Narasi Baru Sarung
Kesan tradisional, formal, dan tua yang melekat pada kain sarung kian terkikis. Di tangan para perancang mode, kain sarung menjelma busana modern, kasual, dan bercita rasa muda melalui teknik potongan dan padu padan menawan. Tak hanya gaya, di balik setiap rancangan terselip kisah perjuangan dan pelestarian warisan budaya Nusantara.
Lewat peragaan busana bertajuk ”Sarong Revisited” dalam rangkaian Indonesia Fashion Week, Sabtu (30/3/2019), kain sarung menemukan kembali jiwanya dalam balutan narasi baru. Kain sarung telah lekat dalam budaya masyarakat Indonesia sejak lama sebelum tersisih oleh cara berpakaian ala Barat yang diperkenalkan kolonial Belanda.
Kain sarung kemudian identik dengan pemakaian untuk adat atau religius belaka. Padahal, setiap daerah di Nusantara memiliki motif dan pola untuk kain lebar satu jahitan atau tanpa jahitan yang dibebatkan untuk menutup bagian bawah tubuh ini. Artinya, eksplorasi terhadap kain tersebut bisa demikian kaya.
Dalam kerangka ”Sarong Revisited”, para perancang mode ditantang untuk menjelmakan kembali sarung ini menjadi sesuatu yang bisa dipakai untuk kegiatan sehari-hari. Mereka bekerja sama dengan para perajin di sejumlah daerah asuhan Koperasi Karya Ikkon Bersama (Kopikkon) untuk menciptakan kreasi unik dan tak terduga dari selembar kain sarung.
Desainer Liza Masitha dan Dana Maulana, penggawa label Danjyo Hiyoji, menyuguhkan rancangan ringan dan dinamis lewat koleksi Kanaka. Dalam bahasa Sansekerta, Kanaka berarti emas, simbol kebesaran dan kemakmuran. Wujudnya berupa kain sarung dalam interpretasi modern yang ditegaskan dengan potongan asimetris, kombinasi warna-warna cerah.
”Kami ingin agar kain sarung bisa dipakai sehari-hari, jadi desainnya ringan, khas anak muda. Tentu tanpa meninggalkan ciri khas Danjyo Hiyoji dalam cutting dan layering. Misalnya, kami buat potongannya wide leg sehingga siluetnya tetap terlihat seperti sarung,” ujar Liza.
Danjyo Hiyoji bekerja sama dengan perajin tenun silungkang di Sawahlunto, Sumatera Barat. Warna-warna tenun silungkang ini, menurut Dana, cocok dengan gaya Danjyo Hiyoji. Motifnya pun sesuai dengan karakteristik Danjyo Hiyoji sehingga mereka berdua tidak kesulitan mengolahnya.
Tidak seperti umumnya tenun atau songket yang tebal dan berat, kain tenun silungkang ini ringan dan tipis. Tidak ada pola penuh, hanya pola-pola yang jarang dan berulang. Pola penuh hanya terdapat pada ujung-ujung kain. Banyak pemakaian benang emas, sesuai dengan tema koleksi.
”Pilihan warnanya cukup modern. Kami dapat dusty pink, light grey, ungu misty. Kami gunakan warna dasar dari kain tenun itu. Kami pakai kain tenun dengan kombinasi bahan lain,” ujar Dana.
Hasilnya menarik. Misalnya gaun selutut berwarna dasar broken pink dengan luaran putih diberi aksen tenun silungkang warna shocking pink pada bagian bawah gaun berupa lembaran panjang yang melambai, juga pada ujung lengan luaran dan bagian bahu.
Tenun silungkang warna merah tua juga dibuat menjadi celana longgar untuk pria dengan paduan atasan motif garis-garis cerah dan potongan asimetris lengan panjang. Untuk busana wanita, tenun silungkang merah tua dipadu kain ringan putih untuk bawahan dengan teknik layering disandingkan atasan motif garis lembut dan luaran lengan panjang yang ringan.
Anti-perdagangan orang
Label Purana menampilkan koleksi Love for Langa & Todo dalam kolaborasi dengan perajin tenun Desa Langa, Flores, Nusa Tenggara Timur, yang diwadahi Economic Justice Indonesia (Ecojindo) dari Ordo Gembala Baik.
