Semarak Cut Meutia
Pelataran Masjid Cut Meutia pada Minggu (19/5/2019) siang lalu tampak semarak. Beragam kegiatan kerap digelar di situ. Mulai dari perniagaan hingga festival musik, semua dibingkai dengan kesadaran sosial. Berkarya adalah ibadah.
Sejumlah penjual lalu-lalang menghampiri orang yang datang untuk menawarkan produk dagangan. Di seberang tenda-tenda, tampak sebuah tenda besar dengan kursi-kursi tertata rapi dan panggung dengan latar bertuliskan lomba membaca Al Quran.
Hari itu, kegiatan lomba dimulai seusai shalat Tarawih. Sebelumnya, sebuah pentas musik besar juga digelar di tempat yang sama. Selama dua hari, 17-18 Mei 2019, pelataran Masjid Cut Meutia menjadi lokasi perhelatan tahunan Jazz Ramadhan Festival, yang tahun ini memasuki tahun ke-9.
Seperti tahun-tahun sebelumnya, festival musik jazz tadi juga menyedot banyak pengunjung yang datang untuk menonton musisi-musisi papan atas Tanah Air beraksi. Pentas digelar pada malam hari seusai ibadah shalat Tarawih dan berakhir dini hari.
”Setiap bulan Ramadhan memang ada banyak kegiatan bersama masyarakat. Mulai dari ibadah rutin seperti buka puasa, shalat Tarawih, dan itikaf. Juga ada kegiatan Gema Ramadhan, festival musik jazz Ramadhan (RJF), dan masih banyak lagi,” ujar M Deo Saputra, salah seorang pengurus di Yayasan Masjid Cut Meutia.
Pada dasarnya banyak kegiatan dilakukan dan diselenggarakan pihak yayasan, termasuk juga yang diinisiasi organisasi di bawahnya, Remaja Islam Masjid Cut Meutia (RICMA). Tujuannya, mengajak sebanyak mungkin jemaah, terutama kalangan anak muda, agar mau datang dan beraktivitas di masjid tak hanya untuk keperluan beribadah.
”Jadi masjid sebagai ruang publik, tempat berkegiatan, memang diterapkan di sini. Paling tidak anak-anak muda melihat, wah, ternyata masjid bisa juga seseru ini, ya. Dalam Islam, masjid, kan, memang pusat beragam aktivitas umat. Tak hanya ibadah, tetapi juga pusat perekonomian atau perdagangan dan juga berkesenian,” ujar Deo.
Tak heran, banyak kegiatan, seperti bazar dan bentuk perniagaan lain, dilakukan di area seputar masjid. Kegiatan bazar, menurut Deo, dilakukan sejak 2008. Pengurus tidak menetapkan biaya sewa tempat secara spesifik, melainkan sekadar kontribusi berupa infak untuk masjid. Kalaupun ada fasilitas masjid yang disewakan, sebatas ruang aula, yang memang kerap dipakai resepsi.
Terkait kegiatan dakwah melalui festival musik, menurut Deo, itu juga didasari ajaran Al Quran bahwa Rasul pun diminta untuk berdakwah dengan menggunakan bahasa yang dipahami oleh kaumnya. ”Nah, istilah bahasa yang dipahami oleh kaumnya kami artikan sebagai bahasa, yang dipahami dan bahkan digandrungi oleh anak muda saat ini. Salah satunya bahasa musik, dalam hal ini musik jazz yang kami anggap cocok. Memang, soal musik ini masih terdapat silang pendapat. Namun, kami lihat impact dari kegiatan seperti ini cukup besar,” ujar Edo.
Acara-acara yang digelar RICMA juga menggalang donasi untuk disumbangkan ke kalangan yang membutuhkan. Misalnya, dari Ramadhan Jazz Festival (RJF) 2018, mereka menggalang bantuan dana dan donor darah untuk disalurkan ke Palang Merah Indonesia.
Dari ajang yang sama, mereka juga mengumpulkan donasi uang Rp 165 juta, yang 70 persennya dipakai untuk membantu mengisi fasilitas tempat tinggal dan kesehatan bagi para pasien kanker di yayasan Cancer Information and Support Center (CISC). Selebihnya disumbangkan ke para korban bencana alam di Banten, Palu, serta Donggala di Sulawesi.
”Untuk tahun ini, dana hasil donasi kami arahkan untuk membantu teman-teman difabel, terutama mereka yang membutuhkan beragam alat bantu untuk menunjang kegiatan mereka sehari-hari. Tahun ini kami menargetkan untuk mengumpulkan donasi Rp 500 juta,” tambah Deo.
