Orangtua Siap, Anak Pun Siap
Berita demi berita tentang pelecehan atau kekerasan seksual di dunia anak dan remaja tak henti mengentak ruang kesadaran kita. Paparan pornografi yang dahsyat serasa tak terkejar oleh pengetahuan tentang seksualitas. Sekadar tercengang dan prihatin tentu tidak cukup.
Sebuah ”geng” beranggotakan lima bocah—empat di antaranya duduk di kelas I, III, dan IV SD—melakukan pemerkosaan berulang pada anak yang lebih kecil di kampung mereka. Fakta itu ditemukan Titik Muti’ah, doktor bidang psikologi perkembangan yang sedang meneliti soal
perilaku seksual permisif pada anak usia sekolah dasar di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).
Perilaku seksual permisif ini secara sederhana sering disebut sebagai aktivitas ”seks bebas”. Tes pada salah satu bocah pelaku menunjukkan, pada usia delapan tahun, si bocah sudah sangat tanggap menangkap konten seksual yang disamarkan dalam hitungan detik.
Dari sudut wilayah DIY yang lain, muncul berita tentang puluhan pelajar yang mengajukan dispensasi menikah, awal April lalu, ke pengadilan agama. Seperti dilansir laman Kompas.com,penyebab utama pengajuan dispensasi itu karena mereka hamil di luar nikah saat masih di bawah umur. Yang pria berusia di bawah 19 tahun, sedangkan pasangan wanitanya di bawah 16 tahun.
Dari catatan pengadilan agama setempat, sepanjang tahun 2018, di daerah itu terdapat 79 pasangan di bawah umur yang mengajukan dispensasi menikah. Pada 2019, hingga April saja, sudah 10 pasangan yang mengajukan.
Tahun lalu, banyak kasus kekerasan seksual menyeruak di sejumlah daerah. Di Jambi, AR (17) memerkosa adik kandungnya, WA (15), hingga hamil. AR kerap menonton film porno dari gawai milik temannya. Orangtua tunggal yang bekerja keras menghidupi keluarga luput memperhatikan ancaman ini.
Tak jauh dari Ibu Kota, yakni di Bekasi, di sebuah SMP terjadi penyebaran foto dan video porno di aplikasi obrolan grup yang diikuti ajakan melakukan hubungan seksual. Grup itu beranggotakan 24 siswa kelas IX, 14 laki-laki dan 10 perempuan.
Sejumlah penelitian oleh beberapa institusi mengonfirmasi hal tersebut. Penelitian oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak bersama sejumlah lembaga pada 2017 menemukan, 97 persen siswa SD kelas IV dan V di Jabodetabek terpapar pornografi.
Perhimpunan dokter spesialis kulit dan kelamin Indonesia, April 2018, menyebutkan, di RS Cipto Mangunkusumo, 15 persen kasus baru infeksi menular seksual terjadi pada kelompok umur 12-22 tahun. Tahun 1970-an, Kompas memberitakan peningkatan penyakit menular seksual di kalangan remaja. Rupanya kondisi saat ini tak jauh berbeda dengan hampir lima dekade lalu.
Sama rendahnya
Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) dalam survei tahun 2017 menemukan rendahnya pengetahuan remaja tentang kesehatan reproduksi sehingga mereka terjebak dalam perilaku berisiko, seperti penyakit menular seksual, kehamilan tak diinginkan, kanker serviks, dan implikasi psikologis. Misalnya, hanya 22,4 persen remaja
yang tahu kapan masa subur terjadi.
Deputi Bidang Keluarga Sejahtera dan Pemberdayaan Keluarga BKKBN M Yani, Kamis (2/5/2019), mengatakan, kondisi sekarang ini sangat memprihatinkan. Semakin banyak korban anak berjatuhan lantaran terlibat aktivitas seksual yang tidak mereka pahami. Penyebabnya, tidak ada pengajaran yang memadai.
Ternyata kalangan orangtua yang seharusnya paling bertanggung jawab atas pendidikan seksual anak tak jauh berbeda pengetahuannya alias sama rendahnya. Hal tersebut disebabkan ketidaktahuan, penabuan yang berlebihan, hingga kekhawatiran bahwa si anak justru akan menyalahgunakan pengetahuan itu.
Orangtua sering kali merasa cukup menjelaskan sekali saja. Tak jarang penyampaian tentang seksualitas dibingkai dengan dogma dan stigma sehingga berhenti pada pembicaraan soal dosa.
