Dari Kota Santet ke Kota ”Sunrise”
Sony Dwi Fajrian (24) tidak pernah menyangka rumah tempat tinggalnya tak hanya menyimpan kenangan, tetapi juga menyimpan pundi-pundi ekonomi. Rumah yang berada di lereng Gunung Ijen, Banyuwangi, tersebut sangat strategis sebagai rumah singgah bagi wisatawan yang hendak berwisata ke Gunung Ijen.
Rumah seluas 8 meter x 20 meter itu semula hanya menjadi rumah tinggal bagi Sony dan keluarganya yang terdiri dari sang ibu dan kakaknya. Namun, sejak 2015, Sony dan kakaknya menyulap sebagian rumah tinggal mereka menjadi penginapan.
”Rumah tinggal kami bisa menghasilkan keuntungan hingga Rp 2 juta per bulan. Ada 3 kamar dan 13 kapsul yang kami sewakan. Hampir setiap akhir pekan, semua kamar dan kapsul penuh,” ujarnya.
Sony mengatakan, mengubah rumah menjadi rumah singgah bagi wisatawan jauh lebih menguntungkan. Ia pun memanfaatkan ruang dan kamar yang kosong sebagai usaha demi mendapat penghasilan tambahan.
Kisah lain muncul di kawasan pesisir. Para nelayan yang tergabung dalam Kelompok Usaha Bersama Samudera Bakti kini tak lagi menggantungkan hidupnya semata-mata dari hasil mencari ikan. Mereka justru sibuk menjadi pemandu saat wisatawan ingin melakukan selam permukaan (snorkeling) dan selam dasar laut (diving).
Sejak 2014, para nelayan mengelola wisata bahari di Bangsring Underwater. Mereka menyewakan berbagai alat selam. Para nelayan juga siap mengantarkan wisatawan untuk menyeberang ke Pulau Tabuhan, Pulau Menjangan, atau hanya sekadar ke Rumah Apung, tempat konservasi hiu dan terumbu karang.
”Pariwisata membuat ekonomi kami terdongkrak. Apabila dalam sehari rata-rata pendapatan nelayan ikan hias mencapai Rp 500.000, para nelayan kini bisa mendapat pemasukan tambahan dari pariwisata Rp 750.000 hingga Rp 1,5 juta per orang per hari,” tutur Mislianto, salah seorang nelayan di Bangsring Underwater.
Daya kreatif warga dalam memanfaatkan peluang terbukti menjadi penekan jumlah pengangguran terbuka di Banyuwangi. Berdasarkan data Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Banyuwangi, angka pengangguran terbuka turun dari 6 persen pada 2010 menjadi 3,7 persen pada 2018.
Kondisi Banyuwangi saat ini tentu sangat berbeda dengan citra Banyuwangi pada akhir 1990-an. Banyuwangi yang dulu dikenal sebagai ”Kota Santet”, kini lebih dikenal dengan sebutan ”The Sunrise of Java”.
Daya kreatif yang tumbuh pada warga juga hidup di lingkungan pemerintahan. Konsep pengembangan pariwisata yang tepat membuat Banyuwangi kini menyandang gelar ”Kota Festival” yang disematkan Menteri Pariwisata Arief Yahya pada 2018.
Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Banyuwangi Yanuarto Bramuda mengatakan, citra Banyuwangi Kota Santet menjadi Kota ”Sunrise” bermula pada 2010. Kala itu, untuk kali pertama, rencana pembangunan jangka menengah memasukkan pariwisata sebagai unggulan dan prioritas.
”Pada tahun itu kami memulai rebranding Banyuwangi dengan sebutan The Sunrise Of Java karena memang Banyuwangi adalah daerah yang pertama mendapat sinar matahari di Pulau Jawa. Itu artinya, di Jawa, orang Banyuwangi yang pertama kali bangun, shalat Subuh, dan bekerja. Semangat ini yang terus didengungkan agar kita mau maju,” ujarnya.
Hingga 2010, Banyuwangi hanya memiliki empat destinasi wisata, yaitu Gunung Ijen, Taman Nasional Alas Purwo, Pantai Sukamade, dan Pantai Pulau Merah. Kala itu, Banyuwangi masih menjadi daerah persinggahan bagi wisatawan yang ingin ke Bali.
Wisatawan dari Surabaya yang hendak ke Bali enggan menginap di Banyuwangi. Mereka biasa berangkat dari Surabaya pada malam hari, lalu tiba di Banyuwangi pada pagi hari untuk mengejar matahari terbit di puncak Gunung Ijen, dan kemudian turun untuk melanjutkan perjalanan ke Bali.
Waktu inap meningkat
Pada 2011, Banyuwangi mengubah strategi pemasaran pariwisata mereka. Banyuwangi tak lagi menjual sensasi matahari terbit di Gunung Ijen, tetapi menawarkan fenomena alam api biru yang ada di Kawah Ijen.