Sejarah menuju masjid
Bisa dibilang tak banyak catatan resmi tentang sejarah bangunan Masjid Cut Meutia, yang bisa menjadi patokan keberadaannya. Informasi yang diketahui pengurus masjid pun sebatas cerita-cerita lisan dari pengurus lama masjid dan sedikit dokumentasi tulisan di beberapa media massa.
Kompas pernah menerbitkan artikel ”Masjid Cut Meutia, Dari Gedung Belanda Menjadi Rumah Tuhan”, Minggu (19/7/2015). Berdiri di atas lahan seluas 5.000 meter persegi, tak jauh dari Stasiun Kereta Api Gondangdia, Jakarta Pusat, masjid ini terbilang unik lantaran bangunan aslinya sama sekali tak berarsitektur masjid.
Gedung Masjid Cut Meutia dibangun bergaya arsitektur Eropa, Art Nouveau, yang memang sempat populer di era 1880-an hingga era awal 1920-an. Pada tahun 1987, gedung ini baru difungsikan sebagai tempat ibadah atas usulan AH Nasution.
Oleh Gubernur DKI Jakarta ketika itu, Ali Sadikin, gedung yang tadinya akan diratakan itu ditetapkan berstatus cagar budaya. Sebelumnya, bangunan Masjid Cut Meutia kerap berubah fungsi dan kepemilikan sejak pertama kali didirikan.
Mengutip situs Situsbudaya.id, gedung Masjid Cut Meutia awalnya didirikan sebagai kantor biro arsitek zaman Hindia Belanda, NV De Bouwploeg, dipimpin Pieter Andriaan Jacobus (P.A.J.) Moojen. Biro arsitek itu bertanggung jawab pada proyek pengembangan dan pembangunan kawasan Menteng, yang saat itu disebut dengan nama Nieuw Gondangdia.
Gedung kantor itu dibangun selama dua tahun sejak 1910 oleh Moojen. Setelah beberapa tahun berfungsi, gedung itu sempat terbengkalai karena biro arsitektur pimpinan Moojen tadi dinyatakan pailit tahun 1925. Sejak itulah, gedung tersebut berganti-ganti fungsi dan berpindah kepemilikan.
Mulai dari berfungsi sebagai kantor pos, kantor perusahaan kereta api Belanda, kantor Angkatan Laut Jepang saat negeri itu menjajah Indonesia pada 1942, sampai kemudian menjadi kantor sekretariat MPRS dan Kantor Urusan Agama pada era awal kemerdekaan Indonesia.
Bagian dalam gedung itu terbagi menjadi dua lantai, dasar dan lantai satu. Sebagian besar area di lantai dasar kini berfungsi sebagai tempat shalat untuk jemaah pria dan perempuan.
Di area shalat itu, arah kiblat di situ tak sama dengan arah bangunan. Tempat mimbar ceramah juga terpisah dengan bilik tempat imam memimpin shalat. Itu lantaran bangunan masjid memang sejak awal didesain sebagai bangunan perkantoran biasa, bukan diperuntukkan sebagai tempat ibadah.
Sebelumnya, di bagian tengah bangunan, menghubungkan antara lantai dasar dan lantai satu, juga terdapat sebuah tangga besar. Tangga itu kemudian dihilangkan lantaran dianggap terlalu memakan tempat dan mengganggu area ibadah shalat.
Saat ini, sisa bagian tangga yang terhubung ke tangga bercabang menuju lantai atas berada tepat di atas mimbar ceramah, yang pada bagian dindingnya dihiasi tulisan kaligrafi indah. Untuk mencapai lantai atas, orang bisa mengakses lewat tangga di dekat pintu masuk muka masjid.
Area lantai dasar dan atas terhubung oleh kubah setinggi tiga lantai dengan empat sisi. Pada setiap sisi dinding kubah besar terdapat masing-masing tiga kusen jendela besar. Selain berfungsi sebagai tempat masuk cahaya, ini juga menjadi tempat udara bersirkulasi.
Bagian kubah bangunan yang didesain seperti itu membuat ruang dalam masjid cukup mendapat cahaya matahari sejak pagi hingga sore hari. Sirkulasi udaranya juga terbilang sejuk dan tidak pengap sehingga jemaah bisa beribadah dengan tenang.
Pada balkon di lantai atas juga terdapat area lumayan luas yang bisa dipakai untuk menggelar ibadah shalat. Di salah satu sudut lantai atas juga terdapat beberapa ruang besar yang kini berfungsi sebagai kantor sekretariat dan ruang yang bisa disewakan.
Pada beberapa bagian dinding bagian luar di tangga menuju lantai atas juga terdapat ornamen-ornamen kaca patri berwarna warni, khas bangunan bergaya kolonial.