Creative Director Purana Nonita Respati mengatakan, koleksi tersebut terinspirasi dari kegigihan perempuan penenun kain di Desa Langa dan Desa Todo dalam memperjuangkan kesetaraan jender serta kampanye anti-perdagangan manusia dan migran ilegal.
”Mereka terus dimotivasi untuk menumbuhkan kerajinan tenun agar angka korban perdagangan manusia di desa-desa tersebut terus menurun dan pengiriman pekerja ilegal dapat dicegah,” ujar Nonita.
Menghadirkan sembilan tampilan, Purana menonjolkan kesan androgini lewat potongan bersiluet sarung yang dipadukan dengan luaran, kimono, dan atasan. Tenun dari Desa Langa dan Desa Todo dikombinasikan dengan denim dan linen bermotif garis sehingga tampilannya edgy, tetapi mudah dipakai.
Misalnya tenun dipadu denim warna gelap dibuat sebagai luaran panjang, seperti coat, dengan motif garis pada bagian dalam. Luaran tersebut membungkus overall longgar dengan aksen ikat pinggang obi, menciptakan kesan kasual.
Selain warna lembut, tenun Desa Langa dan Desa Todo juga menampilkan warna cerah, seperti hijau, kuning, kuning kunyit, dan beige. Warna kontras menjadikan rancangan tersebut tampak modern dan terasa ringan saat dipakai.
Misi untuk melestarikan motif tenun yang nyaris punah diketengahkan dalam kolaborasi desainer Sofia Sari Dewi, Toraja Melo, dan perajin tenun Toraja Utara dalam koleksi ”Pa’bunga Bunga: Urban Reborn”. Sekitar tahun 2008, kain tenun tersebut hampir lenyap karena hanya ada dua nenek yang mengenakannya.
Sofia mengatakan, tenun Pa’bunga Bunga yang menjadi ciri khas Desa Syadan dianggap sebagai harta pusaka milik setiap kelompok keluarga. Motif-motif tenun hanya dimiliki oleh keluarga tersebut.
Lewat koleksi Urban Reborn, motif Pa’bunga Bunga diaplikasikan pada kain sarung berbahan katun, bukan poliester seperti biasanya untuk tenun tersebut. Warna yang ditampilkan lebih lembut, dengan kombinasi antara merah muda, ungu, toska, dan hitam putih.
”Tema Urban Reborn dihadirkan karena sasarannya orang-orang di kota yang jarang memakai kain sarung. Saya sengaja membuatnya seperti kain, bukan sarung satu jahitan, supaya orang bisa kreatif untuk memakainya,” kata Sofia.
Kain sarung dikombinasikan dengan kebaya kutu baru dan tambahan aksen ikat pinggang lebar. Untuk busana pria, kain tenun bisa dililitkan begitu saja di pinggang, lalu dipadukan dengan kemeja atau jaket, dan dipakai sebagai syal panjang.
Akar budaya
”Sarong Revisited” juga menampilkan kreasi rancangan kain sarung dari sejumlah daerah lain, seperti Siak (Riau), Brebes (Jawa Tengah), Belitung, dan Pesawaran (Lampung). Perajin batik salem di Desa Bentar, Kecamatan Salem, Kabupaten Brebes, dihadirkan dalam dua koleksi, yakni Rising Salem dan Infinitum.
Koleksi Rising Salem menampilkan koleksi citra salem yang indah dan lekat dengan alam melalui koleksi modest fashion (mode terbatas) lewat tangan wirausaha sosial, Mahestri. Adapun koleksi Infinitum merupakan kolaborasi label XY by Mel Ahyar, Sylvie Romy Batik Geometrik, dan para perajin batik salem. Batik dicelup ulang dengan teknik tie dye dan washed untuk menghasilkan efek visual yang berbeda, lalu dipadukan dengan motif geometrik islami.
Koleksi Akosiak karya kolaborasi perancang Fatimah Rangkuti, Dede Ananta, dan perajin tenun Siak terinspirasi dari pelafalan akar menjadi ako dalam bahasa setempat. Koleksi ini dibuat untuk mengangkat akar budaya Siak yang bersahaja.
Dari koleksi Kelayang karya desainer Inas Nabila, Desiree B Siregar, Lalitya Dwi Rahmani, dan Gabriella Manurung terinspirasi burung layang-layang yang kerap singgah di batuan granit Pantai Tanjung Kelayang, Belitung. Hasilnya adalah busana kasual yang ringan dan kontemporer.