Berlari Gara-gara Zohri
Pelari 100 meter nasional Lalu Muhammad Zohri (18) telah menjadi idola baru bagi remaja daerah asalnya, Nusa Tenggara Barat. Rentetan kesuksesan juara lari 100 meter Kejuaraan Dunia Atletik U-20 2018 itu menumbuhkan asa untuk para remaja bahwa tidak ada yang tidak mungkin bila mereka bekerja keras. Mereka kini kian giat berlari gara-gara Zohri
Sekitar pukul 02.00, Sabtu (18/5/2019), pelari asal Lembar, Lombok Barat, Pandawa (19), tiba di lokasi lari malam di Kampung Pedek Anyar, Kuripan, Lombok Barat. Kedatangan Pandawa dan rombongan sudah ditunggu oleh atlet lari NTB, Jago (bukan nama sebenarnya, 16) dan rombongan. Perlombaan ini paling ditunggu malam itu karena keduanya pelari berkualitas asal kampung masing-masing.
Bahkan, perlombaan itu sudah diagendakan sejak beberapa hari sebelumnya. Oleh calo/agen perlombaan yang mengatur perlombaan di antara keduanya, perlombaan itu ditaksir dengan nilai taruhan Rp 1,5 juta.
Para penonton yang sudah mau pulang untuk bersiap sahur pun rela menunggu hingga perlombaan itu dimulai. Tak pelak, saat Pandawa tiba, para penonton merasa lega. ”Akhirnya, lomba dimulai juga,” ujar Jumahir (48), warga Pedek Anyar yang sudah berada di lokasi lari malam itu sejak pukul 23.00 atau seusai shalat tarawih.
Kedua pelari segera mempersiapkan diri. Layaknya menghadapi perlombaan lari resmi, mereka juga melakukan pemanasan. Ketika lomba akan dimulai, petugas start mengingatkan kedua pelari agar berlari setelah aba-aba yang diteriakinya. Petugas start memberikan aba-aba dengan hitungan manual satu, dua, sampai tiga.
Namun, entah karena tidak mau kalah atau tegang, kedua pelari selalu mencoba berlari sebelum petugas start selesai memberi aba-aba. Lebih dari sepuluh kali, start harus diulang karena kedua pelari terus bergantian melanggar aturan.
”Oke, ini terakhir, ya. Saya minta kalian baru lari setelah petugas start selesai menghitung aba-aba,” kata Mustar (32), ketua pemuda setempat yang punya wewenang penuh mengatur perlombaan lari malam di kampungnya.
Sementara itu, penonton kian tegang menanti pelari andalannya melesat. Mata mereka pun menjadi lebih tajam menyoroti kedua pelari itu. Akhirnya, kedua pelari melesat sesuai aturan. Tak sampai 10 detik, pelari sudah sampai tiang listrik yang menjadi patokan garis finis. Jaraknya sekitar 60 meter dari garis start.
Kedua pelari sampai di garis finis dalam waktu hampir bersamaan. Selisih jarak sangat tipis. Kedua pihak saling klaim kemenangan, dari pelari, calo perlombaan, hingga penonton yang bertaruh. Jago bersikeras menyatakan dirinya yang menang. Debat tak terelakkan.
”Sudah jelas, saya yang sampai finis duluan,” ujar Jago. ”Bagaimana bisa kamu menang. Saya sudah jauh meninggalkan kamu sejak start,” kata Pandawa. Kedua pihak sempat mencari-cari rekaman video penonton. Sayangnya, rekaman itu tidak ada yang benar-benar jelas.
Melihat kondisi tidak kondusif, Mustar langsung mengumpulkan kedua pelari dan kedua calo. Mereka coba berembuk dengan dikerumuni para penonton yang lain. Mustar mengambil langkah bijak untuk menyatakan lomba itu berakhir seri. Lalu, kedua pelari dan calo ditawari untuk melakukan perlombaan sekali lagi, tapi menolak. Kedua pihak menerima keputusan seri dan situasi relatif aman.
Itu sebagian dinamika yang terjadi di lomba lari malam, perlombaan lari antarkampung khas NTB. Zohri pernah menjadi bagian dari dinamika itu, yakni sekitar dua tahun lalu atau saat masih di Pusat Pendidikan dan Latihan Pelajar (PPLP) NTB 2016-2017.
Zohri beruntung tidak mengalami keributan secara langsung. Sebab, pelari asal Kecamatan Pemenang, Lombok Utara, itu selalu memenangi perlombaan dengan unggul jarak mutlak atas lawannya.
”Tapi, saya pernah melihat ada ricuh sehabis lomba. Sampai ada yang bawa senjata tajam. Saya juga pernah melihat polisi datang membubarkan dan mengejar peserta secara tiba-tiba saat lomba,” ujar Zohri mengenang masa lalunya.
