Lumer Bersama Sinonggi
Serupa masakan berbahan dasar sagu lainnya, makanan khas dari Sulawesi Tenggara ini adalah sajian yang tidak neko-neko. Namun, cara makan dan tambahan beberapa bumbu membuat makanan ini terasa berbeda. Sinonggi, dengan olahan ikannya, lumer dalam rasa.
Seorang perempuan muda cekatan mengambil sebuah mangkuk plastik. Tangan kanannya mengambil sendok besar, lalu memindahkan tepung sagu basah di depannya ke dalam mangkuk. Tepat ketika air di ketel depannya mendidih, ia memasukkan beberapa sendok minyak goreng ke sagu.
Air panas segera disiramkan ke sagu basah tadi. Jemarinya bergerak lincah mengaduk sagu menjadi gumpalan bening yang lengket.
”Sudah jadi. Gampang toh, tidak perlu lama-lama. Apalagi memang paling banyak yang pesan sinonggi di sini,” kata Laili Indrayani (43), pemilik warung Meohai, di Kota Kendari, Sulawesi Tenggara.
Di dalam dapur berukuran sekitar 5 meter x 7 meter, sejumlah perempuan bekerja dengan tugas masing-masing. Ada yang mengolah sagu, menggoreng lauk, beraksi di depan kompor, juga seseorang yang hilir mudik membawa catatan pesanan ke dalam dapur.
Sinonggi yang telah diolah tadi lalu disiapkan untuk disajikan. Bersama olahan sagu itu, semangkuk ikan palumara menjadi teman setia. Ikan putih atau ikan kuek dimasak biasa, lalu ditambah kunyit, garam, dan sedikit asam. Tidak banyak tambahan.
Tidak hanya itu, sebuah sayur bening juga disajikan dalam mangkuk kecil. Terakhir adalah sambal matah yang tidak banyak campuran. Semuanya sederhana. Pesanan itu diletakkan di sebuah troli bersusun tiga.
Sinonggi lalu diletakkan di atas meja. Tiba saatnya untuk mencicipi makanan khas dari ”Bumi Anoa”. Sepasang stik kayu diletakkan bersamaan di mangkuk olahan sagu. Stik serupa sumpit tapi dengan diameter lebih besar ini adalah pengganti sendok. Seorang rekan mempraktikkan tata cara memakan sinonggi yang baik dan benar.
Ia menyendok kuah ikan palumara yang masih mengepul ke piring sebelum mengambil olahan sagu. Dua cabai rawit dipotong kecil-kecil sebagai penambah rasa. Dengan lincah, jemarinya memegang stik serupa sumpit itu, lalu menggulung sagu menjadi sebuah bulatan yang terpisah dari gumpalan besar dengan komposisi yang cukup padat.
Gumpalan kecil sagu itu lalu ia pindahkan ke piring yang telah dilumuri air ikan. Sepotong ikan ia sendok, lalu ditaruh tepat di sebelah gumpalan sagu.
Mencoba cara yang sama tidak sulit-sulit amat. Menggulung sagu dengan sumpit awalnya terasa kagok. Namun, setelah mencoba sekali, akan segera terbiasa. Sebuah pengalaman baru sebelum makan.
Tiba saatnya untuk mencicipi makanan ini. Aroma sagu tercium. Rasa setiap bagian ini seperti berlapis pada awalnya. Manis dari sagu, dihajar asin kuah ikan, menyusul gurih tekstur ikan. Namun, beberapa saat kemudian, semuanya menyatu dalam satu rasa. Sebuah sensasi kelembutan yang lumer dengan tegas.
Sinonggi, serupa tetapi tak sama dengan kapurung dari Sulawesi Selatan atau lebih dekat dengan papeda dari Maluku dan Papua. Makanan dari olahan sagu menyajikan rasa yang lembut dan gurih. Hampir tidak ada beda dengan papeda yang menyerahkan ke setiap orang untuk mencampur sendiri sagu dan lauknya. Setiap orang bebas menentukan komposisi sagu, ikan, atau sayur. Hanya saja, cara penyajian sinonggi oleh masyarakat di Sultra menjadi keunikan tersendiri.
