Lari, Napas Kehidupan
Bagi masyarakat Nusa Tenggara Barat, lari adalah napas kehidupan. Lari menjadi hiburan, saluran eksistensi diri, sumber pendapatan, hingga pengubah nasib. Kisah itu tergambar dalam tradisi lari malam.
Malam kian larut di Kota Mataram, Pulau Lombok, Nusa Tenggara Barat, Sabtu (18/5/2019). Sudah pukul 23.30 Wita. Namun, suasana ibu kota Provinsi NTB itu masih ramai.
Selain suara tadarus Al Quran yang masih bergema dari pengeras suara di puncak-puncak menara masjid di ”Pulau Seribu Masjid” itu, muda-mudi juga masih berkeliaran di jalan dan sudut-sudut kota. Mereka duduk-duduk santai di taman atau trotoar, makan di warung-warung lesehan pinggir jalan, hingga berolahraga lari. ”Ini namanya lari malam,” ujar Vian Kandel (14), remaja Kampung Karang Dalam, di sela mengikuti lari malam di kawasan Jalan Udayana, Mataram.
Lari malam adalah lomba lari tradisional khas NTB. Perlombaan itu biasanya dilakukan setiap pukul 23.00-03.00 Wita atau seusai shalat Tarawih hingga menjelang sahur. Warga menggelar lari malam untuk hiburan di setiap malam di bulan puasa (Ramadhan). ”Habis Tarawih, kami biasanya tidak langsung pulang. Kami kumpul-kumpul dulu. Untuk mengisi waktu, kami buat lari malam ini,” kata Vian.
Lari malam menjadi hiburan favorit warga NTB. Biasanya tradisi itu dilakukan di jalan kampung yang lurus dan sepi. Setiap ada orang berjajar membentuk pagar memanjang di sisi kanan-kiri jalan, bisa dipastikan mereka tengah menggelar lari malam.
Seperti halnya yang dilakukan Vian dan belasan rekannya. Mereka berbaris memanjang di sisi kanan-kiri trotoar di Jalan Udayana. Penanda lainnya, ada dua orang memegang untaian kain sarung yang dijadikan penanda finis. ”Kalau ada keramaian seperti itu, pasti itu ada warga yang sedang buat lari malam,” tutur Cerdas (bukan nama sebenarnya, 32), pelatih lari di NTB yang mengingatkan Kompas ketika berusaha mencari lokasi lari malam.
Perlombaan dilakukan dengan cara tradisional. Tidak ada alat start block, pistol tanda start dimulai, hingga kamera untuk foto finis. Di sana yang ada garis kapur sebagai penanda start. Seorang juru start bertugas menahan pelari agar tidak berlari mendahului aba-aba. Juru start juga bertugas meneriaki aba-aba dengan penghitungan manual dari satu, dua, sampai tiga. Terakhir, untaian sambungan kain sarung sebagai batas finis.
Tidak ada jadwal pasti siapa yang akan berlomba. Biasanya, lomba dilakukan setelah ada dua orang yang siap diadu. Orang-orang yang diadu bisa dari para penonton atau pendatang yang memang mengonfirmasi mau berlomba di sana. Namun, yang jelas, semua pelari adalah anak-anak hingga remaja yang berusia 11-19 tahun.
Kehadiran pelari pendatang tak lepas dari peran perantara atau calo atau agen perlombaan yang mengajak mereka berlomba di suatu tempat. Biasanya, para pelari pendatang adalah jawara lari di kampung masing-masing. Lewat keberadaan calo-calo itu, berkembanglah perlombaan lari antar-jawara kampung.
Itu turut memicu perlombaan menjadi lebih bergengsi. ”Ada kebanggaan sendiri kalau bisa menjadi juara kampung ataupun mengalahkan juara kampung lain. Saya semakin dikenal dan semakin sering diajak berlomba di tempat lain,” kata Hendra (19), jawara Kampung Karang Dalam, Kuripan, Lombok Barat, yang ditemui saat ikut lari malam di Kampung Pedek Anyar, Kuripan.