Bagi Zohri, lari malam penting untuk mengasah mental bertanding. ”Kalau di lari malam, kita harus siap mental menghadapi lawan, penonton, dan polisi yang bisa datang tiba-tiba. Kalau di lomba resmi, konsentrasi kita cuma ke lawan,” kata pelari tercepat nasional dan Asia Tenggara dengan waktu 10,03 detik yang dicatat ketika meraih perunggu di GP Jepang Terbuka 2019 itu.
Madrasah alami
Lari malam sudah menjadi sekolah atau madrasah alami bagi hampir semua pelari asal NTB. Para senior Zohri, seperti mantan anggota tim estafet 4 x 100 meter yang turut meraih perak Asian Games 2018 Jakarta-Palembang Fadlin (29) dan pelompat jauh peraih perunggu Asian Games 2018 Sapwaturrahman (25), pun demikian.
”Ikut lari malam itu sudah jadi tradisi tak tertulis di kalangan calon pelari maupun pelari muda di NTB. Sebab, tidak jarang pelatih-pelatih daerah juga memantau pelari potensial dari ajang itu. Seperti saya, setiap pulang kampung pasti menyempatkan melihat lari malam untuk mencari bibit pelari baru,” tutur Fadlin yang sekarang menjadi asisten pelatih sprint PB PASI.
Dengan rentetan kesuksesan Zohri, antusiasme anak- anak hingga remaja NTB menekuni dunia lari, termasuk lari malam, pun semakin meningkat. Belajar dari pengalaman hidup Zohri, mereka menjadikan lari malam sebagai tempat menempa mental.
Jago misalnya. Sebelum Zohri ditarik ke pelatnas atlet di Stadion Madya Jakarta per Desember 2017, ia pernah berlatih bersama Zohri. Beberapa kali, ia pernah mendengar cerita Zohri ikut lari malam walaupun belum pernah melihatnya secara langsung.
Dari itu, Jago penasaran lalu ikut lari malam. ”Waktu awal ikut lari malam, saya hampir diciduk polisi. Baru mau lari, tiba-tiba polisi datang. Kedua kali ikut justru hampir ribut karena lawan kami curang,” ujarnya.
Hampir semua remaja yang menggeluti atletik di NTB berasal dari lingkungan keluarga yang kurang mampu secara ekonomi. Lewat atletik, mereka mencoba mengubah nasib keluarga menjadi lebih baik, seperti yang dilakukan Zohri.
Contohnya rekan Jago, Tangguh (nama samaran, 16). Ayah Tangguh adalah buruh pemanjat pohon pinang yang penghasilannya maksimal Rp 50.000 per hari, sedangkan ibunya hanya ibu rumah tangga. Dengan penghasilan tersebut, ayah Tangguh menghidupi istri dan empat anaknya.
Kehidupan mereka serba terbatas. Mereka hanya tinggal di rumah tripleks berukuran sekitar 5 x 7 meter di pelosok Kabupaten Lombok Utara. Pemerintah daerah mengategorikan rumah itu sebagai rumah kumuh sehingga mereka diberikan bantuan perbaikan pada 2017.
”Karena sekarang sudah menjadi atlet, lari malam jadi tempat saya mengasah mental saja. Saya ingin terus menjadi lebih baik agar bisa sesukses Zohri dan bisa membantu kehidupan orangtua,” kata Tangguh
Mengasah mental
Pelatih atletik di NTB Cerdas (nama samaran, 32) menyampaikan, walaupun ada unsur negatifnya, lari malam memang sangat penting untuk mengasah mental atlet. Apalagi, kompetisi lari resmi minim di NTB, yakni hanya sekitar tiga kali setahun.
Padahal, atlet butuh lebih banyak kompetisi untuk menambah jam terbang bertanding. ”Itulah kenapa saya sarankan atlet saya ikut lari malam. Sewaktu masih aktif jadi atlet, para pelatih juga menyarankan hal yang sama kepada saya,” tutur Cerdas yang aktif sebagai atlet di awal 2000-an.
Kendati demikian, Kepala Dinas Pemuda dan Olahraga NTB Husnanidiaty Nurdin melarang atlet ikut lari malam karena mengganggu waktu istirahat. Kalau kurang istirahat, atlet rawan cedera. ”Peserta lari malam juga biasanya lari telanjang kaki dan berlomba di aspal. Itu juga rawan memicu cedera,” katanya.
Pelatih kepala sprint PB PASI Eni Nuraini menyampaikan, lari malam sejatinya bisa dioptimalkan dengan menjadikannya sebagai kompetisi resmi di tingkat kampung dan terus berjenjang ke lebih tinggi. Lepas dari legal atau ilegal, para remaja di NTB akan terus berlari. Mereka berlari gara-gara Zohri. (RUL/ZAK)