Etnik nan Dinamik
Beragam konsep, corak, dan material tradisional Tanah Air terus menginspirasi para perancang mode dalam karya-karya mereka. Tertuang dalam desain, bentuk, dan potongan kontemporer, rancangan tersebut mengincar kaum muda yang ingin tampil gaya sembari membawa identitas budaya sendiri.
Seperti judulnya, pergelaran busana ”Colorful in Harmony” yang menjadi bagian Indonesia Fashion Week 2019, beberapa waktu lalu, tampak penuh warna. Sebanyak 12 desainer menampilkan karya mereka dengan permainan bahan dan warna yang didominasi cita rasa etnik.
Rata-rata desainer muda ini mengungkapkan keinginan agar anak-anak muda menghargai akar mereka, di antaranya dengan mengenakan busana bernuansa tradisional. Tak perlu khawatir terlihat tua atau kuno karena desain yang mereka ciptakan tetap mengikuti tren busana kontemporer.
Kinto Wardani, misalnya, mengusung koleksi ”Berkain Tenun Badui” yang material utamanya adalah kain tenun badui. ”Saya terinspirasi dari budaya memakai kain. Ibu dan nenek kita masih banyak yang berkain, tetapi jarang terlihat anak-anak muda memakainya,” katanya.
Sembilan rancangan Kinto berupa paduan corak tenun badui antara palet warna yang cenderung gelap, seperti hitam, merah tua, serta biru tua, dan warna terang, seperti merah cerah dan putih. Garis-garis sederhana yang menjadi ciri khas tenun badui dipadukan secara vertikal ataupun horizontal sehingga tercipta tabrakan motif yang menarik.
Tenun diolah menjadi atasan, bawahan, dan luaran. Bawahan terlihat longgar, terlilit di pinggang, mirip dengan cara mengenakan kain tradisional.
Dia menambahkan aksen ikat pinggang atau obi. Misalnya bawahan hitam bergaris horizontal diberi atasan tanktop merah tua, lalu dipadu luaran tanpa lengan berwarna hitam bergaris vertikal dengan aksen merah tua pada bagian bawah.
Tenun juga menjadi inspirasi perancang Herastuti melalui lini Jagora by Herastuti dalam koleksi ”When Batik Meets Tenun”. Dia mempertemukan tenun badui dengan batik pekalongan dalam desain yang simpel dan kasual.
Herastuti memilih batik yang motifnya tidak terlalu rumit, seperti parang, untuk dipadankan dengan tenun badui yang bermotif garis.
Warna yang digunakan pun disesuaikan antara batik dan tenunnya. Misalnya tenun berwarna dasar biru muda bergaris putih untuk rok dengan batik parang biru dan putih untuk atasan. Aksen warna merah di sela-sela garis tenun dipakai hiasan tambahan berupa bunga warna merah pada batik.
Tenun dipakai pula untuk rancangan celana panjang longgar dipadu atasan tanpa lengan dari batik pada satu sisi dan tenun yang sama di sisi lain. Sebagai luaran, tenun hitam dipakai sebagai aksen untuk bagian dada dan lengan pada batik warna abu-abu.
”Paduan tenun dan batik ternyata menarik. Dengan gaya yang kasual, kaum muda bisa tampil dengan bangga sekaligus ceria. Tidak hanya dalam acara formal, tetapi juga bisa dipakai untuk hangout dan jalan-jalan,” ujar Herastuti.
Dari keunikan tenun lunggi, desainer Savitri menampilkan koleksi ”Panglime Sambas” untuk busana pria. Pemerintah Kabupaten Sambas, Kalimantan Barat, menggandeng Savitri untuk menampilkan kekayaan budaya tenun lunggi dalam busana siap pakai yang modern agar lebih dikenal masyarakat.
Panglime, artinya panglima, mewakili sosok yang gagah dan menjaga tradisinya. Maka, hadirlah busana dengan potongan tegas cenderung formal untuk atasan dan bawahan dengan warna dominan coklat, krem, kuning, dan oranye.
Motif tenun lunggi yang dipakai untuk koleksi ini antara lain pucuk rebung, melati, serong mawar, parang manang, bintang timur, pakis, anggur, dan nanas. Savitri mengatakan, pewarna yang dipakai untuk tenun lunggi berupa pewarna alami dari kulit durian, kulit rambutan, dan kulit manggis.
Biasanya masyarakat Sambas mengenakan kain tersebut sebagai pelengkap pelaksanaan ritual adat, salah satunya perkawinan, yakni pelengkap barang seserahan dari mempelai laki-laki kepada mempelai perempuan.
Sementara kain ulos dijadikan aksen untuk busana rancangan Ansy Savitri yang bekerja sama dengan BI Sumatera Utara. Potongan ulos ditampilkan pada kemeja, gaun pendek tanpa lengan, blazer, atau atasan sehingga terlihat lebih dinamis di antara warna polos.
Wol
Sejumlah perancang lain menampilkan koleksi bernuansa glamor berupa gaun panjang dengan ekor menyapu lantai dan potongan feminin yang menyesuaikan lekuk tubuh. Misalnya rancangan Agus Lahinta x Bank Indonesia Gorontalo bertajuk ”Immortality Blue”, Ivan Yogi Susanto dengan ”Solut de L’etoile”, Mubal Arum, dan Exme Couture by Exme Gallery dalam koleksi ”Allure”.
Ivan mencoba mengeksplorasi material wol untuk motif batik. ”Saya melihat inspirasi dari batik di mana-mana (dalam rancangan), tetapi belum pernah melihat kainnya berbahan dasar wol. Menurut saya, wol bisa dipakai untuk material batik karena daya serapnya bagus,” ungkapnya.
Rancangan yang lebih kasual, bernuansa liburan, ditampilkan beberapa desainer, seperti Nila Baharuddin dengan ”Yugure no Kyoto-Senja di Kyoto” dan Carla dengan ”Resort Collection 2019”.
Nila mengusung gaya busana Jepang yang berpotongan longgar untuk atasan, bawahan, ataupun luaran yang mirip kimono. Warnanya cenderung lembut dan cerah, didominasi warna biru muda dan salem (peach).
Warna cerah musim semi menjelang musim panas juga mendominasi koleksi Carla, seperti putih, kuning moster, biru muda, kuning cerah, dan kunyit.
Melengkapi nuansa kasual dalam Colorful in Harmony adalah koleksi tas Luciana Frigga karya Qurnila Harmas dalam koleksi ”Metamorphose”. Tas berbahan kulit dengan konsep rancangan multigaya itu hadir dalam bentuk tas jinjing, tas sandang, dan tas tangan berbagai ukuran.
”Bahan kulit dihasilkan di Indonesia. Rancangan ini menjadi jawaban atas komoditas kulit Indonesia yang diekspor, lalu diimpor lagi dan dijual lebih mahal,” kata Qurnila.