Memicu taruhan
Oleh karena gengsi tinggi, belakangan perlombaan justru dijadikan ajang taruhan. Ada dua sistem taruhan, yakni taruhan dalam dan taruhan luar. Taruhan dalam melibatkan para calo dan pelari, sedangkan taruhan luar dilakukan para penonton.
Nilainya beragam, yakni dari yang terendah hanya Rp 1.000 per orang per perlombaan hingga mempertaruhkan akta rumah. ”Dulu, ketika umur saya 6-7 tahun pada tahun 1960-an, hadiah untuk yang menang cuma minuman dingin,” kata warga Mataram, Anwar (59), mengenang masa lalunya.
Taruhan dengan nilai rendah biasanya dilakukan anak-anak atau antar-pelari yang belum dikenal. Adapun taruhan dengan nilai besar melibatkan para pelari yang terbukti sering menang. Taruhan nilai besar sering terjadi ketika perlombaan mencari yang terbaik dari suatu kecamatan, kabupaten, hingga pulau, antara Pulau Lombok dan Pulau Sumbawa.
Bagi pelari, inilah kesempatan mereka mencari sumber pendapatan. Apalagi mayoritas pelari berasal dari keluarga kurang mampu secara ekonomi. Pendapatan dari lari malam bisa menjadi sumber penghasilan alternatif, bahkan utama. Dalam semalam mereka bisa mendapat uang Rp 50.000 hingga Rp 2 juta. Besaran itu jelas menggoda jika dibandingkan dengan upah kerja yang hanya sekitar Rp 50.000 per hari.
Geliat lari malam semakin tinggi seminggu menjelang hari raya karena para pelari kian semangat mencari tambahan pemasukan untuk membeli kebutuhan Lebaran. ”Saya ikut lari malam cari tambahan duit jajan dan modal beli baju baru untuk hari raya,” ujar Hendra.
Menggenggam risiko
Karena tuntutan hidup, banyak pelari yang siap menghadapi dan menggenggam segala risiko lari malam. Pelari yang ikut lomba biasanya tidak menggunakan alas kaki dan berlomba di atas aspal. Kalau terjatuh, mereka pasti mengalami cedera, minimal lecet.
Saat perlombaan, pelari tak luput dari amuk penonton yang kerap tidak puas dengan hasil lomba. Apalagi jika lomba itu dianggap sarat dengan kecurangan. Belum lagi saat lomba, mereka bisa diciduk tiba-tiba oleh polisi. Lomba itu ilegal karena dilakukan di jalan umum tanpa izin dan dianggap ada unsur judi. ”Tapi, di sini, saya bisa mengasah mental. Suasana lari malam ini lebih keras dibandingkan dengan lomba lari resmi,” kata Jago (nama samaran, 16), atlet lari NTB yang beberapa kali ikut lari malam.
Pemerhati sejarah NTB Ahmad JD (80) menjelaskan, lari malam adalah pembaruan tradisi jalan (lampak) yang ada di NTB sejak delapan abad lalu. Jalan adalah tuntutan hidup. Karena tidak ada transportasi dan kondisi geografis yang ekstrem, masyarakat harus jalan maupun lari (pelai) untuk mencari sumber penghidupan guna menafkahi keluarga dan membayar upeti kepada penguasa.
Belakangan, kebiasaan jalan ataupun lari itu diperlombakan penguasa dalam pesta rakyat. Tujuannya untuk menghibur rakyat agar melupakan sejenak penindasan. Perlombaan dilakukan sejak zaman penguasa lokal (raje kuning), masa pendudukan Belanda, hingga Jepang.
Selain lari, lomba yang juga dilakukan adalah pacu kerbau (berapan kebo), pacu sapi (malean sampi), hingga pacu kuda (maen jaran). ”Salah satu perlombaan dari pesta rakyat yang masih melekat/tersisa itu adalah lari malam,” ujar Ahmad.
Mengenai taruhan, Ahmad beranggapan, hal itu merupakan alat untuk meningkatkan prestise suatu ajang. Fenomena itu sudah ada sejak penguasa menggagas perlombaan dalam pesta rakyat. ”Taruhan itu juga untuk memberikan apresiasi kepada peserta yang sudah lelah berlomba,” pungkasnya. (RUL/ZAK)