Berharap pada Viscose
Belakangan, ajakan untuk menjadi individu yang ramah lingkungan kian santer terdengar. Desainer lokal pun tergerak ingin berbuat sesuatu untuk planet ini. Bagi mereka, serat viscose-rayon jadi harapan baru buat tampil modis sambil menyelamatkan dunia.
Viscose mungkin terdengar sedikit asing buat beberapa orang. Kebanyakan masyarakat lebih mengenal rayon, bahan yang ringan dan adem saat dikenakan. Viscose—versi lain dari rayon— pun tidak berbeda jauh dengan rayon.
Serat ini terbuat dari pulp atau bubur kayu pohon akasia. Saat ditenun menjadi kain, hasilnya ringan, adem, dan halus, mirip rayon.
Viscose juga diklaim ramah lingkungan. PT Asia Pacific Rayon (APR) selaku produsen viscose lokal pertama di Indonesia menjamin serat ini diproduksi secara berkelanjutan. Serat ini diambil dari perkebunan yang dikelola dan dipantau berkala. Sertifikasi membuat serat ini bisa dilacak asal-usulnya, mulai dari pembibitan hingga diproduksi menjadi viscose.
Mengutip dari Direktur PT APR Basrie Kamba di Jakarta, Rabu (1/5/2019), sebisa mungkin kita harus meminimalkan proses produksi yang merugikan lingkungan. Setidaknya itu yang bisa kita lakukan sebagai langkah awal untuk menyelamatkan bumi dari kerusakan.
Selain itu, viscose juga diklaim cepat berdifusi dengan alam. Kain dari viscose diperkirakan bisa terurai dalam waktu lebih kurang dua tahun.
Bukan kelemahan
Walaupun viscose terdengar seperti serat super, pakaian dari viscose harus pintar-pintar diakali. Sebab, kain ini gampang lecek.
Menurut desainer sekaligus Ketua Indonesian Fashion Chamber Ali Charisma, sifat viscose yang gampang berkerut bukan sebuah kelemahan. Viscose tetap mengasyikkan buat dijadikan bahan eksperimen, apalagi buat dirancang jadi pakaian modis.
”Orang-orang bilang, viscose sering lecek seperti linen. Kalau sudah tahu, itu bukan lagi sebuah kelemahan. Lecek tidak membuatnya jadi jelek,” kata Ali. Ini disampaikan sesaat sebelum pergelaran busana persembahan PT APR pada Muslim Fashion Festival (Muffest) 2019 di Jakarta, beberapa waktu lalu. Pergelaran busana itu mengusung tema ”Future is Naturally Sustainable Fiber”.
Berkreasi dengan viscose pun tak ubahnya berkreasi dengan kain lain bagi Ali. Namun, dia mengaku masih meraba sejauh mana viscose produksi dalam negeri bisa berkembang. Soalnya, ini kali pertama desainer lokal diajak berkolaborasi dengan produsen viscose-rayon lokal pertama di Indonesia, PT APR.
Ada delapan desainer lokal yang terlibat dalam proyek ini. Mereka adalah Ali Charisma, Hannie Hananto, Weda Githa, Sofie, Raegitazoro, Novita Yunus, Dibya Hody, dan Aldre. Ada 64 busana karya kedelapan desainer tersebut yang diperagakan.
Ali merancang dan memamerkan delapan busana di landas peraga malam itu. Semuanya baju muslim dengan bahan dasar viscose. Busana rancangannya melambai ringan di atas panggung seiring dengan langkah sang model.
Atasan kelabu tua sepanjang paha membungkus tubuh salah satu model. Di bawah baju kelabu itu masih ada juntaian kain berwarna merah marun. Ada juga celana kain berwarna hitam dan luaran merah marun untuk menyempurnakan penampilan.
