Daya Magis Riasan
Riasan alias ”make-up” memiliki daya magis yang mampu mendukung proses kesembuhan bagi jiwa. Pada para penyandang disabilitas, penyintas kanker, ataupun mereka yang berduka karena kehilangan orang terdekat, riasan menerbitkan rasa bahagia yang bisa membantu penyembuhan. Ketika pulasan bedak atau usapan lipstik menyentuh permukaan kulit, senyum mengembang, memupus perlahan mendung di hati.
Penggagas gerakan Lipstick untuk Difabel, Laninka Siamiyono (28), sempat mengurung diri selama sepuluh tahun akibat penyakit autoimun yang menghampiri dirinya sejak usia 13 tahun. Ia sangat menggemari basket dan renang ketika rheumatoid arthritis perlahan menggerogoti berat tubuhnya, membuatnya tak bisa berjalan, dan menyebabkan beberapa bagian tubuhnya kaku.
Dalam keterpurukan, mantan teman sekolah dasarnya menawarkan eyeliner. Hanya karena kasihan, Laninka membeli produk kosmetik untuk merias mata itu. Ketika eyeliner ada di genggaman, Laninka baru sadar bahwa ia tak bisa memakai riasan karena tangan kirinya sama sekali tidak bisa ditekuk, sedangkan tangan kanannya hanya mampu ditekuk 90 derajat.
”Minta tolong mbak yang ada di rumah. Ketika memakai merasa ada yang berubah, ada healing di jiwa. Aku masih berhak pakai make-up, berhak cantik. Tetapi balik lagi, enggak bisa pakai sendiri. Karena kepentok, muncul ide. Kenapa enggak pakai tongkat pijat ayahku yang diikat pakai tali untuk merias?” kata Laninka yang bermimpi bisa menjadi make-up artist profesional, Rabu (10/4/2019).
Dengan tongkat pijat itulah, Laninka menjadikan riasan sebagai terapi. Merasakan sensasi kesembuhan jiwa yang ingin ia bagikan kepada perempuan lain, ia lantas semangat belajar merias diri dari tutorial di Youtube. Ia kemudian mengunggah video tutorial riasannya ke kanal Youtube yang ditonton ribuan orang.
Lewat gerakan Lipstick untuk Difabel, terkumpul sumbangan lebih dari 2.000 lipstik yang kemudian disalurkan kepada kaum difabel di yayasan, sekolah luar biasa, ataupun komunitas difabel. Saking banyaknya sumbangan yang mengalir, ia sengaja menghentikan sementara keran sumbangan supaya semua lipstik bisa tersalurkan dengan baik.
Kelas rias bagi peserta difabel juga sudah digelar tiga kali bekerja sama dengan influencer media sosial, yang ternyata sangat diminati.
”Banyak perempuan yang enggak pede dengan bentuk tubuh. Aku berkekurangan, tetapi cinta banget sama diri sendiri. Pengin magic yang dilakukan make-up ke aku juga dilakukan ke mereka. Lipstik benda paling powerful. Magic mengubah mood. Beauty has nothing to do with the look. Enggak ada standarnya,” tutur Laninka.
Penyintas kanker
Rasa bahagia lewat riasan juga diwujudkan Dinda Nawangwulan (43), make-up artist asal Jakarta, kepada penyintas kanker yang tergabung dalam komunitas peduli penderita kanker Pink Shimmerinc. Dinda membuat bahagia para penyintas kanker dengan merias atau mengajari mereka rias secara gratis. Ia juga membagi pengalaman pribadinya ketika melawan kanker sembari merias.
”Bagi penderita kanker, melakukan apa yang membuat bahagia, termasuk merasa cantik, itu akan berdampak positif. Rasa percaya diri dan bahagia sedikit banyak akan menyemangati diri untuk bisa sembuh dan menjalani perawatan hingga selesai. Dan juga membuat orang lain yang sakit kanker tidak semakin takut untuk berobat,” kata Dinda.
Pada 2006, Dinda pertama kali didiagnosis kanker payudara. Ia takut kemoterapi karena melihat kondisi penderita kanker lain yang berwajah pucat dan terlihat lemah. ”Kakak saya mengatakan bahwa saya tidak harus seperti mereka. Saat saya gundul selama menjalani perawatan, saya tetap dandan dan jalan-jalan ke pusat perbelanjaan,” ujar Sekretaris Direksi PT Pertamina EP Cepu tersebut.
Untuk penyintas kanker, Dinda memberikan kursus gratis. Ia melakoninya hingga ke luar kota, bahkan luar pulau, bekerja sama dengan Yayasan Kanker Indonesia dan beberapa yayasan atau organisasi lain. Ia merias untuk kepentingan sosial sejak 2007. Saat ini, aktivitas sosialnya tidak sebanyak dahulu. Karena sudah kembali bekerja di perusahaan, aktivitas mengajar make-up hanya dilakukan di akhir pekan.
