Matang, Anggun, Keren
Perempuan modern yang konon kian independen nyatanya kerap terjajah kecemasan akan penuaan. Industri kecantikan lewat konsep estetika superfisial bertitah, cantik itu harus bebas kerutan. Padahal, menua adalah proses kehidupan yang indah, tak perlu dilawan dengan semangat ”anti-aging”. Perempuan-perempuan berikut ini, misalnya, merawat kebahagiaan diri dengan tetap keren, anggun, sembari merengkuh perjalanan hidup menua dengan beragam aktivitas.
Muda kerja keras, tua jalan-jalan dan berswafoto. Demikianlah moto hidup yang dipegang Herawati Sudoyo Supolo saat ini. Herawati adalah ahli genetika yang juga Wakil Direktur Lembaga Biologi Molekuler Eijkman.
Malam baru menjelang, namun gelap datang lebih cepat di penginapan kecil yang juga rumah bagi pemiliknya di Lembah Bada, pedalaman Sulawesi Tengah. Setelah lelah seharian di lapangan dan bersiap-siap istirahat, dari kamar sebelah yang diinapi Herawati Sudoyo Supolo (67) terdengar bunyi menderum. Hanya sesaat, sebelum tiba-tiba sunyi dan gelap gulita karena listrik padam.
Suami-istri pemilik penginapan keluar rumah dan berdiskusi, kebingungan mencari-cari sumber padamnya listrik itu. Namun, Gludug Ariyo Purnomo, peneliti Eijkman, langsung mengerti. ”Yang bikin mati itu pasti pengering rambut Prof Hera,” ujarnya menahan tawa.
Tak disangsikan lagi, pengering rambut dengan daya 1.200 watt itulah biang anjloknya listrik di penginapan itu. Pengering rambut ini memang tak bisa dipisahkan dari setiap perjalanan Herawati keliling daerah-daerah pedalaman Indonesia dalam rangka mengumpulkan genetika manusia Indonesia.
Sebelum berangkat ke lapangan, Herawati selalu memastikan ada tidaknya listrik. Bukan hanya untuk kepentingan mendukung pekerjaan, namun juga untuk memastikan pengering rambut bisa bekerja. ”Di mana pun harus jaga penampilan,” katanya.
Padahal, lapangan yang didatangi Herawati kebanyakan daerah pedalaman, yang selain aksesnya sulit, juga kerap minim infrastruktur, termasuk listrik. ”Kalau tidak ada listrik terpaksa mengeringkan dengan disisir terus-menerus. Lamaaaa...,” ujarnya.
Pengering, selain juga rol rambut, hanyalah bagian dari seperangkat perlengkapan untuk penampilan yang ia bawa setiap ke lapangan. Tak peduli medan seberat apa pun. Beberapa kali bahkan setrika juga dibawa. Dulu penampilan prima tidak menjadi prioritasnya saat di lapangan karena belum ada tren berswafoto. Berswafoto jadi salah satu pemantik semangatnya jalan-jalan blusukan ke pedalaman. Herawati sangat aktif di media sosial, utamanya Instagram, sejak 2015.
Eksis dan bermain-main di media sosial merupakan salah satu medium yang pilih Herawati untuk menikmati perjalanan sekaligus pekerjaan. Sebagai peneliti genetika populasi, pekerjaannya merupakan kombinasi pengambilan sampel di lapangan, ekstraksi di laboratorium, dan analisis. ”Kalau bekerja terus cepat tua, padahal sebenarnya juga sudah tua,” kata Herawati, yang juga pengajar di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) ini.
Di lapangan, dia biasanya menjadi anggota tim tertua, dengan anggota tim peneliti-peneliti muda, bahkan jauh lebih muda umurnya dibandingkan dua anaknya. Namun, soal stamina di lapangan, Herawati seolah tak mau kalah. Ketika anggota tim harus berjalan kaki masuk hutan untuk menemui Orang Rimba di Bukit Duabelas, Jambi, dia pun tak mau ketinggalan sekalipun harus memakai tongkat.
”Selama masih bisa, jangan berhenti. Dengan beraktivitas dan bergaul bersama anak-anak yang lebih muda, justru kita akan lebih awet muda karena lupa umur sendiri,” katanya.
Gaul lintas generasi
Herawati mengatakan, seiring bertambah umur, dirinya justru semakin kerap jalan-jalan. ”Dulu saat muda, waktu habis untuk sekolah dan sekolah, kemudian membesarkan anak. Saat ini seperti orang yang lepas dari tanggung jawab karena anak-anak sudah besar dan mandiri semua. Ini waktu untuk diri sendiri dan saya tidak ingin banyak menghabiskan waktu di Jakarta,” tuturnya.
Ketika libur dan tidak sedang survei di lapangan, Herawati biasanya akan memilih berlibur di rumah keduanya di lereng Gunung Merapi, Yogyakarta. Di sana, dia biasanya mengundang teman-temannya, terutama anggota Weekend Getaway Ladies, perkumpulan geng perempuan peneliti beragam generasi di Eijkman, yang kerap menghabiskan libur bersama dengan jalan-jalan, makan-makan, berburu kain, dan tentu berswafoto.
Menurut dia, hanya bergaul dengan sesama umur justru akan membuatnya turun semangat. Hal yang sama diungkapkan oleh Nurjati Chairani Siregar (65), dokter dan peneliti paruh waktu Lembaga Eijkman, yang bulan April 2019 ini baru saja pensiunan sebagai pengajar Departemen Patologi Anatomi FKUI.