Ini adalah gaya berpakaian dengan model tumpuk, gaya yang umum dianut oleh para hijabers. Lapisan demi lapisan baju membentuk dimensi dan menyamarkan lekuk tubuh. Baju bertumpuk juga memberi variasi palet warna dari kepala hingga ujung kaki. Jangan lupa pilih warna yang harmonis, paling banyak 3-4 warna.
Walaupun bertumpuk, sang model tidak terlihat berat dan tenggelam. Karakteristik viscose yang ringan menyamarkan fakta bahwa si model sedang pakai baju bertumpuk. Inilah salah satu kekuatan viscose sebagai bahan busana muslim.
Memahami sifat
Merancang baju dengan bahan dasar viscose bisa jadi susah-susah gampang. Untuk membuat baju yang sesuai dengan imajinasi, desainer perlu memahami benar sifat bahan yang sedang ia garap. Ibaratnya seperti pendekatan untuk mengenal seseorang lebih jauh. Bedanya, ini bukan orang, melainkan kain.
Ali mengatakan, ia bereksperimen dengan viscose berulang kali sebelum delapan koleksinya lahir. Ada sekitar 20 desain yang ia coba. Dari percobaan itu, ada 2-3 desain tidak bisa dilanjutkan lagi.
”Memang kita harus mengerti sifatnya (kain) dan apa yang mau kita desain. Misalnya, viscose itu bahan yang gampang terurai. Jadi, kita bisa mengakalinya dengan membuat versi yang anyamannya lebih padat sesuai kebutuhan,” kata Ali.
Untuk mencapai bentuk yang diinginkan, para desainer memadukan viscose dengan bahan lain, antara lain jins, poliester, dan linen. Komposisi antarbahan pada satu potong pakaian disesuaikan dengan imajinasi dan kebutuhan desainer.
Desainer Dibya Hody juga mengombinasikan viscose dengan beragam bahan. Busana karyanya kala itu didominasi warna monokromatik biru dan motif garis. Jika dilihat sekilas, delapan koleksi Dibya seperti terbuat dari bahan jins dan lurik.
Dibya juga menambah beberapa aksen di koleksinya, seperti obi atau sabuk pada kimono orang Jepang. ”Obi itu terbuat dari viscose. Di dalamnya saya beri kain keras agar bentuknya tampak. Obi ini juga reversible, jadi pengguna bisa dapat beberapa look dengan satu benda,” kata Dibya.
Desainer Aldre juga tak luput dari proses coba-coba dengan viscose. Serat yang kesannya ”jatuh” ini sempat menyulitkan Aldre. Pasalnya, ia lebih akrab dengan bahan-bahan yang bersifat struktural.
Begitu inginnya mengulik viscose, Aldre menghabiskan waktu lebih lama untuk membuat semua koleksinya. Ia butuh sekitar satu bulan untuk membuat enam tampilan. Biasanya ia bisa bekerja lebih cepat.
”Saat eksperimen, ada bahan yang aku bakar, cap seperti batik, sampai ada juga yang digoreng dengan pasir. Akhirnya aku menemukan formulasi teknik yang tepat. Makin ke sini, jadi makin tahu cara mengakali viscose agar tetap struktural,” kata Aldre.
Hasil jerih payah Aldre terbayar. Desainer bergaya avant-garde ini berhasil jadi penutup yang megah buat para penonton malam itu. Semuanya terbelalak kagum saat satu per satu model melintas.
Topi superbesar menjadi poin utama pada koleksi Aldre. Ini didukung dengan pakaian berpotongan tidak biasa yang dikenakan para model. Untuk menambah semarak koleksi tersebut, Aldre memadukan pula motif-motif dan warna berbeda dalam satu tampilan. Semuanya disatukan dengan sistem tumpuk.
Delapan koleksi penutup itu membuat pikiran kembali segar. Bersamaan dengan riuh tepuk tangan penonton, kita semua diingatkan bahwa viscose bisa disulap menjadi pakaian apa saja. Dengan kreativitas dan eksperimen, menyelamatkan dunia sambil bergaya modis ternyata tidak mustahil.