Kecil-kecil Si Kebun Rimbun
Semangat berkebun warga perkotaan tumbuh dan bergema di mana-mana. Dari aneka sayuran di lahan kecil pinggiran jalan, tanaman mungil di atap rumah, hingga kebun yang penuh tanaman berdaya guna. Mereka tidak ingin kalah dalam ruang terbatas yang dikangkangi beton, sadar akan kesehatan, dan strategi untuk lingkungan hijau nan semriwing.
”Not Just Green. It’s Microgreens”, begitu tulisan di kaus hitam yang dipakai Fajar Wiryono (52). Di lantai atas kantornya, HSC Urban Farm, di kawasan Pertadam, Pancoran, Jakarta Selatan, ia asyik memperhatikan berbagai jenis tanaman yang menghijau menutupi lantai beton, Jumat (26/4/2019) sore.
Hijau dan hijau di atas tanah, menggantung di tembok, di pipa khusus, atau di rak tanaman, serta segelintir kuning di daun tua. Berupa-rupa tanaman menghiasi atap bangunan seluas lebih kurang 400 meter persegi. Mulai dari cabai, ciplukan, seledri, terung, bunga matahari, hingga sorgum. Angin berembus pelan menggoyang tanaman.
Melewati berbagai ragam tanaman, ia lalu berjalan menuju green house yang berukuran sekitar 4 meter x 10 meter. Sejumlah rak dari besi berjejer dalam ruangan yang terlindung dari sinar matahari langsung. Puluhan pot kecil berisi tanaman disusun di rak.
Seorang karyawan terlihat sedang merapikan berbagai jenis tanaman di dalam pot kecil. Selada setinggi 7 sentimeter tumbuh rapat di dalam pot seukuran dua telapak tangan.
Selada yang masih ”bayi”, berumur lebih dari seminggu, ini dinamakan microgreens, sayuran berumur muda yang siap dipanen untuk dimakan sebagai sayuran. Microgreens marak dipakai pencinta makanan sehat untuk dicampurkan ke salad, dibuat jus, sebagai pugasan atau garnish, hingga menjadi sayuran tambahan dalam sandwich, atau makanan lainnya.
”Di rumah juga banyak. Kalau lagi makan, anak-anak tinggal motong dari tempatnya. Ini sebagian lagi dibawa pameran jadi enggak terlalu banyak,” ujar Fajar.
Bersama rekan-rekannya, ia rutin mengikuti pameran. Microgreens adalah salah satu andalan yang dipasarkan. Selain menjual tanaman jadi, mereka menyiapkan perlengkapan awal untuk menanam.
Sayuran mungil yang digemari banyak kalangan ini salah satu varian yang bisa ditanam dengan mudah meski tidak memiliki lahan terbuka yang luas. Biji dari sayuran atau tanaman pun mampu ditanam oleh siapa saja tanpa perlu keahlian khusus.
Microgreens adalah salah satu varian berkebun yang terus ia kembangkan bersama rekan- rekannya dalam HSC Urban Farm. Ia juga bergabung dalam Masyarakat Pertanian Organik Indonesia (Maporina) sebagai orang yang menggawangi pendidikan dan pelatihan. Tidak heran semua tanaman yang ia tanam di kebun roof top itu bersemangat organik. Di kebun itu ada variasi menanam vertikal juga akuaponik.
Dalam berbagai pelatihan, mengisi lokakarya, atau diskusi, Fajar selalu memotivasi orang untuk memulai berkebun. Sebab, berkebun di kota bukan sesuatu yang sulit dilakukan. Mulai dari tempat tinggal, di lahan yang kecil pun berkebun sudah bisa berjalan dengan hasil yang cukup mengagumkan.
”Saya memulainya dengan pengetahuan berkebun yang tidak ada. Sejak 2016 bergabung di Maporina, lalu saya fokus di urban farming, dan belajar serta mencoba sendiri. Kuncinya itu cuma niat, telaten, kesabaran, kesabaran, dan kesabaran,” ujar penyuka fotografi ini.
”Hasilnya bisa dilihat sendiri. Kami tidak lagi beli sayuran. Kebutuhan rumah tangga terpenuhi. Yang paling penting, perasaan senang melihat tanaman lalu berbagi ilmu ke siapa saja itu tidak ternilai,” ujarnya.
Jika Fajar memanfaatkan atap bangunan kantor, Adian Sudiana (49), warga Cempaka Putih Timur, Jakarta Pusat, menggunakan lahan kosong di tepian jalan untuk berkebun.
Di lahan selebar tidak lebih dari 4 meter yang membatasi kali dan Jalan Cempaka Putih Timur, ia dan sejumlah warga berkebun.
Selasa menjelang sore, ia mendorong gerobak berisi sebuah galon, tiga ember besar, dan sebuah tangki air berukuran sedang. Semua wadah itu baru ia isi dengan air dari rumahnya di kawasan Cempaka Putih Timur.
Ayah empat anak ini lalu mendorong gerobak melewati gang sempit menuju jalan utama. Tanaman menghijau di berbagai media tanam berjejer di tepian jalan seolah menyambutnya.
Pakcoy, sawi samhong, dan kale adalah beberapa jenis tanaman yang ditanam. Ia bersiap menyiram tanaman juga mengganti air di beberapa penampungan kecil. Sebuah ritual yang ia lakukan dua kali sehari, subuh dan sore.
