Canggung Berbuah Bingung
Suatu hari, Nita Swastika (38) dikejutkan pertanyaan putri bungsunya yang duduk di kelas II sekolah dasar. ”Bu, dari mana adik bayi lahir?” Pertanyaan yang sama, bahkan lebih kompleks, barangkali juga menghampiri banyak orangtua lain. Sudah tidak zamannya orangtua menjawab, ”Hush! Kamu masih kecil.”
Kegagapan dan kebingungan dialami orangtua saat menerima pertanyaan dari anak terkait seksualitas. Terlebih bagi orangtua yang dulu belajar sendiri soal seksualitas tanpa bimbingan orangtua atau mereka yang tumbuh dengan ajaran bahwa seksualitas adalah hal tabu untuk dibahas.
Nita mengakui, dirinya merasa kikuk menjelaskan soal bagaimana proses bayi dilahirkan. Apalagi ketika pertanyaan itu diikuti pertanyaan lain, seperti bagaimana bisa ada adik bayi di dalam perut.
”Akhirnya saya hanya kasih tahu, boleh punya anak kalau sudah kerja seperti ayah dan ibu. Sulit rasanya menyampaikan hal-hal terkait seksual kepada anak, kapan waktu yang tepat untuk menjelaskannya, dan seperti apa cara yang tepat agar anak paham penjelasan itu,” ucapnya.
Dia memilih memberi tahu anak-anaknya bagaimana menjaga diri agar alat kelamin tidak boleh dilihat atau dipegang orang lain dan berpakaian yang sopan. Putri sulungnya, siswa kelas IV, sudah mulai mendapat pendidikan seksual di sekolah sehingga lebih mudah mendiskusikannya.
Kecanggungan juga dialami Putri Dewi (43) saat mengawali pembahasan soal seksualitas dengan dua putrinya, Kira (15) dan Kinan (11). Bagi dia, tugas itu termasuk tugas terberatnya sebagai orangtua.
”Namun, kalau tidak dari saya sendiri, mereka berisiko mencari tahu sendiri, padahal masukan dan informasi yang didapat belum tentu tepat. Malah berisiko menyimpang dan menyesatkan,” ujar Putri.
Dia mulai menyampaikan soal seksualitas ini saat Kira sekolah di taman kanak-kanak. Dia memulai dengan hal sederhana terkait tubuh mereka sendiri sebagai perempuan. Cara menyampaikannya pun santai, saat menjelang tidur malam. Topiknya mulai dari informasi tentang alat kelamin, sentuhan yang baik atau buruk, dan aturan pakaian dalam. Kata-kata yang digunakan juga netral, seperti penis dan vagina, bukan istilah yang dihaluskan atau disamarkan.
Tak paham, tak masalah
Walaupun putrinya belum sepenuhnya paham, Putri tetap terus menjelaskan. Dia juga mengajarkan agar anaknya berani menolak, melawan, dan berteriak kepada siapa pun, termasuk orang yang dikenal, seperti saudara, paman, teman sekolah, guru, sopir, dan pembantu, yang mencoba melakukan hal-hal terlarang.
Setelah anaknya mengalami menstruasi atau menjelang puber, Putri menambah bobot penjelasan tanpa menjadikannya sebagai beban karena hal itu tahap yang wajar dilalui seorang perempuan. Topiknya semakin luas, seperti reproduksi manusia, hubungan seksual pranikah, pernikahan dini, kehamilan yang tidak direncanakan, aborsi, homoseksualitas, dan penyakit menular seksual.
”Sesiap apa pun, tetap saja terasa canggung. Yang paling berat adalah bicara soal reproduksi, dari mana bayi itu muncul,” lanjut Putri.
Membekali anak dengan pengetahuan tentang seksualitas sedini mungkin juga dilakukan Dewi Semarabhawa (52), orangtua Putu Dera Deshinta dan Made Dwara Abhysma. Dengan bekal sejak dini, anak-anak tidak terkejut ketika tanda kedewasaan mulai muncul. Pengetahuan dasar tentang anatomi alat kelamin hingga perbedaan jender sudah dia ajarkan saat anak sulungnya duduk di TK.
Tantangan dialami Dewi saat harus menjelaskan kepada Abhy (24), penyandang autisme. ”Lebih kompleks. Harus jauh lebih detail (menjelaskannya),” ujarnya, Kamis (2/5/2019).
Dia belajar dari pengalaman orangtua lain dan mengikuti berbagai seminar dengan muatan pendidikan seksualitas bagi anak autistik. Dewi harus mencari cara menyederhanakan kata-kata, meramu materi agar sesuai daya serap si anak, dan membuat alat peraga untuk mempermudah pemahaman. Ketika Abhy belum bisa membaca, Dewi menggambar urutan mandi hingga urutan buang air yang benar lalu ditempel di kamar mandi.
Tidak boleh pipis sembarangan, siapa yang boleh dipeluk atau sekadar bersalaman, bagian tubuh perempuan yang mana yang boleh dipegang, serta tentang ereksi dan mimpi basah adalah hal yang terus diulang-ulang diajarkan kepada Abhy.
”Saya tekankan kepada anak-anak, enggak ada yang bisa jaga diri kamu selain kamu sendiri. Saya ingatkan, tanggung jawab ada di kamu,” tambah Dewi.
