Drama Panik Seusai Lebaran
Masa seusai mudik Lebaran menjadi masa paling deg-degan bagi keluarga yang mengandalkan pengasuhan anak dan pemeliharaan rumah pada asisten rumah tangga alias ART. Doa ibu-ibu pun sederhana saja, ”Ya, Tuhanku, siapa pun presidennya, yang penting si mbak balik!”
Drama kepanikan lantas lahir. Yang paling membuat panik adalah tradisi si mbak yang awalnya menyatakan diri akan kembali bekerja, tetapi tiba-tiba undur diri mendekati tanggal saat seharusnya balik. Kepanikan menjadi-jadi karena para ibu dan bapak sudah mulai harus kembali bekerja setelah libur Lebaran. Drama ditinggal ART dialami pula oleh keluarga Nyoman Trianawati (47).
Sepasang suami-istri yang sebelumnya menjadi ART di rumah Trianawati di Kompleks Pondok Pinang Center, Jakarta Selatan, memutuskan berhenti setelah bekerja selama enam tahun. Mereka pulang kampung dan memilih membuka usaha warung. ”Bingung banget. Selama tiga minggu libur Lebaran, susah mencari pengganti. Capek banget, lemes. Titip cari ART ke sana-sini,” kata perempuan bersapaan Nana itu.
Tiga minggu tanpa ART, Nana pontang-panting membagi waktu antara mengurus rumah tiga lantai dengan luas tanah 475 meter persegi, merawat putra semata wayangnya yang baru akan pindah sekolah, dan mempersiapkan pementasan tiga pertunjukan tari pada Juli dan Agustus.
”Debu enggak habis-habis. Never ending job sampai malam. Saya bilang suami: kamu enggak percaya, kan, aku enggak berhenti-berhenti gerak seharian,” tambahnya.
Saat ditemui di rumahnya Rabu (19/6/2019), wajah Nana semringah karena baru dua hari mendapat ART baru. Namun, ia masih harus adaptasi dengan ART baru yang terdiri atas sepasang suami-istri dari Cianjur. Nana sengaja mencari pasangan suami-istri sebagai ART. Sebelumnya, ART di rumah tersebut sering berganti-ganti karena para mbak selalu sulit beradaptasi satu sama lain dan berbuntut pertengkaran.
Karena sudah bergantung pada ART, Nana berusaha memberi privasi dan menjamin kesejahteraan mereka dengan gaji yang cukup. Ia juga menyiapkan lantai dasar rumah sebagai ruang tinggal bagi mereka. ”Saya enggak terlalu ngurus kehidupan pribadi mereka karena saya tinggal di atas dan mereka di bawah,” ujar Nana.
Ditinggal mendadak
Tak hanya keluarga Nana, keluarga lain juga mengalami pergantian ART seusai Lebaran. Tahun ini, Astrie Kirana (32) yang tinggal di Ampera, Jakarta Selatan, dibuat kaget karena ART yang juga pengasuh bayinya, Mbak Surti (29), tidak balik pada jadwal seharusnya sudah mulai kembali bekerja. Padahal, si mbak sangat dibutuhkan untuk turut membantu menjaga Inara Kirana Ganis (11 bulan).
Sebagai makeup artist di @makeupbyastrie dan desainer di @twinprojectbyikaira, Astrie butuh bantuan ART agar bisa tetap beraktivitas. ”Mbak Surti pulang kampung lebih awal karena anaknya umur 10 tahun mau masuk pesantren. Sudah sayang banget karena orangnya amanah dan bisa jaga anak. Bilangnya, ’Maaf Bu, saya masih lama di kampung karena anak saya mau masuk pesantren awal bulan depan’,” kata Astrie menirukan.
Jika Astrie tidak mengirim pesan lewat aplikasi Whatsapp, si mbak bahkan sama sekali tidak memberi kabar. Padahal, Astrie sudah merapikan kamar tidur agar nantinya Mbak Surti makin betah. Ketika Mbak Surti pulang kampung pun Astrie meminjamkan koper pribadinya. ”Si mbak sudah mulai bertingkah karena dibutuhkan. Ya sudah urusin saja sampai selesai, kalau mau balik, bilang saja,” tambah Astrie.
Agar aktivitasnya tak terganggu, Astrie akhirnya memperoleh ART pengganti dari ibu mertuanya. ”Harus segera nyari karena enggak mau kesannya butuh banget. Setahun kerja, dia sudah izin tiga kali pulang kampung dengan durasi masing-masing dua minggu. Sekarang dia bilang masih lama di kampung. Padahal, saya banyak aktivitas di luar aktivitas di rumah,” ujarnya.
Tanpa ART, hari-hari terasa lebih berat. Astrie harus mengatur waktu dan perasaan agar tetap harmonis dengan suami. Mereka pun lantas membangun strategi komunikasi supaya bisa bahu-membahu menyelesaikan pekerjaan rumah.
”Harus ada pembagian tugas dan toleransi. Bonding dengan anak lebih kuat, tetapi aktivitas luar ada yang dikalahkan,” kata Astrie.
