Selamat Menjadi Indonesia!
Keterbatasan fisik tak membuat Fariza Miftahul Jannah (15) patah. Bersama puluhan penyandang disabilitas semangatnya melonjak-lonjak untuk berlatih menari. Apalagi sesungguhnya ia sudah punya keinginan menari sejak kecil. Pelatihnya, Jonet Sri Kuncoro, pun berusaha menemukan metode pengajaran yang pas bagi Fariza dan kawan-kawannya.
Hasilnya gabungan SLBN Karanganyar, SLB B-C Hamong Putro Sukoharjo, serta SLB B-C dan Autis Yayasan Bina Asih Solo berhasil menarikan tari ”Kami Tak Berbeda” karya Jonet pada pembukaan perhelatan 24 Jam Menari sebagai peringatan Hari Tari Dunia, Senin (29/4/2019), di ISI Surakarta.
Selama menari, Jonet, dosen ISI Surakarta, berdiri di seberang jauh para penari untuk memberi aba-aba. Sementara beberapa mentor berada di tengah-tengah para penari untuk memberi isyarat akan perubahan komposisi panggung.
Apa yang dilakukan Jonet beserta 24 penyandang disabilitas (tunanetra, tunarungu, dan tunadaksa) membuat seluruh hadirin di Pendopo Ageng ISI Surakarta terharu. ”Saya ingin anak-anak punya keberanian dan rasa percaya diri menghadapi hidup,” kata Jonet di sela-sela acara pembukaan.
Mata penari kawakan Eko Supriyanto berkaca-kaca menyaksikan adegan itu. ”Mereka telah memberi inspirasi bagi bangsa ini untuk berani mengatasi keterbatasan,” kata Ketua Umum Peringatan Hari Tari Dunia ISI Surakarta ini.
Haru pun membekap penari Nungki Kusumastuti. Indonesia, katanya, punya banyak keterbatasan di tengah banyaknya potensi kekayaan. ”Anak-anak ini adalah potensi kekayaan yang membuat kita terekatkan di sini,” kata Nungki.
Keharuan berubah seketika jadi kegembiraan ketika Sanggar Tari Kencana Sari Semarang memainkan tari Badut dengan melibatkan 150 anak. Mirip seperti dilakukan Jonet, para pelatih anak-anak ini memberi aba-aba di depan untuk ditirukan bersama-sama. Selain tata rias wajah yang menyerupai badut, gerakan-gerakan yang kadang saling berlawanan dari anak-anak juga menimbulkan tawa gembira.
Perayaan Hari Tari Dunia dengan tema ”#GegaraMenari, Urip Mawa Urup, Urip Hanguripi” di ISI Surakarta benar-benar melibatkan banyak kalangan. Beberapa pemerintah daerah dari Jawa, Sumatera, Bali, Kalimantan, dan Sulawesi mengirimkan para penari atas biaya mandiri.
”Di sini yang dibutuhkan partisipasi, bukan kurasi,” kata Eko. Meski begitu, selain kegembiraan anak-anak, publik juga diberi kesempatan menyaksikan kiprah para maestro. Pada sesi maestro tampil koreografer Retno Maruti, Wied Sendjayani, Wahyu Santoso Prabowo, dan Frans Jiu Luway. Mereka bahkan hadir dengan kelompok masing-masing untuk bersama-sama menari di hadapan publik Kota Solo.
Wied Sendjayani (71) sudah 18 tahun tidak menari karena kesibukannya sebagai pelukis. Ketika diminta ”turun gunung” lagi oleh seorang dosen ISI Surakarta, ia merasa mendapat kehormatan. Sepulang dari Eropa untuk bersekolah tari dan menari di sejumlah kota, Wied mendirikan Sanggar Tari Maniratari di Solo. ”Saya merasa terhormat masih diingat sebagai penari,” kata Wied yang juga pernah bergabung di Bengkel Teater Rendra Yogyakarta.
Sebagai sesepuh tarian Dayak, Frans Jiu Luway yang khusus datang dari Tenggarong, Kalimatan Timur, merasa kehadirannya penting sebagai bagian dari keragaman tarian Indonesia. ”Saya beruntung masih bisa menari di acara seperti ini,” katanya seusai menari bersama tiga penari Dayak lain. Senin (29/4/2019) malam, Frans membawakan tari Goyah yang menceritakan kisah suku Dayak di Kalimantan Timur.
Pengalaman ketubuhan
Menurut koreografer Sardono W Kusumo, ajang tari seperti 24 Jam Menari di Solo lebih mementingkan partisipasi, bukan tariannya. Lembaga akademis seperti ISI Surakarta, harus bisa diakses kapan pun oleh masyarakat yang punya keterkaitan dengan dunia kesenian, terutama tari. Umumnya, kata dia, para penari di Nusantara punya relasi secara natural dengan alam, yang disebut relasi nature-culture. ”Inilah kecerdasan tubuh dari para penari kita. Ini berbeda dengan kecerdasan otak,” katanya.
