Efek Domino Ayam Lodho
Mengunyah sesuap nasi gurih dengan daging ayam kampung yang legit dan berlumur santan kental kuning, gurih, dan pedas, akhir Februari 2019, ingatan langsung melayang ke ungkapan ”lali rupane eling rasane” (lupa rupanya, ingat rasanya). Sejenak, memori kembali ke awal Agustus 2005 saat lidah pertama kali mencicipi ayam lodho di warung sederhana di Trenggalek, Jawa Timur.
Tampilan ayam lodho agak mirip dengan opor, tetapi bersantan lebih kental dan cita rasa pedas cukup kuat. Rasa penasaran untuk mencari di mana tempat terbaik untuk mencicipi kuliner ini kian membubung setelah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan pada 2017 menetapkan ayam lodho sebagai warisan budaya tak benda dari Trenggalek.
Meski secara resmi ditetapkan sebagai ”harta” Trenggalek, ayam lodho juga populer di kalangan masyarakat Tulungagung dan Kediri atau kawasan di Jatim dengan sub-kultur Mataraman.
Kesempatan mencicipi ayam lodho kembali datang saat Prigi Fest 2017. Pada 26 Maret 2017, salah satu kegiatan festival adalah purak lodho atau perarakan belasan tumpeng dengan ayam lodho. Pengunjung berkesempatan mencicipi kuliner buatan warga Watulimo itu.
Kesempatan berikutnya datang saat kembali mengunjungi Trenggalek pada 5 September 2018. Dalam keadaan letih dan lapar, tiada yang lebih menyenangkan selain bersantap di rumah makan Ayam Lodho Pak Yusuf sekaligus menguji slogan Asli Trenggalek sejak 1987 ini.
Selanjutnya, peluang menikmati ayam lodho kembali tiba saat bertandang ke Tulungagung, 24 Februari 2019. Kali ini kami bersantap siang di Warung Lodho (Ayam Kampung) Lestari Jaya P Mukono-B Suparti.
Setiap warung, kedai, rumah makan, atau restoran ayam lodho seakan punya kekhasan. Yang membedakan terutama harga, kebersihan, dan standar pelayanan. Untuk kuliner itu sendiri, satu kata yang terus keluar. Juara! Makanan ini patut mendapatkan tempat dalam hati sebagai salah satu kuliner tradisional Nusantara yang harus dinikmati sebelum mati.
Berkesan
Pada siang yang terik itu, kami memesan sepaket santap siang untuk lima orang di Warung Lodho Lestari Jaya, Tulungagung. Setelah menunggu tak sampai 10 menit, pesanan datang. Di piring besar aluminium terhidang potongan seekor ayam kampung, berlumur kuah santan kental yang kuning, bertabur cabai rawit merah dan bawang goreng. Juga ada piring beling untuk urap; potongan mentimun ditambah rebusan kenikir, daun singkong, daun kangkung, taoge, serta kelapa parut yang kemerahan dan pedas. Juga ada semangkuk kuah santan kental kuning (opor) dengan irisan tomat dan taburan bawang goreng. Disajikan pula sebakul nasi gurih (uduk) yang masih mengepul. Pelepas dahaga adalah es kelapa muda atau es jeruk nipis tanpa gula.
Sebelum dijamah, dikunyah, dan masuk perut, sajian diabadikan. Sendok dan garpu disingkirkan. Menyantap ayam lodho lebih mantap dengan teknik tradisional: memakai tangan atau muluk. Padahal, makanan yang disantap berkuah. Selain muluk, ya menyeruput kuah yang kental, gurih, dan pedas itu.
Cita rasa daging ayam kampung yang dipanggang jelas juara jika lebih juara jika dibandingkan dengan daging ayam negeri. Legit dan gurih. Kuah memakai aneka bumbu sehingga indera pengecap diajak membongkar perbendaharaan cita rasa. Ada manis, asin, gurih, pedas, bahkan sedikit rasa sepat. Sensasi rasa itu menimbulkan pengalaman bersantap yang luar biasa.