Laili menambahkan, sinonggi adalah makanan khas Sultra, khususnya suku Tolaki. Makanan ini rutin dipesan oleh banyak orang untuk makan berat, baik siang maupun malam.
”Kalau orang sini itu beda rasanya kalau tidak makan sagu beberapa hari. Tubuh terasa lemas. Padahal, sudah makan nasi. Banyak pelanggan yang rutin datang untuk makan sinonggi saja,” ucapnya.
Kerang air tawar
Jika ingin mencicipi makanan khas yang lain dari daerah ini, nama pokea tidak boleh dilewatkan. Pokea adalah kerang air tawar yang banyak ditemukan di sungai, tidak terkecuali di sungai-sungai di sekitar Kota Kendari. Bentuknya pipih dengan bagian dalam berwarna putih.
Pokea disajikan dalam banyak bentuk. Salah satunya ditumis dengan bumbu cabai yang cukup mampu membakar lidah. Cabai merah, sedikit rawit, bawang merah, bawang putih, dan garam, dihaluskan terlebih dahulu. Adonan bumbu ini lalu ditumis bersama kerang yang telah dibersihkan dan dikeluarkan dari cangkangnya.
Rasa bumbu cabai menyelusup ke tenggorokan. Alot daging kerang terasa seperti daging cumi, tetapi dengan aroma yang berbeda. Sebagian daging kerang terasa halus dan sebagian besar cukup liat. Sambil mengunyah, gurih, pedas, dan asin berbaur menjadi satu.
Pokea tidak hanya disejikan dalam bentuk tumis pedas. Beberapa tempat menyajikan sate pokea yang dipanggang polos, lalu disiram dengan bumbu yang pedas. Meski serupa dengan sate pada umumnya, sate pokea tidak dimakan dengan nasi atau sagu. Akan tetapi, dipadu-padankan dengan lemang atau gogos. Cukup banyak tempat yang menyajikan sate pokea di sekitar Kota Kendari.
Selain sate kerang ini dan sinonggi, satu makanan favorit pengunjung, termasuk kami, adalah sebuah sajian ayam berkuah. Namanya ”ayam tauloho”. Sedari tadi, sajian ini serupa memanggil-manggil untuk dicicipi.
Asap tipis mengepul dari mangkuk berisi beberapa potongan daging ayam. Kuah yang bening membuat semua tampilan makanan ini terlihat hingga dasar mangkuk. Sekilas tidak ada yang istimewa dari makanan ini.
Warnanya keruh, kusam, tidak menarik sama sekali. Tidak ada tambahan pemanis di atas mangkuk. Hanya ada beberapa lembar daun berwarna hijau kusam yang mengapung.
Semilir wangi tercium. Saat dicecap, umami! Gurih yang lezat meski penganan ini dimasak tanpa tambahan perasa buatan.
Kuah yang butek ini menyimpan rasa yang melekat erat di lidah dan kerongkongan. Tangan seperti tak terkontrol untuk terus menyendok kuah, menikmati rasa gurih yang ringan tapi terasa tebal. Kuah ini bahkan cukup meresap ke dalam daging ayam kampung yang legit. Tanpa sadar sepiring-dua piring nasi habis menemani masakan ayam berkuah ini.
Kunci masakan ini terletak pada tauloho atau daun belimbing hutan. Beberapa
lembar daun belimbing dimasukkan pada olahan saat proses memasak berlangsung.
Beberapa orang juga terkadang menambahkan sedikit sari buah belimbing hutan untuk menebalkan rasa. Hasilnya, sebuah masakan berkuah butek dengan rasa yang legit.
Sinonggi, pokea, dan ayam tauloho, serupa sahabat baru yang tetiba terasa karib. Rasa tiap-tiap makanan memperkenalkan kota ini dengan baik tanpa basa-basi. Makanan ini membuka ruang baru tentang cita rasa olahan dari ”Bumi Anoa”, Sulawesi Tenggara.