Meski selalu bertemu dalam berbagai event sepeda, tetapi selalu dianggap belum sempurna jika tidak berkumpul bersama dalam acara khusus. Sepertinya ada yang hilang. Itu sebabnya, sejak tahun 2018 digelar reuni Kompas Bike, dan dilanjutkan tahun 2019 pada 27-28 April lalu.
Sabtu (27/4/2019) sekitar pukul 05.45 WIB, satu demi satu peserta mulai berdatangan di Jalan Ciliwung Nomor 9 Bandung. Padahal, gowes baru dimulai pukul 07.15 WIB. “Sudah lama saya menunggu acara ini. Kita bisa berkumpul kembali, bercerita bersama, tertawa, bersuka cita dan bersepeda bersama melewati tanjakan dan turunan panjang. Ini acara yang paling menyenangkan, persaudaraannya begitu kuat ,” kata Djati Nugroho asal Bogor yang pernah mengikuti Jelajah Sepeda Sabang-Padang tahun 2013. Djati datang bersama istrinya Methilde Siregar yang pernah mengikuti Bali Bike dan Minang Bike.
Sejak sehari sebelumnya, para peserta berdatangan di Kota Bandung, Jawa Barat dengan membawa sepeda masing-masing. Kali ini diikuti sekitar 60 orang yang umumnya berdomisili di Bogor, Bandung, Cirebon, Jakarta, Tangerang, Bekasi dan Depok. Ke-60 orang itu adalah anggota Kompas Bike. Komunitas ini adalah kumpulan para pesepeda dari berbagai profesi yang pernah mengikuti perjalanan bersepeda jarak jauh ke berbagai daerah guna mengenal Tanah Air sekaligus merajut Nusantara yang dilakukan harian Kompas.
Hulu Citarum
Reuni kali ini mengambil jalur selatan Bandung menuju ke Cisanti, hulu Sungai Citarum dan Situ Cileunca di Pangalengan. Dimulai dari Restoran It’s Nice To Meet You & Kopi Sebagai di Jalan Ciliwung 9 Kota Bandung pada pukul 07.15 WIB, perjalanan bersepeda itu bergerak menuju ke Ciparay, kawasan penyangga Kota Bandung. Perjalanan sempat terhambat oleh kemacetan lalu lintas di beberapa titik.
Dari Ciparay, perjalanan mulai menemukan tantangan. Mengawali dengan tanjakan halus yang memanjang. Semakin ke depan tanjakannya semakin berat dan berkelok. Tetapi, di kiri dan kanan jalan berupa perkebunan sayur dan persawahan membuat pemandangan menjadi menarik. Didukung udara sejuk, sehingga kayuhan sepeda pun terasa lebih ringan.
“Saya sering banget berlibur bersama keluarga di Bandung dan sekitarnya. Tetapi, baru kali ini melewati jalur ini. Pemandangannya menarik. Perkebunan sayur berlimpah dan hamparan sawah yang luas diselingi tanaman kopi dan buah-buahan dengan suasana pedesaan yang sangat menarik sungguh memanjakan mata,” ujar Zamzam, pesepeda asal Jakarta.
Di beberapa titik, para pesepeda memilih berhenti sejenak untuk mengabadikan panorama yang indah. Jalan yang ada pun sudah dibeton. Kondisi ini jauh lebih baik dibanding beberapa tahun silam dimana jalan yang ada selalu rusak karena tanahnya tergerus saat hujan akibat kerusakan lingkungan.
Sekitar pukul 12.30 WIB, satu demi satu peserta tiba di Situ Cisanti. Saat itu sudah ada ratusan pengunjung yang datang secara berkelompok. Antusiasme warga mengunjungi Situ Cisanti cenderung meningkat, setelah kawasan itu makin bagus melalui Gerakan Citarum Bersih yang digencarkan Kodam Siliwangi bersama pemerintah.
Sekarang, pengunjung Situ Cisanti pada akhir pekan berkisar 600-700 orang per hari. Dahulu, jumlah pengunjung jauh di bawah itu. Yang datang hanya para pencinta alam dan peziarah yang ingin mengunjungi situs sejarah. Apalagi, Situ Cisanti seluas tujuh hektar ini sering mengering karena dipenuhi lumpur dari Gunung Wayang yang gundul akibat perambahan hutan.