Memori nature-culture itu, tambahnya, terekam baik dalam tari-tarian tradisi Nusantara yang sebagian besar berangkat dari tradisi religiusitas masyarakat lokal. Kecerdasan yang diwariskan oleh masyarakat Papua berbeda dengan masyarakat Dayak karena mereka berada dalam ekosistem alam yang berbeda pula.
”Inilah yang melahirkan para genius lokal. Dan ingat, ini tidak bisa diseragamkan karena akan berarti menghilangkan genius lokal,” katanya.
Realitas ini pula yang dirasakan Ni Ketut Putri Minangsari, guru tari di Bengkel Tari Ayu Bulan Jakarta. Kelompok ini selalu antusias hadir di Solo, tidak hanya karena ingin berpentas dan saling mengapresiasi, tetapi lebih-lebih merasakan aura keindonesiaan. ”Kebinekaan Indonesia itu nyata di sini, jadi kami bisa saling berkomunikasi untuk saling mencintai negeri ini,” kata Putri.
Pada perhelatan 24 Jam Menari 2019, Bengkel Tari Ayu Bulan membawakan Legong Playon yang untuk pertama kali mereka bawakan. Ini merupakan tarian klasik Bali yang direkonstruksi dan dilestarikan oleh keluarga seniman I Made Djimat di Gianyar, Bali.
Sardono berangan-angan, jika festival seperti yang dilakukan oleh ISI Surakarta diselenggarakan secara reguler di sejumlah daerah, tentu akan berarti untuk merawat keindonesiaan dari dalam. Dalam setiap tarian tradisi, katanya, terdapat elemen-elemen filosofis, religius, dan sosial yang mendasar. Sebab, tari, tambahnya, menjadi bentuk paling kompleks untuk menyimpan memori kecerdasan lokal.
”Akan lebih elegan membenihkan Pancasila dari dalam ketimbang melakukan indoktrinasi ideologi,” katanya.
Menurut Pelaksana Tugas Kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila Hariyono, Indonesia menjelma sebagai hibridisasi kebudayaan dari berbagai elemen. Ketika Hindu, Buddha, dan Islam datang, seluruh ajarannya luluh dalam kohesi kebudayaan yang subtil. Namun, ketika kolonialisme hadir, terjadilah involusi akibat ketidaksetaraan kebudayaan.
”Maka, lama-lama kita kehilangan kepercayaan diri. Kerugian terbesar dari penjajahan kepada bangsa kita hilangnya rasa kepercayaan diri,” kata Hariyono dalam sesi dialog pada rangkaian kegiatan ini.
Akibatnya, tambah Hariyono, jangan-jangan kita sudah menjadi ”Si Malin Kundang”, tidak bangga lagi dengan peradaban bangsa sendiri. Lakon pewayangan Dewa Ruci mengajarkan, kepercayaan diri dan kebanggaan harus dicari di dalam diri. ”Kunci pengembangan kebudayaan bukan dalam kebudayaan asing, melainkan di dalam diri kita sendiri,” katanya.
Pancasila adalah produk budaya bangsa yang nilai-nilainya disarikan dari kebudayaan bangsa sendiri. Sardono menyebut istilah built in untuk mengatakan bahwa nilai-nilai Pancasila terintegrasi dalam kebudayaan, terutama kesenian tradisi di Indonesia. Tari menjadi pengalaman ketubuhan manusia yang paling kompleks karena lahir dari relasi intim manusia dengan ekosistem alam yang membentuknya.
”Semua itu diwariskan lewat tradisi. Di dalamnya terintegrasi ajaran-ajaran lokal yang sekarang kita kenal dengan Pancasila itu,” kata Guru Besar Institut Kesenian Jakarta itu.
Rektor ISI Surakarta Guntur menyebut, seni, khususnya tari, menjadi medium untuk memberi bingkai pada kohesi sosial di tengah masyarakat yang sedang mengalami polarisasi seperti saat ini. ”Jadi, seni itu bagian penting dari arsitektur kebudayaan dan tari memberi pencerahan serta membingkai kohesi sosial,” katanya.
Oleh karena itu, perayaan 24 Jam Menari di Kota Solo, Bandung, dan beberapa kota lain telah lahir menjadi gerakan untuk merayakan keindonesiaan. Di forum seperti inilah kita menemukan bahwa Indonesia itu nyata, bukan sekadar angan-angan yang dibeberkan dalam teks-teks konstitusi.
Selamat menjadi Indonesia! (Frans Sartono/Tatang Mulyana Sinaga)