”Kami menjual fenomena alam blue fire. Untuk dapat menikmati itu, wisatawan harus mendaki pada pagi-pagi buta sekitar pukul 01.00. Itu artinya, mereka harus lebih dahulu menginap di Banyuwangi. Dengan demikian, lama menginap bertambah dari nol hari menjadi satu hari,” ujar Bramuda.
Fenomena api biru ternyata cukup diminati wisatawan dalam dan luar negeri. Namun, Banyuwangi tampaknya tak puas dengan hal itu. Kini, mereka merancang desa-desa di lereng Gunung Ijen sebagai destinasi antara, misalnya Desa Adat Osing di Kemiren, wisata budaya di Desa Olehsari, dan aneka destinasi tradisional di Desa Taman Sari.
Hal serupa dilakukan di tiga destinasi lain, yaitu di Taman Nasional Alas Purwo, Pantai Sukamade, dan Pulau Merah. Kini, total ada 58 destinasi wisata di Banyuwangi.
”Upaya tersebut berhasil. Kini, waktu menginap para wisatawan meningkat menjadi 2,8 hari atau hampir tiga hari dua malam. Semakin lama mereka tinggal di Banyuwangi, semakin banyak uang yang dihabiskan. Dengan demikian, perputaran uang semakin besar,” ujar Bramuda.
Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Banyuwangi mencatat, rata-rata wisatawan mancanegara menghabiskan Rp 2,7 juta per hari per orang. Sementara wisatawan domestik menghabiskan Rp 1,5 juta per hari per orang. Tak heran jika dalam tahun 2018, kontribusi dari pariwisata sekitar 17 persen dari total produk domestik regional bruto yang mencapai Rp 76 triliun.
Melihat potensi tersebut, daya kreatif warga terus tumbuh untuk menciptakan destinasi-destinasi wisata baru. Di Kecamatan Gambiran, misalnya, ada masyarakat yang secara swadaya memanfaatkan tanah kas desa untuk wisata tematis kampung primitif.
Kreativitas warga
Di kecamatan yang sama, ada pula warga yang memanfaatkan selokan menjadi kolam ikan yang menarik wisatawan untuk bersantai melepas penat. Ada pula beberapa sungai yang ditata rapi dan bersih sehingga tepian sungai bisa dijadikan tempat wisata.
”Daya kreatif warga dalam menciptakan destinasi wisata membawa dampak ikutan yang positif. Lingkungan menjadi lebih sehat dan bersih. Mereka tentu tidak ingin lingkungannya kotor karena dapat mengganggu kenyamanan wisatawan. Selain itu, kini sudah tidak ada warga yang buang air besar sembarangan karena mereka pasti malu karena di tepian sungai banyak wisatawan,” tutur Bramuda.
Tak hanya warga yang kreatif. Unsur birokrasi juga turut melakukan aneka inovasi dalam kerja mereka. Inovasi dan capaian kerja yang baik hingga mendapat penghargaan nasional dan internasional membuat sejumlah pemerintah daerah ingin belajar dari Banyuwangi. Alhasil, instansi-instansi pemerintahan di Banyuwangi kini juga menjadi destinasi wisata studi banding.
Banyuwangi bahkan sudah punya program khusus untuk wisata studi banding. Setiap daerah atau instansi yang melakukan wisata kinerja di Banyuwangi biasanya akan ditawari untuk melihat sejumlah inovasi atau sistem kerja yang telah diterapkan dan mendapat penghargaan. Misalnya, mal pelayanan publik, smart kampong, dan kunjungan ke desa wisata, contohnya Desa Taman Sari atau Kemiren.
Pada 2018, jumlah kunjungan wisatawan domestik mencapai 5 juta orang, 48.000 orang di antaranya merupakan wisatawan studi banding. Adapun jumlah wisatawan mancanegara pada 2018 mencapai 108.000 orang.
Apabila Banyuwangi bisa melakukan perubahan citra dirinya, daerah-daerah lain seharusnya juga bisa melakukan hal serupa. Tergantung bagaimana kreativitas pemerintah dan warganya dalam mengelola potensi daerah yang sudah ada.
Banyuwangi kini boleh bangga dengan perubahan yang mereka lakukan. Namun, semangat itu tetap harus memperhatikan batasan-batasan keamanan serta konservasi. Di sepanjang jalur menuju Ijen, misalnya, banyak lahan yang semula perkebunan dan persawahan kini beralih fungsi menjadi warung atau bahkan tempat wisata.
Soal keamanan, beberapa kali terjadi insiden wisatawan tewas di Gunung Ijen. Kasus terakhir, seorang pemandu wisata tewas karena terjatuh di kawah Gunung Ijen saat mengantarkan wisatawan melihat api biru.
Seiring euforia industri pariwisata yang tengah bergairah di Banyuwangi, sejak dini harus pula dirancang strategi untuk merawat aspek keberlanjutan secara ekologis, sosial, dan budaya.