Sebanyak delapan media tanam hidroponik berjejer di lahan sepanjang 400 meter yang ia kelola. Selain itu, juga ada delapan paket media tanam vertikultur dan sebuah sistem akuaponik dengan ikan lele di bagian bawah. Beberapa media tanam itu dibuatnya sendiri, sedangkan sebagian lainnya adalah bantuan.
Ia juga menanam cabai secara konvensional. Minggu lalu mereka memanen sekitar 80 kilogram dan dijual di pameran. Hasilnya dipakai untuk operasional kebun, perbaikan, dan penggantian alat.
Dampak besar
Selain menjualnya dalam pameran, Adian juga beberapa kali mendapat tawaran untuk menyuplai ke restoran atau hotel. Namun, tawaran itu belum dia penuhi karena produksi yang belum pasti. Walau dia paham hasil tanamannya bagus karena pernah diuji di laboratorium milik Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.
Memulai menanam sejak 2011, Adian tidak pernah membayangkan bisa berkecimpung di pertanian kota dengan hasil seperti sekarang. Awalnya, ia melihat bantaran kali yang tidak terpakai. Bersama rekan sekaligus tetangganya, Eko, ia memulai menanam berbagai tanaman, seperti singkong dan sayuran.
Mereka juga mulai menanam di sekitar rumah yang sempit. Memakai media tanam pot atau botol bekas, keduanya fokus menanam buah dan sayuran. Buah dikembangkan di gang rumah, sementara sayuran di tepian jalan.
Adian, yang sempat mengikuti pelatihan hidroponik, membuat unit sendiri. Ia merancang unit hidroponik dan vertikultur dengan modal sendiri. Tidak butuh berapa lama, hasilnya mulai terlihat. Berbagai jenis sayuran bisa dipanen dan dimanfaatkan bersama. Selain digunakan untuk rumah tangga, ia juga membaginya kepada tetangga.
Saat ini, bersama tetangga sekitar rumahnya, ia membentuk Kelompok Tani Daun Hijau untuk kaum pria dan Kelompok Tani Wanita Hijau Daun untuk kaum perempuan. Keduanya saling bekerja sama mengembangkan urban farming alias pertanian kota.
Kesadaran kolektif
Pertanian kota atau berkebun di perkotaan tentu bukan sesuatu yang baru. Selain menjadi tren di sejumlah kota besar di dunia, tren ini berkembang di Indonesia sejak awal 2000-an dan terus mendapat tempat di masyarakat.
Sejak 2010, Pemerintah Kota Surabaya, misalnya, telah menggagas pertanian kota untuk membantu kebutuhan sehari-hari masyarakat. Hasil dari masyarakat dan kelompok tani dimanfaatkan sendiri, didistribusi ke hotel dan restoran, juga ke kota tetangga.
Di Jakarta dan beberapa kota besar lainnya, komunitas-komunitas berkebun terus menggeliat. Salah satu komunitas yang cukup awal menggagas berkebun di kota adalah Komunitas Jakarta Berkebun.
Koordinator Komunitas Jakarta Berkebun, Kurnia Yusup, mengatakan, komunitasnya berdiri sejak 2011. Jakarta Berkebun memanfaatkan lahan tidur menjadi produktif dengan menanam sayur dan buah.
Profesi anggota Jakarta Berkebun beragam, seperti pegawai swasta, pegawai negeri sipil, dan mahasiswa. Mereka berkumpul untuk bertukar informasi, menjual dan menanam bibit, serta memasak. Jakarta Berkebun juga memanen, membersihkan, dan menyiram kebun, hingga memasak sayur-mayur bersama.
Pertanian urban, seperti dikutip dari laman Organisasi Pangan dan Pertanian (Food and Agriculture Organization/FAO) Perserikatan Bangsa-Bangsa, bisa memberi kontribusi keamanan pangan di kala krisis atau kelangkaan pangan, selain punya manfaat ekologis bagi kota.
RUAF Foundation (Resource Centres on Urban Agriculture and Food Security) menyebutkan, pesatnya urbanisasi di
kota-kota di dunia menyumbangkan pula peningkatan pesat laju kemiskinan kota dan ancaman keamanan pangan. Potensi ekonomi dari pertanian urban, yang mampu menyerap tenaga kerja, seharusnya bisa menjadi strategi komplementer dalam mereduksi kemiskinan kota.
Ketua Umum Serikat Petani Indonesia (SPI) Henry Saragih mengatakan, komunitas bertani atau berkebun di kota-kota menjadi bentuk kesadaran kolektif untuk mewujudkan kemandirian pangan. Produksi pangan secara mandiri akan menimbulkan dampak positif, seperti mengurangi konsumsi energi yang terkuras dalam jalur distribusi.
Kepadatan lalu lintas dan kuantitas sampah pembungkus makanan pun berkurang. Henry mengatakan, pangan bukan sekadar urusan ekonomi, melainkan juga sosial dan budaya. Pangan harus diproduksi dekat dengan individu yang mengonsumsinya. ”Rumah yang dibangun harus ekologis dengan menyisakan ruang untuk tanaman pangan keluarga,” ujarnya.