JAKARTA, KOMPAS — Pemasaran busana muslim karya dalam negeri perlu didorong. Selain prospektif, karya dalam negeri pun dinilai memiliki kualitas yang tidak kalah dengan produk asing.
Hal ini disampaikan Ketua Dewan Kerajinan Nasional Daerah (Dekranasda) DKI Jakarta Ferry Farhati Ganis di Jakarta, Rabu (8/5/2019). Menurut dia, merek lokal mampu bersanding dengan merek luar negeri di pasar busana muslim.
”Tren ini (busana muslim) tidak hanya didominasi merek asing, tetapi juga lokal. Banyak desainer yang terdorong untuk menciptakan inovasi busana muslim yang luwes dan mengikuti perkembangan zaman,” katanya.
Menurut dia, perlu lebih banyak wadah bagi para desainer lokal untuk memasarkan karyanya. Perlu tempat agar produk lokal dan asing dapat bersanding bersama di pasar. Pasalnya, animo desainer dan konsumen pakaian muslim tergolong besar.
Hal ini didukung banyaknya penduduk beragama Islam di Indonesia. Menurut data dari The Pew Forum on Religion and Public Life, penduduk muslim Indonesia berjumlah 209,1 juta orang atau setara 87,2 persen dari total penduduk Indonesia. Angka itu setara pula dengan 13,1 persen penduduk muslim dunia.
Dengan jumlah tersebut, Indonesia menduduki peringkat pertama negara dengan penduduk muslim terbanyak sedunia. Peringkat selanjutnya secara berurutan ditempati India, Pakistan, dan Bangladesh.
Sementara itu, data State of the Global Islamic Economy Report 2018/2019 menunjukkan, Indonesia merupakan satu dari 15 negara ekonomi Islam terbesar di dunia. Dari sejumlah variabel penilaian, sektor modestfashion atau pakaian tertutup Indonesia menempati peringkat kedua terbaik dunia (Kompas.id, 22/4/2019).
Sementara itu, busana muslim tercatat menyumbang 270 miliar dollar AS bagi perekonomian global pada 2017. Kontribusi sektor ini diprediksi meningkat pada 2023 menjadi 361 miliar dollar AS.
Tren itu direspons dengan berkembangnya ragam busana muslim karya desainer lokal. ”Saat ini sudah banyak desainer Indonesia yang menghadirkan busana muslim dengan ciri khasnya sendiri. Mereka juga bisa menampilkan karakter yang tidak kaku bagi seorang muslim, tetapi tetap berpegang pada syariat (Islam),” ujar Ferry.
Walaupun diindikasi berkembang, pemasaran busana muslim butuh dukungan pelaku usaha. Menempatkan sejumlah merek lokal di pusat perbelanjaan bisa menjadi salah satu solusi.
Managing Director PT Panen Lestari Internusa dan CEO Sogo Indonesia Handaka Santosa mengatakan, kunci utama perkembangan produk lokal adalah pemasaran. Oleh karena itu, ia menggandeng 22 merek lokal untuk dipasarkan di sektor busana muslim Sogo yang baru, Samaira.
Merek-merek tersebut telah dikurasi berdasarkan sejumlah kriteria, misalnya tren mode dan kualitas busana. Pemasaran dinilai akan lebih efektif apabila kualitas produk terjamin.
”Akan kami buka satu per satu (sektor busana muslim di Sogo Indonesia). Bisa saja jumlah desainer yang kami wadahi bertambah. Luasan gerai kami berbeda-beda. Jika gerainya besar, kami bisa buka (peluang) lebih besar,” tutur Handaka.
Tercatat ada 18 gerai Sogo di delapan kota, antara lain Jakarta, Balikpapan, Samarinda, dan Surabaya. Menurut rencana, gerai Sogo baru akan dibuka di Medan pada Oktober 2019. Perluasan pemasaran ini menyusul potensi besar penjualan busana muslim.
”Penjualan di sebuah pusat perbelanjaan biasanya didominasi pakaian perempuan. Dari pakaian perempuan, (penjualan) busana muslim bisa mencapai 35 persen. Hal itu karena yang mengenakan busana muslim bukan muslim saja. Misalnya, ada juga yang mengenakan kaftan untuk pesta,” tutur Handaka.