Berdandan pun menjadi salah satu cara meningkatkan rasa percaya diri bagi penyintas kanker payudara seperti Fany Primaniati (50). Ibu tiga anak yang didiagnosis kanker payudara tahun 2010 itu pernah merasa sangat bangga saat dirias dan difoto, lalu fotonya dilelang untuk kepentingan kampanye tentang kanker di komunitas Pink Shimmerinc pada 2010.
Ia didandani dan difoto ketika kepalanya masih botak. Saat itu, ia masih menjalani kemoterapi keempat. ”Awalnya saya merasa tidak percaya diri, apa iya sih, ada orang mau membeli foto orang botak. Tetapi, rupanya justru foto saya laku dilelang, dan itu menginspirasi banyak orang untuk bisa berjuang melawan kanker. Saya merasa senang dan sejak itu rasa percaya diri dan semangat hidup saya berlipat-lipat,” kata Fany.
Karena rasa percaya diri dan suntikan semangat positif itu, tahun 2010, ia bersama keluarganya pergi ke Gunung Kinabalu, Malaysia. Sebelumnya, Fany ragu apakah ia bisa melakoni hobi melancongnya yang sudah dirancang enam bulan sebelumnya itu.
”Setelah acara Pink Shimmerinc itu, saya sekeluarga memutuskan pergi ke Gunung Kinabalu. Meski saya tidak bisa naik gunung, saya ikut menikmati arung jeram,” katanya.
Pelayanan gratis
Dahulu, saat masih sering menerima pekerjaan merias, Dinda bisa mengantongi Rp 10 juta-Rp 15 juta untuk sebuah proyek komersial (rias, foto, tempat, dan lainnya). ”Namun, kini, saya tetap melatih rias dengan misalnya mendapat honor Rp 1 juta per sekali melatih. Ini saya lakukan bukan karena mengejar uangnya, melainkan karena saya senang. Ini passion saya,” katanya. Untuk merias atau melatih make-up bagi penyintas kanker, Dinda tetap melakukannya dengan gratis.
Bagi perias jenazah seperti Prescillia Angelika Irene Manukallo dan Gloria Elsa Hutasoit, make-up juga menjadi alat untuk pelayanan sosial. Angelika dibayar Rp 250.000-Rp 350.000 untuk sekali make-up dan memandikan jenazah. Biaya itu bisa berubah jadi gratis ketika keluarga yang ditinggalkan tak memiliki cukup dana. Sementara Gloria menggratiskan jasanya merias jenazah.
”Kondisi tubuh jenazah berbeda, kadang muncul lebam dan bengkak. Harus teliti ketika merias di wajah dan bagian lain. Kadang ada luka dan aroma tidak enak. Harus ada keinginan berbuat sosial,” ujar Angelika.
Ketika mengunggah foto proses merias jenazah di laman Instagram-nya, rekan Angelika bertanya kenapa dia mau merias untuk jenazah. Profesi perias jenazah datang tak sengaja ketika Angelika bekerja di panti jompo di Salatiga, Jawa Tengah. Mulai punya pengalaman bersentuhan dengan jenazah dan mencintai dunia rias, ia memutuskan menjadikan rias jenazah sebagai profesi.
Rias jenazah membutuhkan keahlian dan pengalaman khusus. Untuk menyamarkan kulit yang telah berubah warna, misalnya, concealer harus dipulas dalam jumlah ekstra banyak agar kulit terlihat lebih cerah. Kulit jenazah juga sudah tidak lembab lagi. Agak sulit untuk membubuhkan alas bedak sehingga harus disiasati dengan menggunakan pelembab.
”Supaya nyaman dilihat dan tidak terlihat seperti jenazah. Walau tidak bernyawa, layak tampil indah di hari terakhirnya. Memberi penghiburan bagi keluarga,” ucap Angelika.
Karena sarat nilai sosial, Angelika sering kali menerima sumbangan make-up dari orang tak dikenal yang memperoleh informasi tentang profesinya dari media sosial. Menjalani profesi sebagai perias jenazah tanpa bayaran, Gloria juga membuka sumbangan make-up yang kemudian disalurkan kembali kepada perias jenazah lain yang membutuhkan.
”Banyak yang menggunakan jasa saya karena gratis. Saya harap bisa membantu keluarga yang membutuhkan karena kita tidak pernah tahu kapan meninggal, dan make-up jenazah itu, kan, tidak murah. Setidaknya saya bisa membantu meringankan beban keluarga yang ditinggalkan,” tutur Gloria.