Perjalanan masakan dari dapur hingga terhidang jelas tidak sederhana. Ini mungkin tanda kebesaran warisan budaya. Ayam kampung yang muda ditangkap, disembelih, dan dibersihkan. Setelah itu dilumuri dengan bumbu dan dipanggang di atas tungku arang kayu atau arang batok kelapa.
Secara bersamaan, siapkan kuah dari santan kelapa tua yang diparut. Sebaiknya ambil perasan pertama agar kekentalan dan kegurihan rasa santan terjaga. Masak santan itu pada tungku bara kayu dengan diberi ramuan rempah antara lain bawang merah, bawang putih, cabai rawit, cengkih, daun salam, daun jeruk, jinten, garam, gula, kapulaga, kemiri, ketumbar, kunyit, lengkuas, pala, serai, dan tomat. Untuk cita rasa pedas, tambahkan cabai rawit dan lada bubuk sesuai selera.
Siapkan juga urap, yakni lalapan dan kelapa parut berbumbu pedas dari cabai, serai, merica, dan bawang. Ayam panggang disiram dengan kuah santan serta diberi taburan bawang dan cabai rawit. Jika ingin dipanggang lagi merupakan pilihan. Hidangkan bersama dengan nasi gurih yang dimasak dengan santan dan dibumbui pala, kayu manis, jahe, daun serai, dan merica.
Di Ayam Lodho Pak Yusuf, potongan daging ayam panggang tidak disiram dengan kuah tetapi diberi taburan bawang goreng. Jadi, ada sedikit perbedaan dengan Warung Lodho Lestari Jaya yang menyiram ayam panggangnya dengan kuah sebelum dihidangkan. Perbedaan itu menjadi kekhasan dengan penggemar tersendiri.
Yang terang, pengalaman menyantap ayam lodho seperti memahami semboyan Bhinneka Tunggal Ika, keberagaman yang menyatu dalam kenikmatan.
Biaya yang dikeluarkan Rp 200.000-Rp 250.000 untuk sepaket komplet ayam lodho seekor, sepiring urap, sebakul nasi, semangkuk kuah, minuman untuk lima orang, serta tambahan cemilan kerupuk, emping, dan kacang goreng.
Tradisi
Bagi warga Trenggalek dan Tulungagung, lodho merupakan menu yang telah terikat lama dengan akar budaya. Lodho bisa hadir sebagai menu harian. Namun, lodho juga menjadi sakral sebagai kuliner ritual atau penyempurna peringatan hari raya. Lodho yang dihidangkan bersama urap dan nasi gurih seperti ingkung atau sajian lauk pauk tradisional Jawa dalam ritual selamatan.
Menurut buku Tulungagung dalam Rasa yang ditulis Januariani, ayam lodho merupakan kuliner kebanggaan masyarakat Tulungagung dan Trenggalek.
Menu ini diyakini sudah ada sejak berabad-abad sebagai sajian wajib perjamuan, pesta, syukuran, pernikahan, dan selamatan. Diduga kuat ada pengaruh Kesultanan Mataram yang kemudian sedikit diubah oleh rakyat Trenggalek dan Tulungagung dalam kreasi ayam lodho.
Januariani menyatakan, hingga kini belum ada penelitian yang bisa memastikan mengapa kuliner itu disebut ayam lodho. Lema lodho sendiri kemungkinan berarti longgar. Sebabnya, teknik memasak ayam kampung itu membuat daging empuk dan seakan ”longgar” atau lodho dari tulang.
Mengapa berbahan ayam? Karena hewan ini sudah diternakkan warga Pulau Jawa sejak berabad-abad silam. Menjadi amat terbuka kemungkinan lodho berbahan daging non-ayam, tetapi sampai kini tradisi yang mengakar dan menjadi warisan budaya tak benda adalah ayam lodho.
Kuliner ini mungkin terasa lebih ndeso, tetapi otentik jika disajikan dengan nasi tiwul dan atau nasi jagung.