Kipas Penyejuk dan Ringkik Kuda
Kepak 4.000 kipas di jalan protokol Kota Bandung seharusnya cukup menjadi penyejuk kondisi kebangsaan pascapemilu. Apalagi, ditambah pula dengan 5.000 ringkik ”kuda” dari Kota Solo sehingga sudah galibnya api semangat kebersamaan semakin menyala. Ungkapan dalam bahasa Sunda, sajajar sa’amparan atau sejajar dan setikar, mungkin tepat sebagai dasar menjalani kebersamaan itu di tengah keberagaman kebudayaan.
Perayaan Hari Tari Dunia, 28-29 April 2019, ditarikan dalam beragam gaya. Masyarakat Seni Rakyat Indonesia (Masri) Bandung menggelar tarian massal Ronggeng Geber yang melibatkan 4.000 penari dari 16 kabupaten/kota se-Jawa Barat. Bukan tanpa alasan koreografer dan penari Nanu Munajar Dahlan memilih Ronggeng Geber, yang kemudian ditarikan secara massal di ruas Jalan Ir H Djuanda, Minggu (28/4/2019).
Pada hari bebas kendaraan bermotor itu, ribuan ronggeng mengepak-ngepakkan kipas bambu seolah mendinginkan suhu tubuh bangsa yang memanas sejak tahapan pelaksanaan pemilu serentak. Kipas bambu, menurut Nanu, memiliki dua fungsi utama. ”Pertama, menumbuhkan kembali motivasi semangat yang padam; kedua, hawa panas perlu digeber (dikipasi) agar sejuk,” katanya.
Perhelatan bertajuk ”Bandung Ayo Menari” yang didukung Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Jawa Barat ini juga ingin menumbuhkan kembali pepatah orang Sunda di masa lalu. Semangat yang terkandung dalam ungkapan sajajar sa’amparan menjadi dasar penyelenggaraan 24 Jam Menari.
Selain 4.000 penari Ronggeng Geber, turut berpartisipasi 1.680 penari yang mementaskan 168 repertoar, yang dipentaskan di Gedung Pusat
Pengembangan Kebudayaan Bandung selama 24 jam.
”Seluruhnya hadir dengan semangat partisipatif,” kata Nanu. Semua seniman tari memang hadir di Bandung atas dasar keikhlasan dan ketulusan hati. Mereka sukacita menanggung ongkos masing-masing.
ISI Surakarta juga punya semangat serupa. Ketua Umum Peringatan Hari Tari Dunia ISI Surakarta Eko Supriyanto mengatakan, tema #GegaraMenari Urip Mawa Urup, Urip Hanguripi mengandung semangat kebersamaan dalam menjalani hidup. Tema ini, kata Eko, berarti hidup dengan semangat, hidup yang memberi kehidupan.
”Bisa berarti, lewat tari, kita gali kekayaan kebudayaan yang di dalamnya banyak terkandung semangat kebangsaan,” kata koreografer yang dikenal sebagai Eko ”Madonna” ini.
Atas dasar semangat itu, ISI Surakarta untuk ke-13 kalinya merayakan Hari Tari Dunia dengan melibatkan 6.000 penari. Mereka berasal dari 200 kelompok tari di seluruh Indonesia, yang dilangsungkan pada 29-30 April 2019. ”Bahkan, ada yang datang dari Timor-Leste. Semuanya menanggung ongkos sendiri,” ujar Eko.
Kelompok Bengkel Tari Ayu Bulan, salah satu kelompok yang militan, bahkan hadir setiap tahun dalam perayaan Hari Tari Dunia di Solo. Ni Ketut Putri Minangsari, salah seorang pelatih tari di Bengkel Tari Ayu Bulan Jakarta, mengatakan, dirinya selalu hadir untuk terus-menerus membangun dan merawat kesadaran kebangsaan.
”Kita semakin sadar bahwa kita ini bangsa yang beragam, dan itulah modal sosial untuk semakin mengukuhkan rasa kebersamaan kita sebagai bangsa Indonesia,” kata Putri. Putri dan kelompoknya bertekad selalu hadir dalam perhelatan 24 Jam Menari sebagai bagian dari partisipasinya sebagai anak bangsa.
