Anomali Agam-Irvan
Irvan Helmi (Irvan) dan Muhammad Abgari (Agam) adalah duo di balik sukses Anomali, salah satu kedai kopi lokal yang kini menjadi entitas penting dalam bisnis kopi di Tanah Air. Hasrat yang besar pada kopi Indonesia justru membuat keduanya berhati-hati dalam berekspansi.
Aroma biji-biji kopi yang tengah digarang semerbak mengharumi kedai Anomali, Kemang, Jakarta Selatan, suatu siang di bulan Ramadhan. Agam duduk di sudut kedai di lantai dua sembari menekuri layar ponsel. Tak berapa lama Irvan muncul dengan cengirannya yang semringah.
”Gue udah bawa baju ganti nih (buat sesi pemotretan),” sambil menunjukkan pakaian berbungkus keresek serupa kantong belanjaan dari warung.
Pembawaan keduanya masih sama saja dengan sepuluh tahunan lalu di masa-masa awal Anomali berdiri. Bauran antara keseriusan, hasrat, dan kasual, apa adanya. Boleh jadi pengunjung kedai akan sulit memindai apakah mereka pegawai atau pendiri Anomali.
Masa muda mempertemukan Irvan dan Agam. Saat sama-sama duduk di bangku SMA di Jakarta, keduanya bertumbuh menjadi teman sejiwa yang lantas membawa mereka pada perjalanan panjang merintis kerja kopi yang kini dilakoni.
Perjalanan yang tak melulu manis hingga kini Anomali memasuki tahun ke-12. Percikan kimia di antara keduanya itu terlihat dalam relasi yang cair dan santai, dan seperti selalu bisa saling membaca isi kepala masing-masing. Ketika Irvan dan Agam diminta menjelaskan sesuatu, jawaban serius niscaya meluncur, lalu tiba-tiba disemburi candaan ”receh” dan tawa tergelak-gelak.
Menyaksikan Irvan dan Agam ibarat tumbu entuk tutup. Klop. Ada trust (saling percaya) dan rasa nyaman di antara keduanya. Istilah bromance alias bro romance tampak pas disematkan pada relasi mereka.
”Dulu saling kenal waktu SMA di Al Azhar. Hubungan kami sangat tidak baik sampai akhirnya sekelas,” kenang Irvan. Agam pun mengiyakan. ”Pokoknya dingin-dinginan gitu, berantem. Namanya juga anak SMA,” kata Irvan.
Di kelas II, mereka duduk di kelas yang sama. Kedekatan mereka baru bersemi oleh aktivitas di teater sekolah. ”Ini gara-gara bahasa Indonesia gue merah melulu. Guru bahasa Indonesia gue bilang, kalau bahasa Indonesia merah melulu, kamu enggak bakal naik kelas, jadi harus masuk teater,” kata Irvan, lagi-lagi dengan terbahak.
Di situlah nasib menggulirkan keduanya di jalan yang sama. Dari teater, mereka berubah menjadi teman dekat hingga bolos sekolah pun sama-sama. Di pelajaran Fisika, keduanya selalu jadi langganan dihukum oleh guru. ”Kelas enggak dimulai kalau kita enggak duduk dulu di depan kelas,” kata Irvan.
Dari garasi
Lulus SMA, keduanya berpisah. Meski sama-sama di Universitas Indonesia, Agam kuliah di Jurusan Teknik Mesin, sementara Irvan mengambil Ilmu Komputer. Nasib mempertemukan mereka kembali setelah sama-sama bekerja. Irvan kala itu bekerja di Siemens Indonesia. Sementara Agam bekerja di perusahaan keluarga yang bergerak di bidang konsultasi keuangan. Impian lama mereka, ingin memiliki usaha bersama, kembali muncul. Mereka sempat mencoba membuat software aplikasi bersama.
”Dulu Agam kepikiran pengin buka grill. Coffee and grill gitu,” kata Irvan. Agam sendiri yang sejak lama memang senang utak-atik masak pernah menjajal bisnis kuliner di era KTS alias Kafe Tenda Semanggi, kumpulan warung-warung tenda kekinian pasca-krismon (krisis moneter) 1998 yang sempat ngetop di Jakarta. Sementara Irvan juga pernah menjajal berjualan sop buntut andalan di suatu kantin rumah sakit di Jakarta. Bisnis di bidang food and beverage yang menjadi payung minat lantas berujung pada dunia kopi.
Agam yang pernah kuliah S-2 di Brisbane, Australia, bersentuhan dengan kultur kopi yang sudah lebih dulu mapan. Dulu di Jakarta kedai kopi spesial (specialty coffee) yang sudah lebih dulu ada hanyalah Starbucks, Caswells, dan Coffee Club.
Irvan yang keturunan Arab bercerita sejak SMP ia bahkan sudah terpapar kultur kopi dari keluarganya. ”Dulu nenek gue sering nyuruh beli biji kopi di Tanah Abang. Nenek dari nyokap itu coffee drinker banget,” kata Irvan yang akhirnya tertular kebiasaan itu sejak SMA.
