Mulai Bubarnya Rezim Anti-penuaan
Suatu saat cucu Karlina Supelli (61) bertanya mengapa wajah sang oma dihiasi kerutan-kerutan. Karlina pun menjawab, ”Kerutan ini karena tertawa waktu ibumu lulus sekolah. Kalau kerutan yang ini karena menangis waktu dia jatuh. Semua kerutan di wajah ini adalah cerita hidup Oma.” Karlina menirukan percakapan dengan sang cucu itu pada suatu siang yang diguyur hujan.
Hari Jumat (12/4/2019) itu, Karlina baru saja berdiskusi bersama awak Redaksi Kompas tentang situasi politik termutakhir di Indonesia. Guru Besar Filsafat Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara ini tampak segar dalam balutan atasan warna kuning moster dengan aksen batik pada bagian depan, bawahan rok hitam, dan sepatu kitten heels berhak rendah. Tenun motif pa’ bunga bunga dari Toraja berwarna senada atasan mempermanis penampilannya.
Senantiasa tampil rapi dan chic, bagi Karlina adalah pilihan bebas untuk menyamankan dirinya sendiri. Ia menjalani perjalanan umurnya dengan bersyukur, menerima diri sepenuhnya, merawat sikap mental self-loved, tanpa harus galau dengan munculnya uban dan kerutan-kerutan di wajah. Merawat kesehatan baginya lebih menjadi prioritas.
”Industri selama ini membingkai makna kecantikan berdasarkan wujud fisik tertentu, bentuk wajah tertentu, dan warna kulit tertentu. Bingkai itu secara tidak langsung bukan hanya meminggirkan mereka yang tidak memenuhi kategori tersebut, melainkan juga memaksa orang untuk mengejar apa yang dianggap cantik,” kata Karlina yang disiplin berolahraga.
Memang, industri kecantikan tekun mendoktrin kaum perempuan tentang konsep kecantikan superfisial, termasuk mendewakan kemudaan. Cantik itu muda, cantik itu bebas kerutan, bebas freckles, berkulit terang, dan sebagainya. Lantas muncullah pemahaman penuaan harus dilawan sehingga konsep anti-aging diterima begitu saja tanpa gugatan kritis.
Istilah yang bermasalah
Dalam suatu jamuan makan malam di hotel berbintang lima, beberapa beauty editor atau redaktur kecantikan dari berbagai media gaya hidup berbincang seru soal kecantikan. Ledakan tawa geli sesekali pecah. Salah seorang di antaranya sedang memberikan trik soal menata ekspresi agar otot wajah tidak membentuk kerutan.
Ia tampak begitu luwes, mampu mengungkapkan kekagetan dengan otot wajah yang terjaga ketika mengucapkan ”Oh, my God!” tanpa menghasilkan kerutan segurat pun di dahi. Begitu pula saat tertawa, bibirnya ditata sedemikian rupa agar garis tawanya tidak terstimuli maksimal sehingga minim membentuk kerutan.
”Ini tuh gue dikasih tahu dokter anti-aging gue, kalau enggak mau berkerut, yang paling penting tuhbiasain jaga ekspresi muka!” ujarnya.
Namun, fenomena paham anti-aging yang dianut puluhan tahun oleh dunia kecantikan modern dalam tiga tahun terakhir rupanya terus terkoreksi.
September 2017, sebuah majalah perempuan terkemuka asal Amerika Serikat, Allure, memuat sampul dengan judul provokatif, ”The End of Anti- aging, Our Call to The Industry”, dengan wajah sampul aktris asal Inggris, Helen Mirren, yang ketika itu berusia 72 tahun. Mirren tampil tersenyum percaya diri dengan rambut penuh uban tanpa dicat serta kerutan-kerutan yang menghiasi kulit wajah, leher, dan punggung tangannya. Tangan lelaki muda bertato memeluk Mirren dari belakang. Sebuah tampilan visual dan tekstual yang provokatif.
Dalam edisi tersebut, Allure mendeklarasikan diri untuk menghentikan dan melarang penggunaan istilah anti-aging dalam majalahnya. Dengan kesadaran penuh, majalah gaya hidup ini mengoreksi istilah yang dipandang sudah tidak lagi relevan dengan semangat zaman.
Penuaan bukanlah hal yang harus dilawan mati-matian, tetapi justru diterima, direngkuh, bahkan dirayakan dengan sukacita penuh kebahagiaan. Anti-aging dianggap sebagai anti-life, anti-kehidupan. Edisi majalah ini menandai gerakan pro-aging (pro-penuaan) yang dua-tiga tahun terakhir digelorakan di sana-sini.
Gagasan anti-aging dianggap mencerminkan sederet cara pandang tak elok, mulai dari sikap ageism (diskriminasi usia), seksis, lookism atau diskriminasi tampilan fisik, dan tentunya cerminan perspektif patriarkis. Perempuan dalam hal ini menjadi obyek ”bulan-bulanan” dari cara pandang industri kecantikan.