Setelah digalakkan Citarum Bersih, Situ Cisanti tampak lebih bersih dengan air yang bening. Pengelola yakni Perum Perhutani melengkapi kawasan itu dengan membangun monumen bertuliskan “Kilometer 0 Citarum”. Dibangun pula sebuah dermaga kecil dengan tulisan “I Love You” dan sebuah perahu bertuliskan “Bahtera Cinta”. Tulisan-tulisan menjadi daya tarik bagi pengunjung untuk berburu selfi atau swafoto.
“Itu sebabnya, dalam reuni kali ini kami sengaja mengajak teman-teman anggota Kompas Bike untuk melihat dari dekat kondisi hulu Citarum yang kian menarik. Dengan melihat kondisi ini tumbuh kesadaran bersama untuk menyelamatkan Citarum,” jelas Ketua Panitia Reuni Kompas Bike 2019, Putra Daulay.
Situ Cisanti berada pada ketinggian sekitar 1.500 meter di atas permukaan laut (mdpl) berjarak sekitar 50 kilometer dari Kota Bandung sesungguhnya adalah danau buatan guna menampung tujuh mata air utama Sungai Citarum, yakni Pangsiraman, Cikolebere, Cikawudukan, Cikahuripan, Cisadana, Cihaniwung, dan Cisanti. Warga setempat menyebut kawasan mata air itu dengan sebutan terhormat, yakni mastaka Citarum atau kepala Citarum.
Warga meyakini setiap mata air memiliki kesaktian. Mata air Cikawudukan, misalnya, tempat mandi bagi yang ingin mendapatkan kesaktian. Mata air Pangsiraman untuk mencari jodoh, jabatan atau kekayaan. Lalu mandi di mata air Cikahuripan untuk memperoleh ketenangan. Bahkan, dekat mata air Pangsiraman, terdapat makam Pangeran Ranggawulung Mayang Ciwe.
“Berpuluhan tahun tahu tentang Sungai Citarum, tetapi baru kali tahu hulunya, bahkan datang langsung ke lokasinya. Inilah menariknya bersepeda bersama Kompas, kita selalu diperkenalkan daerah baru yang menunjukkan betapa luar biasanya negeri kita,” ujar Yoke Haulani Latif, asal Jakarta.
Perkebunan kopi
Dari Cisanti, perjalanan dilanjutkan ke Situ Cileunca Pangalengan untuk bermalam. Perjalanan ini melewati perkebunan teh yang dikelola PT Perkebunan Nusantara (PTPN) VIII. Kondisi jalannya sebagian beraspal, tetapi di beberapa titik masih berupa perkerasan pasir dan batu. Saat itu hujan baru meredah, sehingga cuaca terasa sejuk.
Sore itu sejumlah pekerja sibuk menaikkan daun teh yang baru selesai dipetik ke atas truk untuk diangkut ke pabrik. Di Malabar, umumnya diproduksi teh hitam yang sebagian besar diekspor.
Di Pangalengan juga semakin marak dengan perkebunan kopi. Di mana-mana, tanaman kopi tumbuh subur, dan dirawat dengan baik. Sesuai ketinggian lahan, kopi yang ditanam umumnya jenis Arabica. Kendati demikian, tanaman sayur tetap dibudidayakan petani setempat.
“Sayur-sayuran tetap ditanam petani di Pangalengan. Tetapi, mengingat harga sayur selalu tidak stabil, petani pun beralih menanam kopi. Harga kopi cenderung lebih baik dan menguntungkan meski hanya dipanen sekali dalam setahun,” jelas Yudi Guntara Noor, pesepeda asal Bandung yang memiliki belasan hektar tanaman kopi di Pangalengan.
Tanaman kopi dan sayuran milik kang Yudi menggunakan pupuk organik. Pupuk itu didapat dari pengolahan kotoran ribuan ekor domba dan kambing yang dipelihara di Garut. Hasil produksi itu selain dijual, sebagian lagi disajikan pada Restoran It’s Nice To Meet You & Kopi Sebagai di Kota Bandung.
“Restoran ini memadukan usaha hulu dan hilir. Usaha ini baru dirintis. Jika cukup prospektif, ke depan bisa dikembangkan menjadi waralaba,” jelas Asep Barli, salah satu pengelola Restoran It’s Nice To Meet You & Kopi Sebagai.
Editor:
Bagikan
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
Tlp.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.