Ide pada kopi makin mengerucut karena mereka memandang Indonesia juga dikenal sebagai penghasil kopi. Dengan begitu, narasi tentang kopi sudah ada. Mereka ingin akses kopi spesial menjadi lebih mudah untuk pasar lokal. Tekad pun bulat untuk memulai usaha rintisan di bidang kopi. Pada 2007, Anomali lahir, dengan mengusung tagline keindonesian: ”kopi asli Indonesia”.
Serupa kisah usaha rintisan di luar negeri yang dimulai di garasi rumah, begitu pula Anomali. Irvan dan Agam merintis Anomali dari garasi rumah milik Irvan di Jalan Ambarawa, Menteng.
”Dulu, nyimpen biji-bijinya di kamar dia (Irvan) tuh. Pakai AC. Kami, kan, harus jaga kelembaban jadi kami pikir aja harus AC, ha-ha-ha,” kenang Agam. Kamar Irvan itu disekat untuk gudang kopi dan ruang belajar.
Keduanya mendapat biji kopi dengan cara sudi membayar lebih kepada pemasok agar bisa membawa pulang biji kopi yang sebenarnya diperuntukkan bagi ekspor. ”Jadi paling cuma bisa ngambil sedikit. Kondisinya juga enggak ada specialty-specialty-nya. Kacau banget. Jadi kami harus sortir dulu,” kenang Agam, ayah empat anak.
Tahun-tahun pertama Anomali jelas berat. Namun, Irvan dan Agam terus berjalan maju. Meski keduanya berstatus pemilik, Irvan dan Agam tak sungkan turun langsung ke meja-meja pelanggan. Mengambil pesanan, membuat dan mengantarkan minuman, menjalin pertemanan dengan pelanggan, memasak, hingga membersihkan meja dan toilet. Nyaris semuanya.
Mereka melakoni itu semua karena bagi mereka uang bukan prioritas utama. Mereka lebih memilih untuk menikmati perjalanan usaha mereka. ”Itu yang mengalahkan semuanya. Jadi, kami bisa pulang sampai jam empat pagi gara-gara menemani tamu, teman-teman kami, yang enggak mau pulang gara-gara keasyikan ngobrol. Sampai bapak saya mikir macam-macam,” kata Irvan.
Meski tak mudah, mereka juga tetap bersemangat mencari ilmu ke berbagai sumber. Mereka menjadikan Specialty Coffee Association of America sebagai referensi. Kala itu majalah Roast yang dikirim dua bulan sekali dari Amerika juga menjadi sumber untuk mereka belajar kopi.
Animo positif masyarakat membesarkan hati mereka. Setahun Anomali berjalan, Irvan melepaskan pekerjaan di Siemens. Sementara Agam yang kemudian juga bekerja di PT Timah dan sempat akan pindah tugas ke London, Inggris, akhirnya juga memilih keluar.
Prinsip yang solid
Anomali terus tumbuh. Dari kedai kopi dan roastery, Anomali kini juga menjadi importir mesin kopi serta membuka sekolah kopi (Indonesia Coffee Academy). Saat ini, selain di Jakarta, kedai kopi Anomali ada di Makassar, Medan, Bali, dan Surabaya.
Meski investasi tak semuanya dari kantong mereka, keputusan dan pengelolaan setiap kedai berada di bawah kontrol Anomali. Kopi, menurut mereka, tak bisa dibuat seperti mi ayam yang bumbunya bisa ditakar. Mereka tak tergiur mengguritakan bisnis mereka karena hal itu tak sesuai dengan nilai yang dipegang Anomali yang juga menyukai kebersahajaan.
Anomali, bagi Irvan dan Agam, lebih berupa bagian dari upaya membesarkan kopi Indonesia. Mereka tergerak untuk juga mengurusi sektor hulu, seperti membangun jaringan dengan petani serta memberi andil dalam mengembangkan berbagai wilayah yang memiliki potensi kopi.
Itulah mengapa mereka tak segan bekerja sama dengan para petani tanpa ijon karena benar-benar ingin melihat sebuah daerah bisa berkembang. Salah satunya di Cibeber, Jawa Barat. Juga nun jauh di tanah Papua.
Perjalanan Anomali menjadikan Ivan dan Agam pribadi yang kian matang. Di luar urusan kopi, keduanya punya hobi yang berbeda. Agam, misalnya, hobi berolahraga. Sebaliknya, Irvan sangat membenci olahraga.
”Kami udah nge-tune. Dari temenen sampai bikin usaha bareng pasti ada hal-hal yang enggak diomongin juga udah jalan. Gue tahu Agam pikirannya kayak gimana. Agam tahu pikiran gue kayak gimana,” kata Irvan, ayah satu anak.
Yang pasti, kini mereka makin sehati, juga sejiwa. Saat ini, setelah bersama-sama melewati perjalanan panjang bersama Anomali, mereka bersiap memasuki era kopi gelombang keempat yang bagi mereka adalah masa ketika kopi-kopi yang kualitasnya bagus sudah lebih membumi. Mungkin tak semuanya sepakat. Namun, menurut mereka, sebuah keadaan hanya akan berubah bila skalanya cocok dengan masyarakatnya.
”Ketika skala itu enggak cocok sama masyarakatnya, terus mau mengubah apa. Ini menurut kami. Next, Anomali ngarahnya memang harus membumikan kopi yang kualitasnya bagus, enggak tahu gimana caranya, apa pun caranya,” kata Irvan. (Sarie Febriane)