Hidup Baru Sang Linen
Linen bekas seprai hotel bersalin wujud jadi gaun-gaun indah bersiluet anggun, busana kerja, juga busana bergaya industrial, serta gaya yang mengusung semangat muda. Linen bekas seprai itu bahkan juga jadi busana empat musim, terinspirasi arsitektur bergaya gotik khas Colmar, kota kecil di Perancis nan menawan.
Desainer asal Bali, Ni Luh Putu Kurnia Widya Putri, begitu terpesona pada kisah Adam dan Hawa. Imajinya tentang manusia pertama di bumi itu lantas mewujud dalam rangkaian busana pria dan wanita yang didominasi warna nude dan biru, mengusung tema ”Garden of Eden”.
Untuk busana wanita, Ni Luh menampilkan gaun-gaun panjang menjuntai beraksen frill menggoda. Gaun-gaun itu ditampilkan dalam berbagai variasi di bagian atas torso, seperti spaghetti strap, tube, atau aksen ruffles. Aksen lukisan tangan berwarna biru merupakan lambang passion dalam diri Hawa.
Untuk busana pria, warna biru yang lebih kuat diaplikasikan pada luaran (outer), sebagai lambang hasrat (passion) dalam diri Adam. Nuansa nude diaplikasikan pada baju dalam beraksen ruffles yang dikenakan di balik outer berbahan tebal.
”Sebagai manusia pertama di dunia, ada unsur purity dan nudity pada Adam dan Hawa sehingga saya memilih warna nude. Untuk perempuan lebih banyak hand paint yang letaknya di tengah, di dalam frill ataupun dari bawah. Menggambarkan passion perempuan yang muncul dari dalam diri,” papar Ni Luh, Sabtu (23/3/2019), di Bali.
”Untuk pakaian laki-laki, karena passion mereka didorong dari luar dirinya, warna gelap digunakan di bagian luar,” ujarnya.
”Garden of Eden” ditampilkan dalam peragaan busana malam amal menyambut peluncuran Linens for Life di Hotel Sofitel Nusa Dua, Bali. Selain Ni Luh, terdapat 16 desainer lain yang turut berpartisipasi, menggunakan material berupa linen bekas seprai hotel dan material bekas lainnya.
Total terdapat 67 busana yang ditampilkan dan dilelang kepada publik. Seluruh donasi diperuntukkan bagi kegiatan pemberdayaan perempuan dan anak yang dikelola Yayasan Bali for Life.
Bersiasat
Warna nude yang klasik juga menjadi pilihan Ni Made Rica yang mengusung tema ”Business Women”. Warna nude diaplikasikan dalam rancangan berupa rok panjang3/4 dengan aksen twist di bagian pinggang serta celana longgar yang berkesan nyaman. Keduanya dipadukan dengan atasan warna hitam bermodel kasual.
”Idenya dari keseharian saya. Saya mengajar, juga ibu rumah tangga. Jadi, saya butuh busana yang enak dipakai untuk berbagai aktivitas,” ujar Rica.
Pola twist pada rancangan Rica sebenarnya muncul sebagai siasat untuk menutupi bahan yang kondisinya tak sempurna. ”Banyak bercak noda sehingga harus dipotong,” kata Rica yang untuk mendapat warna nude sesuai keinginannya harus melakukan pencelupan berkali-kali.
Andri Sutami yang mengusung tema ”Ocean” juga menghadapi tantangan serupa. Namun, sebagaimana Ni Luh dan Rica, Andri berhasil menyulap linen-linen bekas itu menjadi busana siap pakai yang menawan melalui teknik celup ala shibori dan penggunaan bahan denim.
Denim-denim berwarna biru diaplikasikan sebagai atasan berbentuk tube, lengan jaket, juga menjadi aksen tumpuk pada beberapa rancangan. Untuk busana pria, denim diaplikasikan pada bagian belakang torso dan atasan bermodel celana monyet.
”Temanya lautan. Teknik yang saya kembangkan hampir sama dengan shibori. Agar (warnanya) lebih natural, saya menggunakan indigo pasta. Saya juga mix dengan denim supaya bisa dipakai sehari-hari,” ujar Andri.
