Di pabrik Satnusa, produksi Redmi Note 7 dilakukan di gedung perakitan yang disediakan khusus untuk Xiaomi. Produksi gawai dikerjakan oleh tiga jalur produksi, yang masing-masing berisi sekitar 70 pekerja, melalui 86 stasiun atau alur proses produksi.
Oleh
ERIKA KURNIA
·3 menit baca
Slogan ada harga ada barang kembali dipatahkan oleh perusahaan teknologi Xiaomi melalui gawai terbarunya, Redmi Note 7. Meski dijual dengan harga bersaing, gawai yang menawarkan pengalaman sekelas produk unggulan (flagship) ini lahir dari proses perakitan yang tidak abal-abal.
Senin (20/5/2019), Kompas mengikuti tur yang diselenggarakan Xiaomi Indonesia di pabrik elektronik PT Sat Nusapersada (Satnusa) di Lubuk Baja, Batam, Kepulauan Riau. Di sana, Kompas menyaksikan alur proses perakitan, yang disebut terpanjang dalam sejarah perakitan gawai Xiaomi bersama Satnusa dua tahun terakhir.
”Kegiatan ini sebagai bentuk respons dari ekspektasi masyarakat yang luar biasa terhadap produk kami. Kami ingin tunjukkan bahwa kami berusaha keras untuk memenuhi permintaan konsumen, khususnya selama Ramadan ini,” kata Xiaomi Indonesia Country Manager Steven Shi di Batam.
Sejak diluncurkan Maret 2019, gawai yang dibanderol dengan harga mulai Rp 1,99 juta itu disebut banyak diminati masyarakat. Bahkan, tidak lama setelah dirilis, gawai berukuran 6,3 inci dengan prosesor chipset Snapdragon 660 AIE itu sempat menghilang dari pasaran sehingga disebut ”gawai gaib” oleh warganet.
Di pabrik Satnusa, produksi Redmi Note 7 dilakukan di gedung perakitan yang disediakan khusus untuk Xiaomi. Produksi gawai dikerjakan oleh tiga jalur (line) produksi, yang masing-masing berisi sekitar 70 pekerja, melalui 86 stasiun atau alur proses produksi. Sebagai perbandingan, Xiaomi MI A1 produksi 2017 hanya melalui 48 stasiun.
Proses produksi dimulai dari pemasangan motherboard, alat verifikasi sidik jari (fingerprint), hingga kamera yang melalui tiga kali proses perakitan dalam ruang kedap debu. Kamera yang dihadirkan Redmi Note 7 terbilang spesial karena ada dua kamera belakang yang masing-masing beresolusi 48 megapiksel dan 5 megapiksel serta kamera depan memiliki resolusi 13 megapiksel dengan teknologi artificial intelligence (AI).
Setelah itu, batang gawai akan diisi baterai selama enam jam sebelum dibawa untuk melalui proses uji coba berteknologi P2I (prevent, protect, improve). Proses P2I dilakukan untuk menguji ketahanan gawai, antara lain terhadap paparan zat kimia hingga percikan air.
”Kami pastikan ketahanan Redmi Note 7 dengan peralatan P2I. Prosedur ini tidak hanya untuk Redmi Note 7, tetapi juga produk Xiaomi terbaru lainnya karena kami perlu menyediakan kualitas terbaik,” kata Steven.
Kualitas dipastikan
Pengecekan kualitas komponen gawai dilakukan baik secara manual maupun otomatis menggunakan komputer canggih. Berbagai komponen diuji, mulai dari kualitas pengeras suara berteknologi Smart PA audio, layar gawai, hingga pengecekan kemulusan batang gawai.
Para pekerja produksi yang seluruhnya perempuan tampak cekatan dan teliti dalam mengerjakan proses produksi. Salah seorang anggota staf stasiun pengemasan, Lia, mengatakan, para pekerja juga dipastikan disiplin bekerja selama 7 jam 15 menit dengan waktu istirahat 45 menit. Dalam sehari, ratusan pekerja bekerja dalam tiga sif.
”Satu baris pekerja di sini bisa menghasilkan 2.000 gawai setiap sifnya,” kata Lia. Dengan demikian, 18.000 unit Redmi Note 7 dapat diproduksi setiap 24 jam.
Direktur Utama Satnusa Abidin Fan memastikan, semua tenaga kerja adalah orang terlatih. Dengan demikian, kualitas produksi gawai tidak perlu diragukan. ”Perusahaan ini juga salah satu pabrik berteknologi tinggi dan berpengalaman,” ujarnya.
Kerja sama Satnusa dengan Xiaomi Indonesia disebutkan memiliki andil besar dalam membidik konsumen kelas menengah Tanah Air. Hal itu membuat Xiaomi masih terdaftar dalam jajaran lima besar gawai terlaris di Indonesia menurut survei lembaga International Data Corporation (IDC).
Pada 2018, lima merek gawai pintar yang menguasai pasar Indonesia adalah Samsung (28,8 persen), Xiaomi (20,7 persen), Oppo (19,6 persen), Vivo (10,3 persen), dan Advan (6,3 persen) (Kompas, 20/5/2019).