Nurjati adalah rekan awal Herawati berkeliling daerah-daerah di Indonesia untuk mengumpulkan sampel genetika. ”Sekitar tahun 1998, kami sudah ke pedalaman Flores dan Mentawai. Saat itu masih jarang orang Indonesia ke daerah-daerah, ketemunya hanya orang asing,” kata Nurjati.
Namun, karena kemudian lebih aktif memegang jabatan struktural di FKUI, kesempatan Nurjati bepergian ke daerah berkurang. Sekalipun begitu, pertemanan mereka diikat dengan Weekend Getaway Ladies. Begitu ada kesempatan bersama, mereka akan berjalan-jalan dan mencari spot-spot terbaik untuk berswafoto. ”Kami juga bikin grup diskusi di WhatsApp. Mulai dari soal pribadi sampai pekerjaan, kecuali soal politik,” ujar Nurjati, doktor lulusan University of Melbourne ini.
Kebahagiaan domestik
Siapa bilang hanya perempuan yang bekerja di luar rumah yang bisa menikmati hidup seru, anggun, dan keren? Ikuti saja keseharian Desiree Sitompul (57), istri pengaçara Hotma Sitompul dan juga ibu penyanyi kondang Bams. Meski dunianya domestik, Desiree menjalani hidup bahagia, bahkan menginspirasi orang-orang lewat media sosial.
Nenek bercucu dua ini kini bisa dibilang seorang selebgram dengan lebih dari seratusan ribu pengikut. Mereka selalu mengirim komentar-komentar positif tentang berbagai konten di akun Instagram-nya, @mamitoko. Bams yang pesohor pun kini justru lebih sering ditanyai orang soal sang mama.
Desiree kerap mengunggah foto dan video aktivitasnya di rumah seputar hobinya melukis di berbagai medium hingga soal baking alias membuat aneka kue yang menggiurkan. Kue kreasinya bahkan didapuk sebuah jaringan kafe menjadi andalan.
Pada banyak unggahan kontennya itu, ia tampil berbusana seadanya, lazimnya banyak perempuan di rumah, dengan berdaster motif bunga-bunga yang manis. Dan begitulah keajaiban medsos, daster kegemaran Tante Desiree melejit populer dan pengikutnya pun berburu daster serupa.
Seperti pada Selasa (16/4/2019) siang, ketika ditemui di rumah sekaligus studionya di kawasan Jakarta Selatan. Desiree berbalut baju terusan sederhana dengan celemek kerja dan bersandal jepit. Ia tengah tekun menemani Angie Samudera (44) yang minta didampingi belajar melukis. Ia sendiri sembari menyelesaikan pesanan lukisan pada sebuah tas vintage. Cukup banyak orang yang memesan lukisan dari Desiree. Ia melukis di berbagai medium, tak hanya kanvas, tetapi juga sepatu, tas, pakaian, jaket, dan sebagainya. Terkadang Desiree juga membuat patung-patung indah.
”Tante itu seperti Martha Stewart-nya Indonesia. Segala macam keterampilan tangan dia bisa,” ucap Angie.
Desiree tertawa renyah merespons komentar itu. ”Ah, saya masih enggak bisa merajut, tuh. Dulu, suami enggak setuju hobi saya dikomersialkan. Kalau misalnya saya bilang ada orang yang mau beli lukisan saya sekian juta, malah dia yang beli dengan harga lebih,” ujar Desiree sambil tertawa soal polah suaminya itu.
Lama-kelamaan, setelah bertahun-tahun, sang suami, berkat dukungan dan dorongan anak-anaknya juga, mengikhlaskan Desiree kian beraktualisasi diri untuk berkesenian. Walaupun Desiree sendiri tak memaksa suaminya. Ia hanya terus-terusan tekun mengasah keterampilan tangannya. Dua tahunan lalu, ia sempat menggelar pameran koleksi lukisan karyanya, Desiree Art Journey.
Desiree sebenarnya pernah bekerja mengurusi perusahaan peninggalan orangtuanya. Namun, ketika menikah, Desiree yang anak tunggal ini membuat pilihan sadar untuk meluluskan permintaan suaminya dengan tidak lagi bekerja di luar rumah. Pilihan sadar seperti itu pula yang diambilnya ketika memutuskan mengabulkan permintaan orangtuanya untuk sekolah bisnis di Amerika Serikat ketimbang mengambil jurusan seni yang jadi impiannya.
Semua itu dijalani Desiree sebagai pilihan diri untuk melayani orang-orang yang dikasihinya dengan keikhlasan. Waktu pun membuktikan, justru di usianya kini yang lewat setengah abad, dia memetik mimpi-mimpinya dahulu. Desiree kini merasa kian utuh menjadi dirinya sendiri. Ia menikmati prosesnya menua.
”Material thing doesn’t count. Saya happy ketika mengerjakan ini semua, diapresiasi orang, bisa menginspirasi, bisa menolong. Walau jadi sibuk tiap hari, malah senang. Kalau sudah malam dan waktunya tidur, rasanya sayang sama waktunya. Ya, kok udah mesti tidur, padahal masih banyak yang harus saya kerjakan,” ujar Desiree, yang merasa cukup tidur 4-5 jam sehari.
Tua bagi Desiree, Herawati, juga Nuriati adalah masa memetik kebahagiaan yang lebih otentik. Menua merupakan masa bagi perempuan untuk memasuki tahap kecantikan tersendiri. Seperti keindahan musim gugur kala tetumbuhan memberi warna-warni cantik yang berbeda dengan musim semi.
Menua patut dirayakan.