Belum lagi listrik, karena industri ini membayar listrik sekitar Rp 26 miliar per bulan,” kata Roy.
Kembali pada Lun, sebelum memasuki lift, ia menunjukkan layar 60 inci yang ada di tembok. Pada layar itu terpampang denah setiap lantai, beserta aktivitas karyawan yang digambarkan sebagai ikon orang. Terlihat ada beberapa orang yang sedang rapat, ada yang sedang di meja kerja, bahkan ada yang sedang di toilet. Maklum, gedung ini memiliki sekitar 100.000 sensor, mulai dari sensor panas, sensor cahaya, sensor suhu, sensor kelembaban, hingga kandungan udara.
Memantau keberadaan karyawan itu memiliki banyak manfaat. Pertama, suhu dalam ruangan bisa diatur sesuai dengan banyaknya orang. Kemudian dari sisi keamanan, jika ada kondisi kebakaran, tak ada karyawan yang tertinggal serta lebih mudah melakukan upaya penyelamatan.
Bagi karyawan, gedung itu terasa nyaman. Meja kerja bisa disesuaikan tingginya dengan pengguna sehingga tidak harus bungkuk. Suhu udara juga bisa diatur sendiri. Dari sisi desain juga menarik, dengan dinding tanaman yang membatasi kamar kecil dengan ruang kerja.
Roy mengatakan, di Indonesia sudah ada beberapa gedung yang mengaplikasikan gedung pintar. Beberapa di antaranya adalah Indonesia One, Askrindo Tower, Thamrin 9, Pancoran Chinatown, Gedung KPK, Perpustakaan Nasional, dan Museum Nasional.
Menurut Roy, peluang bisnis gedung pintar ini masih sangat besar. Apalagi pertumbuhan properti di ASEAN, termasuk Indonesia, masih sangat tinggi. Ia optimistis bisa menguasai pasar gedung pintar di Indonesia. ”Sistem ini tidak harus diaplikasikan ke gedung baru, tapi bisa juga ke gedung lama, kemudian diberi otomatisasi sesuai keinginan pengguna. Kami janjikan penghematan energi sekitar 20-40 persen,” katanya.
Ery Djunaedy, Building Simulation Specialist, sepakat dengan perkiraan tersebut. Menurut Ery, selain parameter hemat energi, juga perlu ditambahkan dengan kenyamanan dan kesehatan. Namun, ia mengingatkan, pembuatan gedung pintar tak bisa dilakukan sekadar dengan otomatisasi. ”Penguasaan fisika bangunan harus kuat dulu,” kata Ery.
Penguasaan fisika bangunan itu yang menjadi dasar perencanaan. Dengan demikian, tidak terjadi tambal sulam. Ia mencontohkan, sebuah bandara di Indonesia dari luar kelihatan cantik dan canggih dengan kaca-kaca hemat energi. Akan tetapi, karena tidak memperhitungkan radiasi kedua, kaca jadi terus-menerus panas. Akibatnya di beberapa tempat dipasang unit pendingin ruangan berdiri. ”Seperti AC kawinan itu,” katanya berseloroh.
Pentingnya sumber daya manusia yang mengerti juga disoroti Agus Marjianto, konsultan gedung. Ia mengatakan, saat ini gedung pintar telah menjadi tuntutan sekaligus prestise. Namun, kerap kali operator tidak mengerti sehingga sistem yang pintar diubah jadi manual lagi.
Roy mengatakan, Honeywell juga mendasarkan paketnya pada pengguna. Ia bahkan mencontohkan cita-cita Pemerintah Provinsi DKI yang menjadikan gedung pintar sebagai elemen pembentuk kota pintar. Integrasi data tidak hanya terkait dengan efisiensi energi, tetapi juga keamanan. Saat ini, Pemprov DKI memang ingin menurunkan penggunaan energi di sekitar 200 gedungnya, seperti RSUD, museum, hingga kantor-kantor kecamatan.