Ditinggal mendadak oleh ART juga dialami keluarga Hadi yang bermukim di Depok, Jawa Barat. Mereka lantas mencari si mbak pengganti karena ART asal Serang yang berjanji akan kembali setelah mudik nyatanya tak kembali. Celakanya, si mbak baru memberi kabar tak kembali sehari sebelum jadwal Hadi dan istrinya masuk kerja.
”Sebelum pulang, saya sudah tanya baik-baik sebenarnya. Mau balik apa enggak? Jawabnya balik. Malahan dia sudah memberikan detail soal rencana kepulangannya kembali ke Depok menggunakan kereta. ’Saya akan kembali dengan kereta pukul 11.30, Bu. Jadi, sore sudah sampai Depok’,” tutur Bu Hadi menirukan janji si mbak.
Sedianya, si mbak akan kembali pada 10 Juni. Ini karena anak-anak keluarga Hadi sudah harus kembali masuk sekolah pada 12 Juni. Begitu juga dengan Pak dan Bu Hadi yang harus masuk kembali pada 11 Juni.
Perlakuan istimewa
Apalagi si mbak berencana mengambil ijazah madrasahnya karena Bu Hadi akan mendaftarkan si mbak di Kejar Paket C agar bisa mendapat ijazah SMA. Harapannya, kelak si mbak dapat mendaftar ke Universitas Terbuka dan bisa kuliah pada akhir pekan. Si mbak juga sudah menyetujui rencana tersebut.
Keluarga Hadi pun segera menyusun rencana. Hari Senin, anak-anak ikut ayahnya ngantor karena belum masuk sekolah. Hari Selasa, sepulang sekolah, anak-anak diantar sopir ke kantor ayahnya, lalu ke kantor si ibu sekaligus menjemputnya pulang. Tak butuh waktu lama, Bu Hadi dan Pak Hadi mendapat mbak baru dari jaringan satpam kompleks. Setelah mengobrol, si mbak siap bekerja pada hari Kamis.
Kepanikan juga melanda keluarga Linda (bukan nama sebenarnya). Karena ART-nya, Tini, sudah bersama Linda lebih dari dua tahun, ia tak bertanya apa-apa ketika Tini pulang kampung sepekan sebelum Lebaran. Namun, seminggu setelah Lebaran, tiba-tiba Tini menelepon dan menyatakan berhenti bekerja. ”Saya panik, sama sekali tidak menduga,” kata Linda.
Kepanikan Linda sangat beralasan. Selama ini Tini sangat diandalkan untuk menyelesaikan berbagai pekerjaan rumah tangga. Selain bersih-bersih rumah, memasak, dan mencuci, Tini juga menjaga Biel, anak pertama Linda yang baru berusia 1,1 tahun. ”Saya seperti dijerumuskan,” kata Linda.
Beban Linda pun bertambah ketika hari kerja kantor benar-benar dimulai. Ia harus bangun lebih pagi untuk mengurus suami, memasak untuk Biel, membersihkan rumah, dan siap-siap berangkat ke kantor. Di kantor, Biel diserahkan kepada pengasuh, yang bekerja paruh waktu.
”Saya terpaksa mengajak Biel ke kantor. Untung kantor tidak keberatan,” kata Linda.
Tak jauh berbeda dengan keluarga Dewi. Meski anaknya, Charli, sudah berusia 5 tahun, tetapi masih sangat bergantung pada Marni, ART mereka. Sebelum Lebaran, Marni pamit pulang kampung sembari mengabarkan hal yang mengejutkan Dewi.
”Ia bilang hamil, tetapi enggak tahu dengan siapa,” kata Dewi yang tinggal di kawasan Bintaro, Tangerang Selatan, Banten. Setelah pulang kampung ke Jawa, Dewi mencoba menghubungi Marni untuk menanyakan keadaannya. ”Tetapi tidak pernah diangkat,” katanya. Sampai libur Lebaran jauh berlalu, Dewi belum lagi mendapatkan ART yang baru.
Psikolog dan Direktur Discovery Zone Therapy Centre Rosdiana Setyaningrum, Mpsi, MHPEd menyebut bahwa sulit sekali bagi masyarakat yang tinggal di kota besar, seperti Jakarta, untuk sama sekali lepas dari bantuan ART, apalagi jika ibu bekerja. Kemacetan Jakarta membuat mobilitas orangtua terbatas sehingga tidak memiliki cukup waktu untuk menyelesaikan pekerjaan di rumah.
Rekan-rekan Diana, yang sebelumnya mandiri tanpa ART ketika tinggal di luar negeri, justru menjadi sangat bergantung pada ART ketika pulang ke Tanah Air. Hal ini karena fasilitas pendukung yang kurang dan adanya kebiasaan bahwa anak kecil memang harus diurusi. Lari harus ada yang mengejar dan makan harus ada yang menyuapi.
Pergantian ART setiap Lebaran, lanjut Diana, adalah sesuatu yang seharusnya tidak menjadi masalah. Bahkan, bisa menjadi indikator tentang seberapa bergantungnya sebuah keluarga kepada si mbak.
Jika si mbak pergi lalu kehidupan terasa lumpuh, berarti ketergantungan terhadap asisten rumah tangga sudah pada taraf tidak wajar.
(CAN/DOE)