Mengutip artikel ”Is it time to ditch the term ’anti-ageing’? di The Guardian, nilai pasar industri perawatan kulit (skincare) saja secara global mencapai 131 miliar dollar AS per 2019. Perempuan di atas 50 tahun menjadi konsumen yang berperan signifikan dengan daya beli yang tinggi.
Model usia lanjut
Saras Dewi, pengajar filsafat dari Fakultas Ilmu Budaya di Universitas Indonesia, juga mencermati fenomena tersebut. Menurut dia, kampanye Allure menegaskan kecantikan bukan milik satu generasi saja, yakni mereka yang berusia muda. Tak heran beberapa tahun terakhir muncul sederet model perempuan berusia lanjut yang bahkan dikontrak oleh agensi model besar dunia.
Sebut saja mulai dari Joan Didion yang saat berusia 80 tahun menjadi model untuk rumah mode Celine, lalu Joni Mitchell (kini 74 tahun) untuk Saint Lauren dan Dolce and Gabbana, Lauren Hutton (75), hingga Maye Musk (70) yang menjadi model merek kosmetik CoverGirl di usia 69 tahun. Dan, yang paling senior, Iris Apfel, Februari lalu menandatangani kontrak dengan agensi model IMG saat ia berusia 97 tahun!
Menurut Saras, ada dua sisi yang bisa dilihat dari fenomena ini. Pertama, kesadaran atau wawasan baru yang lebih kritis tentang kecantikan. Mulai banyak perubahan masyarakat dalam memandang kecantikan. Ada kepekaan terhadap citra tubuh yang tidak tunggal.
Kedua, peluang yang ditangkap juga oleh industri kecantikan. Saras mencontohkan label kosmetik milik penyanyi Rihanna yang memproduksi shade of foundation untuk kulit yang tergelap sampai tercerah. Terlihat adanya sensitivitas terhadap beragamnya kecantikan perempuan dunia, tanpa menyakiti atau mengeksploitasi.
”Memang tidak lepas dari tren ekonomi. Ada segi pragmatis, tetapi masih cukup positif karena ada gagasan baru, ada transformasi standar kecantikan,” ujar Saras.
Tren lanjutan
Karlina berpandangan, koreksi-koreksi gagasan dalam industri kecantikan boleh jadi merupakan perjalanan lanjutan dari semaraknya industri yang mengusung kesehatan atau wellness. Tren olahraga, yoga, makanan sehat, gerakan kembali ke alam, dan sebagainya mengerucut pada konsep cantik yang berbasis pada kebugaran dan kesehatan. Dalam arus inilah konsep anti-penuaan terkoreksi. Menua adalah proses alamiah yang memang tak sepatutnya diperangi.
Kampanye Allure di panggung global perawatan kecantikan mulai disambut industri kecantikan. Produk-produk perawatan kulit ternama mulai tak lagi menggunakan istilah anti-aging.
Coba kita telusuri beberapa gerai perawatan kecantikan di mal. Beberapa merek perawatan kulit yang berasal dari Eropa, misalnya, memang sudah tidak lagi menyebutkan terminologi anti-aging dalam kemasannya. Hanya saja, produk yang diperuntukkan bagi usia di atas 40 tahun berada dalam rak pajang yang dipasangi petunjuk anti-aging. Beberapa produk, walau tak lagi menyebut istilah anti-aging, mengganti keterangan di kemasan dengan
line-reducing atau cell renewal. Pada dasarnya, janji dan klaim memangkas kerutan masih menjadi roh narasi dari produk-produk tersebut.
”Untuk anti-aging, kami punya dua macam produk yang fokusnya beda. Yang ini untuk mengurangi kerutan, kalau yang ini untuk mengencangkan kulit yang mulai kendur,” papar pramuniaga di sebuah gerai perawatan kulit asal Perancis.
Karlina, yang sedang menulis kosmologi kuno, menemukan catatan mitos-mitos tua yang bisa jadi berpengaruh terhadap pandangan suram tentang penuaan. Dalam beberapa mitos, menurut dia, orang tua perlu dikorbankan untuk menghasilkan ciptaan baru, langit, bumi, dan seisinya.
Salah satu referensi mitos tua itu adalah Enuūma Eliš dari periode Babilonia milenium kedua sebelum Masehi atau sekitar 4.000 tahun lalu. ”Intinya, ketuaan, kerapuhan yang dianggap negatif, menghalangi kemudaan. Nah, sesudah pola hidup yang memungkinkan usia tua yang sehat dan produktif, tampaknya cara pandang itu berubah,” ujar Karlina.
Menua seperti juga musim gugur, memberikan warna kecantikan tersendiri.