Presenter Shahnaz Haque mengibaratkan mendidik anak soal seksualitas itu seperti membuat kue lapis. ”Harus selapis demi selapis sepanjang kehidupan yang panjang. Suasana harus santai jangan tegang. Bahasa tubuh santai sehingga anak menerima dengan terbuka,” kata Shahnaz.
Shahnaz menggunakan riwayat penyakit kanker yang merenggut salah satu ovariumnya sebagai pintu masuk ke arah pendidikan seksualitas bagi anak-anaknya. ”Entry point-nya jadi lebih mudah. Bagaimana menjaga kebersihan alat genital untuk alasan kesehatan,” tambahnya.
Pada ketiga putrinya, Pruistin Aisha (17), Charlotte Fatima (16), dan Mieke Namira (13), Shahnaz selalu menjaga komunikasi tetap cair ketika memperbincangkan isu seputar seksualitas. ”Yang bikin tabu bukan pendidikan seksualitasnya, melainkan pada dasarnya komunikasi ibu dan anak itu memang macet.” kata Shahnaz.
Ilmiah dan wajar
Kecanggungan, kekhawatiran, dan ketidaktahuan membekali anak dengan pengetahuan seksualitas sering kali membuat orangtua menyerahkan tanggung jawab itu kepada sekolah. Tanya pak guru atau bu guru saja adalah jawaban paling gampang.
Di sejumlah sekolah, siswa juga sudah sedini mungkin dibekali tentang seksualitas kendati tak sedikit pula sekolah yang tidak cukup mengajarkannya. Kalaupun mengajarkan, arahnya lebih pada pelajaran biologi atau pelajaran agama semata.
Sudah beberapa tahun terakhir SD Tarakanita Gading Serpong, Tangerang Selatan, memberikan pendidikan seksualitas di luar mata pelajaran, seperti IPA. Jika mengacu kurikulum, untuk kelas VI ada materi tentang perkembangbiakan manusia yang membahas alat reproduksi.
”Namun, melihat perkembangan dan kebutuhan, sekolah mengadakan program sendiri. Dulu mulai diberikan saat kelas VI, sekarang kami mulai ajarkan untuk kelas IV karena sudah ada yang menstruasi,” ujar Kepala SD Tarakanita Gading Serpong Blasius Parmana, Selasa (30/4).
Saat jam istirahat, Parmana berkeliling sekolah dan sering mendengar celetukan murid-murid yang terdengar lucu, tetapi perlu diperhatikan. ”Anak kelas I saja sudah mulai bilang suka si ini atau si itu. Ada yang bilang sudah punya pacar, padahal pacar itu apa juga belum tentu tahu artinya. Murid yang lebih besar bahkan bilang baru nembak si ini, sudah putus dengan si itu, sekarang ganti lagi,” imbuhnya.
Program pendidikan seksualitas ini dilaksanakan saat semester satu dengan mendatangkan pakar, seperti dokter dan psikolog. Materi yang diajarkan berupa ciri-ciri fisik laki-laki dan perempuan, perubahan fisik saat puber, menstruasi, mimpi basah, perubahan psikologis, cara menjaga kebersihan alat kelamin dan organ reproduksi, serta acara menjaga diri.
Selain itu, narasumber juga menekankan agar anak-anak berani bilang tidak mau atau tidak boleh ketika ada orang lain yang ingin melihat atau menyentuh alat kelamin. Risiko penyalahgunaan, seperti hamil di luar nikah, hamil usia muda, dan penyakit menular seksual, juga dipaparkan.
Penjelasan disampaikan dalam bahasa anak-anak yang tidak terlalu ilmiah, tetapi tetap wajar. Mereka dibiasakan mengenal istilah terkait seksualitas secara apa adanya, tanpa ada prasangka bahwa itu adalah kata-kata jorok.
Parmana paham, topik ini sering dihindari orangtua, entah karena sibuk, malu, atau merasa belum saatnya mengajarkan pengetahuan seksualitas kepada anaknya. ”Tanggung jawab utama ada pada orangtua. Sekolah hanya melengkapi. Namun, tentu kedua pihak harus sejalan dan bersama-sama menjaga anak-anak ini,” katanya.
Hal serupa dijalankan di SD Gemala Ananda di Jakarta Selatan, yakni mendatangkan psikolog ke sekolah. Tidak hanya untuk murid, tetapi juga dibuat forum untuk orangtua agar dapat membekali anak-anaknya dengan pengetahuan seksual.
Kepala SD Gemala Ananda Jasmin Jasin mengungkapkan, saat pertama kali diterapkan sekitar tujuh tahun lalu, ada anggota presidium orangtua yang menolak gagasan mengajarkan pendidikan seksual dan kesehatan reproduksi oleh sekolah. Urusan itu dianggap tanggung jawab keluarga, bukan sekolah. Berhubung tidak semua orangtua siap atau punya bekal pengetahuan seksualitas di rumah, pengajaran di sekolah tetap dilaksanakan.
Psikolog dan pemerhati masalah anak, Seto Mulyadi, menuturkan, kebiasaan mendongeng bisa membantu orangtua agar tidak canggung dalam mengajarkan pengetahuan seksual sejak dini di rumah. ”Dengan mendongeng, kebiasaan tanya jawab dan komunikasi terjaga. Anak dan orangtua bisa nyaman bercerita tentang apa pun, termasuk hal-hal terkait seksualitas,” katanya.
Jadi, tak perlu bingung lagi menjawab ”adik bayi datang dari mana” ....