Penari jaranan
Pemerintah Kota Solo rupanya tak mau ketinggalan. Dinas Kebudayaan Solo menggeber tema Solo Menari Jaranan 5.000 Penari yang digelar pada Senin (29/4) di Stadion Sriwedari, Solo. Tari jaranan massal ini ditampilkan oleh siswa dari 80 SMP/MTs negeri dan swasta, juga 258 sekolah dasar di Solo.
Kepala Dinas Kebudayaan Solo Kinkin Sultanul Hakim menuturkan, pergelaran tari jaranan massal ini tak lain untuk memperkenalkan kepada publik tari jaranan bergaya Solo. Selain itu, diharapkan tarian ini membangun kesadaran dan pengetahuan di kalangan generasi muda bahwa Indonesia memiliki kekayaan serta keragaman kebudayaan yang patut dilestarikan. Apalagi, menurut dia, ringkik kuda bisa memberikan semangat baru bagi bangsa ini menjalani hari-hari ke depan.
Fauzan, siswa kelas VII SMPN 8 Solo, misalnya, dengan kemauan sendiri mendaftar ikut pergelaran tari jaranan massal ini. Padahal, di sekolah ia mengikuti ekstrakurikuler taekwondo. ”Saya tertarik ingin mengenal budaya kita,” katanya sebelum ”meringkik” di tengah alun-alun Kota Solo.
Gabungan para penari dari berbagai sanggar di Jawa Barat yang menarikan Ronggeng Geber menampilkan formasi memanjang hingga lebih dari 150 meter. Sebenarnya dalam tarian massal, kata Pembina Sanggar Tari Putri Ayu Bandung Asep Denny, gerakan bukanlah yang utama. ”Yang penting semua bisa menari dan bahagia, tidak ada ego merasa lebih baik dari yang lain,” kata Asep di sela-sela keriuhan para penari.
Sanggar tari yang dipimpin Asep menurunkan 100 penari dari berbagai rentang usia. Bahkan ada Kanza (5), penari termuda yang dengan segala keterbatasannya penuh semangat mengibaskan kipas bambu. ”Paling suka waktu kipas-kipas, supaya enggak panas,” kata Kanza polos.
Menurut Asep, di tengah ketegangan situasi politik yang belum mereda seusai pemilu, pertunjukan seni budaya perlu dikedepankan. Dalam seni budaya, katanya, kita semua berhak menikmati dan berhak bahagia. ”Menari bukan ingin terlihat hebat, tetapi kebersamaan dalam kebahagiaan,” ujarnya.
Kebahagiaan itu jelas terpancar di wajah Nendah (43), pelatih tari di Sanggar Arum Sari Bandung. Ia secara spontan merangkul para penari untuk mengapresiasi penampilan mereka. Sejak sebulan lalu, ia menyiapkan 48 penari, berusia 3 tahun hingga 14 tahun, untuk mengikuti ajang ”Bandung Ayo Menari”.
”Menari perlu diajarkan sejak dini supaya ketika dewasa tak lupa budaya sendiri,” kata Nendah. Ia menambahkan, acara tarian massal di Bandung mengajak semua kalangan melupakan perbedaan pilihan politik. ”Kita bahagia bersama-sama.”
Bagi budayawan dan koreografer kawakan Sardono W Kusumo, tarian tradisi selalu menumbuhkan partisipasi. Tarian tradisi lahir bukan sebagai tontonan, melainkan partisipasi dalam menjalin silaturahmi. Oleh sebab itulah, masyarakat tradisional selalu punya karakter guyub dan bertenggang rasa.
”Dan, ini bisa jadi inspirasi dalam menjalin tali kebangsaan kita. Apalagi, saat sedang terpecah-pecah seperti sekarang,” katanya.
Gerakan 24 Jam Menari mungkin perlu digelar di lebih banyak daerah untuk semakin menumbuhkan sikap partisipatif sekaligus memerangi egoisme, nafsu berkuasa, serta ketamakan akan harta.
Kalau kita kipas-kipas bersama seperti dalam tari Ronggeng Geber, mudah-mudahan kesejukan akan datang. Lalu bersama-sama kita berlari dan meringkik bak kuda, seperti dalam Tari Jaranan sehingga niscaya menebar semangat sebagai satu bangsa: bangsa Indonesia!
(Tatang Mulyana Sinaga/ Erwin Edhi Prasetyo/Frans Sartono/Putu Fajar Arcana)