Titik kerap menemukan orangtua yang tidak menyadari bahwa ancaman pornografi dan perilaku menyimpang yang didorong pornografi sangat dekat di sekitar anak-anaknya. Ketika anak menjadi korban atau pelaku penyimpangan itu, orangtua kemudian terkaget-kaget, bahkan syok.
”Orangtua masih memiliki kecenderungan berpikir pendidikan seksual belum perlu diberikan kepada anak. Padahal, anak-anak ini sudah terpapar dan sudah lebih tanggap pada (konten) pornografi dibandingkan orangtuanya,” ujar Titik.
Tidak terungkap
Seto Mulyadi, psikolog dan pemerhati masalah anak, mengungkapkan, kasus terkait kekerasan seksual pada anak dan remaja di Indonesia cukup tinggi. Bahkan, seperti fenomena gunung es karena banyak kasus tidak terungkap.
Dia menyatakan, pendidikan seksual ini sama pentingnya dengan pendidikan agama dan pendidikan bermasyarakat. Kuncinya pada keluarga karena sering kali pelaku kekerasan atau pelecehan seksual adalah orang terdekat korban.
Pendidikan seksual ini seharusnya sudah dimulai saat anak memasuki fase phallic (3-5 tahun) ketika perkembangan anak mulai mengarah ke alat kelamin. Pada fase ini, anak sudah mulai menangkap perbedaan kelamin laki-laki dan perempuan.
”Jelaskan kepada anak bagaimana dia harus menjaga alat kelaminnya, baik kebersihan, kesehatan, maupun keamanannya. Tidak disarankan untuk memakai istilah ’burung’, misalnya. Berilah nama sesuai istilah anatomi yang benar,” ujar Seto.
Semakin bertambah umur, pengetahuan tentu semakin kompleks. Anak perlu paham bagaimana menghargai dan melindungi tubuh, strategi menolak, kesetaraan anak perempuan dan laki-laki, pubertas, pertemanan sehat, isu kekerasan dalam relasi seperti pacaran, serta perihal mempersiapkan masa depan.
Sejak dini orangtua juga perlu mendorong anak berani mengungkapkan perasaan. Pertanyaan sederhana, ”seperti apa tadi di sekolah”, penting untuk ditanyakan agar tidak ada yang luput dari perhatian orangtua.
”Pernah ada kasus, korban pelecehan seksual baru dua bulan kemudian bercerita setelah peristiwa terjadi. Pada banyak kasus, mereka mendapat ancaman sehingga penanganan terlambat,” lanjutnya.
Meski pendekatan orangtua sudah dirasa baik, sering kali terjadi anak atau remaja merasa lebih nyaman berbicara dengan teman sebaya dibandingkan dengan orangtuanya. Program konseling antarteman sebaya ini juga digelar oleh BKKBN untuk tingkat SMA. Yani menyebutkan, sudah ada 25.000 pusat informasi konseling di seluruh Indonesia.
Di pusat informasi konseling, terdapat sejumlah siswa yang ditunjuk dan dibekali pengetahuan terkait masalah seksual dan kesehatan reproduksi remaja. ”Fungsi mereka menjadi tempat berbagi dan bercerita bagi teman-teman sekolahnya,” ujarnya.
Menurut Gisella Tani Pratiwi, psikolog di Yayasan Pulih, dari penelitian di Amerika Serikat yang tertuang dalam buku Human Development (Papalia, Olds and Feldman, 2009), pendidikan kesehatan reproduksi dan seksualitas terbukti efektif menurunkan jumlah perilaku seks berisiko dan kehamilan yang tidak diinginkan pada remaja.
Jika remaja tidak mendapatkan pendidikan yang komprehensif, mereka berisiko mengalami semua akibat buruknya. Tak hanya secara fisik, tetapi juga aspek psikologisnya.
Misalnya, remaja perempuan yang hamil karena diperkosa pacarnya akan mendapat tekanan dari dalam diri dan lingkungan. ”Dari semua tekanan itu, kebanyakan akan merasa menjadi aib, tidak memiliki masa depan, persepsi diri buruk, malu berelasi, iri akan teman lain, terpaksa keluar sekolah, dan menanggung stigma masyarakat,” papar Gisella.
Orangtua perlu banyak diskusi dan membaca referensi yang tepat mengenai seksualitas untuk anak dan metodenya. Tak cukup dari segi informasi, lanjut Gisella, segi emosi orangtua juga perlu dipersiapkan.
Jangan sampai orangtua mewarisi penghayatan emosional turun-temurun bahwa isu seksualitas itu tabu. Ketika orangtua siap membahas seksualitas, tentu anak pun akan ikut siap.
(DWA/DAY)