Andre Puspa yang mengusung tema ”The Birth of Rebellion” menampilkan rancangan bergaya industrial. Konsep ini, menurut Andre, sesuai dengan material yang digunakan, yaitu material bekas.
Meski mengalami banyak kendala, karena material yang cacat dan tak mampu menyerap warna dengan baik, Andre berhasil menyulap material itu menjadi rancangan dalam rupa-rupa warna, seperti merah muda, hijau, serta navy. Rancangannya didominasi atasan jaket dengan tutup kepala, dipadu celana bergaya outdoor dan ninja.
Rancangan tak kalah memukau juga dihadirkan Donny Silvester, Liza Chab, Vidya, Nia Roy, Yulia Tori, Eva Ratnasari, Ian Diwijaya, Luh Wina Sadevi, Ni Putri Indah, Marchelle Tan, Indy Rizkiana, dan Dahlia.
Tantangan
Menurut Susan Budihardjo, pendiri Lembaga Pengajaran Tata Busana (LPTB) Susan Budihardjo, Linens for Life diinisiasi oleh jaringan hotel Accor Bali & Lombok.
Accor yang merupakan jaringan hotel besar, ujar Susan, kewalahan menangani limbah bekas seprai yang jumlahnya sangat banyak. Selain itu, ada juga limbah bekas seragam, kimono, gorden, dan handuk.
Tahun ini, jaringan hotel Accor Bali & Lombok menggandeng Susan sebagai rekan untuk menyulap linen bekas menjadi busana siap pakai yang lantas dilelang untuk amal sebagai penanda dirilisnya Linens for Life di Indonesia. Selanjutnya, selama setahun para pengajar LPTB juga akan mendampingi ibu-ibu binaan di kawasan Denpasar, Bali, agar terampil mengolah linen-linen bekas itu.
”Saya melihat ini sebagai tantangan. Dari bahan bekas yang orang sudah tidak mau lagi, apalagi bekas di hotel yang dipakai oleh orang segitu banyak, bisa menjadi sesuatu yang orang mau pakai. Tantangan ini yang membuat saya setuju bergabung dalam program ini. Juga karena ini untuk program charity,” tuturnya.
Susan pun turun gunung untuk kegiatan ini. Ia menampilkan empat rancangan yang mewakili empat musim (four season), mulai dari musim dingin, gugur, semi, hingga panas.
Keempat busana karya Susan ini digunakan oleh seorang model secara bertumpuk, mulai dari luaran (outer) berbahan mika berhias lukisan yang terinspirasi dari pemandangan alam dan arsitektur abad pertengahan bergaya gotik di Colmar, Perancis. Di lapisan selanjutnya ada rain coat yang dikerjakan dengan teknik quilting beraksen bunga-bunga hitam yang sebagian dikerjakan dengan teknik bordir.
Busana yang merepresentasikan musim semi (spring) dibuat tanpa lengan dengan aksen cetak digital penuh warna. Sementara busana yang merepresentasikan musim panas (summer) berupa baju terusan tanpa lengan beraksen bunga hitam dan putih. Bagian punggungnya terbuka.
”Aliran saya lebih ke digital. Linen dicelup menggunakan mesin, lalu dicuci lagi menggunakan mesin, sehingga bahan tidak berbau dan tidak akan luntur karena teknik pencelupan yang canggih,” kata Susan.
Teknik cetak digital dilakukan secara terpisah, hasilnya lalu dijahit satu per satu. ”Digital print tidak bisa di-print di atas katun yang bercampur dengan poliester. Jadi, saya bikin digital print, saya potong, terus saya jahit satu per satu,” kata Susan.
Ia juga menggunakan teknik sablon, namun bukan teknik sablon manual. ”Saya juga pakai teknik quilting, ada bordir, tetapi enggak banyak. Lalu saya juga pakai plastik mika, tetapi hanya sebagai gimmick,” ujar Susan.
Begitulah, di tangan para desainer, linen-linen bekas ini telah jauh melampaui wujud asalnya, menjelma dengan nyawa baru.